Surabaya Belajar dari Tunjungan: Menata Kota dengan Sentuhan Sejarah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Surabaya adalah kota besar yang terus tumbuh dan bergerak cepat. Di tengah derasnya modernisasi dan pembangunan infrastruktur, tantangan untuk menjaga identitas kota menjadi semakin penting. Di sinilah Jalan Tunjungan hadir sebagai oase yang berbeda—ia tidak hanya menjadi saksi sejarah panjang kota ini, tetapi juga menjadi contoh nyata bahwa kawasan bersejarah bisa direvitalisasi tanpa kehilangan jiwanya. Tunjungan kini bukan hanya koridor lalu lintas, melainkan ruang publik yang memadukan masa lalu dan masa kini secara harmonis.

Kebangkitan Jalan Tunjungan menjadi magnet wisata dan pusat ekonomi kreatif tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada kebijakan yang berpihak pada pelestarian, strategi penataan ruang yang terencana, dan tentu saja semangat kolektif warga kota yang melihat potensi di balik tembok-tembok tua. Ketika kota-kota lain berlomba menampilkan arsitektur futuristik, Surabaya mengambil langkah cerdas: menata kota dengan menghormati sejarah. Sebuah langkah yang berani di era VUCA dan BANI, saat banyak kota terjebak dalam pendekatan serba cepat tapi dangkal.

Menghidupkan Kembali yang Lama

Revitalisasi Jalan Tunjungan menunjukkan bahwa kota tidak selalu harus membangun dari nol. Sebaliknya, kekayaan sejarah bisa menjadi landasan kuat dalam merancang masa depan kota. Melalui pendekatan new urbanism dan placemaking, pemerintah kota Surabaya berhasil menghidupkan kawasan yang dulu sempat lesu menjadi destinasi yang penuh kehidupan. Bangunan tua dipugar tanpa kehilangan karakter aslinya, trotoar diperlebar, pencahayaan ditata ulang, dan ruang publik dibuka untuk interaksi sosial yang lebih inklusif.

Dalam praktik tata kota modern, hal ini sejalan dengan konsep adaptive reuse—pemanfaatan kembali struktur lama untuk fungsi baru yang relevan. Dengan tetap menjaga struktur arsitektur asli, kota tidak hanya mempertahankan warisan budaya, tetapi juga menghemat sumber daya dan mengurangi jejak ekologis. Ini bukan sekadar soal estetik, tapi bentuk nyata dari perencanaan kota berkelanjutan yang menjawab kebutuhan era yang rentan dan kompleks seperti BANI.

Kebijakan yang Menyentuh Akar

Keberhasilan revitalisasi Tunjungan tak lepas dari peran kebijakan publik yang konsisten dan visioner. Pemerintah Kota Surabaya telah memberikan insentif dan regulasi yang mendukung pelestarian kawasan heritage, serta memfasilitasi partisipasi pelaku usaha lokal. Di sinilah teori good governance dan collaborative planning bekerja—kebijakan tidak lahir dari atas saja, tetapi menjadi hasil dialog antara pemerintah, warga, pelaku usaha, dan komunitas budaya.

Hal ini membuktikan bahwa tata kota yang berhasil bukan hanya tentang infrastruktur, melainkan tentang membangun ekosistem sosial yang inklusif. Dalam konteks ini, kebijakan publik yang adaptif dan responsif menjadi penentu utama. Kota yang mampu belajar dari masa lalunya akan lebih siap menghadapi ketidakpastian masa depan. Dan Tunjungan, dalam skala mikro, telah menunjukkan arah bagi Surabaya untuk tumbuh secara otentik tanpa kehilangan akar sejarahnya.

Manusia sebagai Pusat Perubahan

Revitalisasi tidak akan berjalan tanpa peran manusia sebagai agen perubahan. SDM yang terlibat dalam proses ini—mulai dari arsitek, perencana kota, pelaku UMKM, hingga petugas kebersihan—perlu dibekali dengan soft skills yang kuat. Kemampuan berkomunikasi, bekerja sama lintas disiplin, hingga berpikir kreatif dan solutif menjadi keterampilan esensial dalam proyek-proyek penataan kota seperti ini.

Di era BANI, ketika segala sesuatu terasa rapuh dan tidak linear, soft skills seperti empati dan fleksibilitas menjadi modal utama untuk tetap relevan dan berdaya. Revitalisasi kawasan heritage bukanlah proyek fisik semata, melainkan proses sosial yang melibatkan banyak perspektif. Maka, investasi terhadap kapasitas manusia adalah langkah penting agar transformasi kota dapat berlangsung dengan cara yang berkelanjutan dan manusiawi.

Menjadi Kota Heritage yang Tangguh

Surabaya memiliki modal kuat untuk tumbuh sebagai kota heritage yang berkelas dunia. Tunjungan hanyalah satu contoh; masih banyak kawasan lain seperti Kembang Jepun, Ampel, dan Darmo yang menyimpan potensi serupa. Namun untuk menjadikan sejarah sebagai identitas kota, dibutuhkan visi jangka panjang dan keberanian untuk berpikir melampaui masa jabatan politik.

Kota yang tangguh bukanlah kota yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi atau infrastruktur, tetapi kota yang mampu merawat memorinya sambil terus berinovasi. Kota yang mampu menjadikan masa lalu sebagai inspirasi, bukan beban. Dengan menjadikan kawasan heritage sebagai poros pembangunan, Surabaya memberi pesan penting: bahwa masa depan kota bisa dibangun dengan menghargai jejak-jejak sejarah.

Penutup

Revitalisasi Jalan Tunjungan adalah pelajaran penting bahwa perencanaan kota tidak harus menyingkirkan sejarah demi modernitas. Sebaliknya, kota bisa tumbuh dan maju dengan memeluk masa lalunya. Surabaya telah membuktikan bahwa sentuhan sejarah justru bisa menjadi kekuatan baru dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan.

Kini, langkah selanjutnya adalah memperluas semangat ini ke kawasan lain, menguatkan kebijakan yang berpihak pada pelestarian, serta terus memberdayakan manusia di dalamnya. Kota adalah cerminan dari ingatan kolektif warganya—dan Tunjungan adalah bukti bahwa ingatan itu bisa hidup kembali, memberi arah, bahkan menjadi bintang penunjuk jalan menuju Surabaya yang lebih manusiawi dan membanggakan. Stay Relevant!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top