بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Pendahuluan
Jalan Tunjungan bukan sekadar ruas jalan di jantung Surabaya; ia adalah ruang waktu yang mempertemukan generasi. Bagi mereka yang tumbuh di era 60-an hingga 80-an, nama Tunjungan membawa aroma kenangan: toko-toko legendaris, derap sepatu di trotoar, lampu jalan temaram, dan suasana khas kota lama. Kini, ketika anak-anak muda memadati jalan ini dengan kamera, kopi, dan konten media sosial, Tunjungan kembali hidup—tapi dengan wajah yang berbeda. Yang menarik, dua dunia ini tidak bersaing. Mereka saling melengkapi.
Fenomena ini membuka peluang besar untuk membangun jembatan antargenerasi. Tunjungan bukan hanya menjadi destinasi, tetapi juga medium sosial di mana memori dan inovasi bersua. Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh ketidakpastian ala era VUCA atau bahkan BANI, tempat-tempat seperti ini memberi ruang jeda—momen untuk berhenti sejenak, mengenang, berdialog, dan saling memahami. Di situlah nilai sosialnya menjadi nyata.
Ruang Bernama Kenangan
Kenangan adalah bagian penting dari identitas manusia. Dalam psikologi sosial, collective memory atau ingatan kolektif memainkan peran besar dalam membentuk ikatan sosial. Jalan Tunjungan, dengan bangunan-bangunan tuanya yang masih berdiri gagah, menjadi artefak hidup dari memori kota. Mereka yang pernah menjalaninya puluhan tahun lalu menemukan kembali potongan hidupnya, sementara generasi muda menemukan cerita baru dari jejak lama itu.
Di tengah dunia yang terasa rapuh dan cepat berubah seperti sekarang, nostalgia bisa menjadi jangkar yang membuat seseorang tetap merasa terhubung dan berarti. Dan nostalgia yang dibagikan antar generasi, bukan hanya memberi kehangatan emosional, tapi juga menciptakan pemahaman lintas usia. Ketika seorang kakek menunjuk gedung Siola dan berkata, “Dulu di sinilah kami beli baju Lebaran,” lalu cucunya mengunggah gedung itu ke Instagram, mereka berbagi ruang yang sama meski dengan cara berbeda. Dan di sinilah, Tunjungan berperan sebagai medium sosial yang tak ternilai.
Tempat Bertemunya Zaman
Tunjungan hari ini bukan sekadar peninggalan. Ia adalah panggung kontemporer tempat masa lalu dan masa kini berdialog. Kafe bergaya kolonial, mural bergambar pahlawan nasional, pementasan musik jalanan, hingga festival budaya lokal yang digelar secara rutin—semuanya menjadikan tempat ini sebagai titik temu antara nilai lama dan semangat baru. Generasi muda menjadikan tempat ini sebagai spot kreatif, sementara generasi tua menjadikannya tempat untuk merajut ulang kenangan.
Teori intergenerational contact dalam psikologi sosial menyebutkan bahwa interaksi positif antar generasi dapat mengurangi stereotip, memperkuat empati, dan membangun kohesi sosial. Tunjungan memberikan panggung alami bagi interaksi ini. Ketika komunitas sepeda tua berkegiatan di pagi hari dan disusul oleh para pemuda yang menampilkan seni jalanan di sore hari, terjadi pertemuan yang tidak disengaja tapi sangat bermakna. Kota ini tidak hanya hidup dari lalu lintas kendaraan, tapi juga dari lalu lintas cerita dan pengalaman.
Soft Skills di Balik Suasana
Keberhasilan membangun ruang sosial seperti Tunjungan tentu bukan hanya hasil kerja teknis. Di balik trotoar lebar dan lampu jalan yang apik, ada individu-individu yang menghidupkan tempat ini dengan hati dan empati. SDM yang terlibat, mulai dari pengelola event, pelaku UMKM, pegiat komunitas, hingga petugas kebersihan dan keamanan, semua memainkan peran penting dalam membentuk atmosfer yang ramah dan inklusif. Di sinilah pentingnya penguatan soft skills—kemampuan berkomunikasi lintas usia, memahami kebutuhan orang lain, dan membangun kerja sama di tengah keberagaman.
Dalam konteks masyarakat madani yang sehat, soft skills bukan sekadar pelengkap, tapi fondasi. Kelembutan dalam menyambut wisatawan lanjut usia, ketulusan dalam berbagi cerita antargenerasi, hingga kreativitas dalam menyajikan produk budaya yang relevan untuk semua umur—semuanya adalah ekspresi soft skills yang nyata. Dan semakin banyak individu yang memiliki keterampilan ini, semakin hidup dan sehat pula wajah kota.
Surabaya Sebagai Ruang Bersama
Tunjungan adalah cermin bahwa kota bisa menjadi ruang bersama, bukan sekadar tempat tinggal. Surabaya, melalui upaya revitalisasi kawasan ini, menunjukkan komitmen untuk merajut kembali kohesi sosial yang kerap hilang di kota besar. Dalam teori urban social capital, ruang publik yang dirancang untuk mempertemukan orang dari berbagai latar belakang sosial berperan penting dalam membangun rasa percaya dan kebersamaan. Tunjungan telah menjadi ruang itu—ruang di mana manusia bisa saling menyapa, mengenal, bahkan memahami zaman yang berbeda.
Kini, saat kota-kota lain berlomba membangun gedung-gedung tinggi sebagai simbol kemajuan, Surabaya punya pendekatan lain: membangun relasi, bukan hanya infrastruktur. Dan dari relasi itu lahirlah kota yang tidak hanya kuat secara fisik, tapi juga sehat secara sosial dan rohani. Di tengah dunia yang makin tidak pasti, kota seperti inilah yang akan bertahan.
Penutup
Jalan Tunjungan adalah pengingat bahwa kota bukan sekadar kumpulan bangunan, tapi juga tempat jiwa-jiwa saling terhubung. Di jalan ini, masa lalu tidak dibuang, melainkan dirangkul untuk menginspirasi masa kini. Nostalgia dan inovasi berjalan berdampingan, membentuk ritme kota yang tidak hanya bergerak maju, tetapi juga menoleh ke belakang dengan hormat.
Jika kota adalah cerminan warganya, maka Tunjungan adalah refleksi Surabaya yang penuh memori, namun tak pernah lelah untuk tumbuh. Menjadikan ruang ini sebagai simpul interaksi lintas generasi adalah langkah penting dalam membangun masyarakat madani yang tangguh, hangat, dan manusiawi. Sebab pada akhirnya, kota yang baik bukan hanya yang membangun gedung tinggi, tapi yang mampu membuat warganya merasa terhubung—pada ruang, pada sejarah, dan pada satu sama lain. Stay Relevant!