Kafe, Kamera, dan Kenangan: Evolusi Ekonomi Kreatif di Jalan Tunjungan Surabaya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Jalan Tunjungan di Surabaya bukan sekadar jalur penghubung atau kawasan belanja; ia adalah saksi bisu sejarah panjang kota ini. Dari masa kolonial hingga era milenial, Tunjungan selalu menjadi panggung tempat berbagai lapisan masyarakat bertemu, bertransaksi, dan menciptakan cerita. Dalam sepuluh tahun terakhir, geliat kawasan ini tampak kembali menyala—bukan karena pusat perbelanjaan besar, tetapi karena semangat ekonomi kreatif yang hidup melalui kafe tematik, distro lokal, studio kreatif, dan galeri seni.

Fenomena ini menarik untuk disimak. Revitalisasi Tunjungan tak hanya membangkitkan sisi estetika ruang kota, tetapi juga membuktikan bahwa sejarah bisa dihidupkan kembali dalam kemasan baru yang relevan dengan zaman. Di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dan kini bergeser ke era BANI (Brittle, Anxious, Non-linear, Incomprehensible), kreativitas menjadi komoditas berharga. Jalan Tunjungan menjadi contoh konkret bagaimana kota dan warganya beradaptasi, merespons tantangan, dan menciptakan peluang baru dari warisan lama.

Warisan Bertemu Wirausaha

Bangunan-bangunan tua di Jalan Tunjungan kini bukan lagi sekadar objek nostalgia. Mereka telah disulap menjadi ruang hidup yang produktif. Banyak pengusaha muda memanfaatkan keunikan arsitektur kolonial sebagai daya tarik visual yang tidak bisa digantikan. Kafe-kafe dengan interior bergaya retro-modern bermunculan, menjadikan spot ini primadona di linimasa media sosial. Distro dan toko kreatif lainnya juga tumbuh, menawarkan produk lokal dengan sentuhan desain yang khas dan autentik.

Dalam perspektif teori marketing, khususnya experiential marketing, para pelaku usaha di Tunjungan memahami bahwa pengalaman konsumen adalah segalanya. Pengunjung tidak hanya datang untuk minum kopi atau membeli produk, tapi untuk merasakan atmosfer. Mereka ingin “menjadi bagian dari cerita” yang ditawarkan oleh tempat-tempat ini. Hal ini menciptakan koneksi emosional antara brand dan konsumen, yang jauh lebih kuat dibandingkan pendekatan transaksional semata.

Merek Lokal, Cerita Global

Salah satu kekuatan pelaku ekonomi kreatif di Tunjungan adalah keberanian mereka untuk menjual “rasa lokal” dengan kualitas yang bersaing di level global. Produk-produk yang lahir dari kawasan ini tidak jarang mengusung elemen budaya Surabaya dalam desain, cerita, bahkan nama mereknya. Ini sejalan dengan konsep glocalization—sebuah strategi pemasaran yang menggabungkan daya tarik global dan kearifan lokal.

Namun di tengah gempuran tren cepat dan kebutuhan akan relevansi, merek-merek ini dituntut untuk lentur. Era BANI menuntut para kreator untuk lincah, mampu membaca perubahan perilaku konsumen yang bisa bergeser dalam hitungan minggu. Mereka perlu mengembangkan daya tahan, ketajaman intuisi pasar, serta kemampuan untuk menciptakan solusi non-linear dalam menghadapi ketidakpastian.

SDM Adalah Kunci

Kesuksesan kawasan Tunjungan bukan hanya karena arsitekturnya yang menawan atau strategi bisnis yang inovatif. Ia juga harus ditopang oleh sumber daya manusia yang kreatif, berani mencoba, dan mampu berkolaborasi. Di sinilah pentingnya penguatan soft skills seperti komunikasi, manajemen waktu, empati, dan kemampuan kerja tim. Dalam industri kreatif, sering kali kemampuan interpersonal jauh lebih menentukan dibandingkan keterampilan teknis semata.

Program pelatihan, workshop, dan kolaborasi lintas komunitas menjadi krusial untuk terus meningkatkan daya saing SDM lokal. Di tengah arus cepat perubahan global, hanya mereka yang mampu berpikir kreatif dan bertindak adaptif yang bisa bertahan dan berkembang. Tunjungan dapat menjadi laboratorium hidup untuk mengasah soft skills ini—tempat di mana ide diuji, koneksi dibentuk, dan nilai diciptakan secara nyata.

Menuju Ikon Wisata Kota

Melihat potensi yang ada, Jalan Tunjungan sangat mungkin dikembangkan sebagai ikon wisata ekonomi kreatif di Surabaya. Dengan dukungan strategi branding place yang kuat, pemerintah kota dapat memperkuat narasi bahwa Tunjungan bukan hanya tempat bersejarah, tapi juga pusat inovasi budaya dan ekonomi. Kombinasi antara heritage, ekonomi kreatif, dan komunitas menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun internasional.

Kolaborasi antara pelaku usaha, seniman, komunitas lokal, dan pemerintah bisa mendorong terbentuknya ekosistem yang berkelanjutan. Tunjungan harus terus bergerak, bereksperimen, dan membuka ruang bagi ide-ide baru. Dengan begitu, ia bukan hanya bertahan sebagai tempat yang “kembali ramai”, tapi benar-benar menjadi episentrum kebangkitan ekonomi kreatif di jantung Kota Pahlawan.

Penutup

Tunjungan adalah cermin bagaimana masa lalu dan masa depan bisa berjalan berdampingan. Di tengah bangunan tua yang dulu jadi saksi perjuangan, kini tumbuh semangat baru yang tak kalah heroik—semangat berkarya, berwirausaha, dan berkolaborasi. Kafe, kamera, dan kenangan bersatu menciptakan narasi kota yang lebih hidup, lebih manusiawi, dan lebih menjanjikan.

Kini, saatnya menjadikan Tunjungan bukan hanya tujuan wisata, tapi juga simbol dari kota yang mampu beradaptasi dengan zaman tanpa melupakan jati dirinya. Sebab pada akhirnya, kota yang hebat bukanlah yang paling canggih, tapi yang paling mampu merawat ingatan sekaligus menyambut masa depan. Stay Relevant!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top