بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Ketika Ruang Menjadi Amanah:
Refleksi Psikologi Arsitektur dalam Kehidupan Pondok Pesantren
Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, pemerhati mutu pendidikan
“Ruang tak pernah diam. Ia merekam niat dan memantulkan kesadaran. Maka setiap bangunan sejatinya adalah cermin diri kita.“
Nama Pondok Pesantren Al-Khoziny kini bergema di ingatan banyak orang. Ada yang mengingatnya dengan duka, ada yang dengan hening yang panjang. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar bangunan yang runtuh — yakni hubungan antara manusia, ruang, dan kesadaran kita untuk membangun.
Bagi saya yang belajar psikologi, peristiwa itu bukan cuma tentang tembok yang patah, tapi juga tentang rasa aman yang ikut roboh di hati banyak orang. Dalam dunia psikologi arsitektur, ruang itu bukan benda mati. Ia bisa membentuk perilaku penghuninya, mengatur ritme hidup mereka. Ia bisa menenangkan, tapi juga bisa menekan. Ia bisa mendidik jiwa, tapi juga bisa mengujinya — Ia bisa memberi kebahagian tapi juga bisa memberi kesedihan, tergantung bagaimana ia dibangun, dirawat, dan dimaknai.
Sebagian besar pondok di negeri ini tumbuh dari kecil, dari kesederhanaan. Awalnya hanya rumah kecil, beberapa santri, dan dinding seadanya. Lalu jumlah santri bertambah, kegiatan meluas, dan ruang jadi semakin sesak. Maka ditambah satu bangunan di samping, lalu bertingkat, lalu di belakang. Taman dan ruang terbuka dikorbankan. Tumbuh dengan cepat tapi tidak beraturan — penuh niat, tapi sering tanpa arah. Inilah yang banyak orang sebut sebagai pembangunan tambal-sulam.
Tentu tidak adil menyebutnya sebagai kelalaian. Sebab di baliknya ada niat yang mulia, yang sangat tulus: melayani lebih banyak santri dengan kemampuan yang terbatas. Hanya saja, niat baik kadang terlalu cepat berlari, sementara pengetahuan teknis bangunan tertinggal jauh di belakang. Di titik itu, ruang mulai kehilangan jiwanya, kehilangan maknanya.
Psikologi arsitektur mengajarkan bahwa ruang bukan sekadar wadah, tapi bahasa tanpa kata-kata. Ia berbicara lewat cahaya, ventilasi, estetika dan tata letak. Irwin Altman dalam bukunya The environment and social behavior: Privacy, personal space, territory, and crowding, menyebutnya behavior setting — tempat di mana perilaku, norma sosial, dan struktur ruang saling mengatur satu sama lain.
Ruang belajar yang redup membuat pikiran cepat lelah. Kamar yang pengap menimbulkan emosi yang cepat naik. Sebaliknya, ruang yang terang dan lapang menumbuhkan disiplin dan rasa tenang. Maka, membangun pesantren bukan cuma soal bata dan semen, tapi soal psikologi arsitektur dan perilaku manusia.
Jon Lang dalam bukunya Creating Architectural Theory: The Role of the Behavioral Sciences in Environmental Design (1987), menulis, desain yang baik selalu lahir dari pemahaman yang utuh atas perilaku manusia. Arsitek memang menggambar bentuknya, tapi kehidupan ruang tumbuh dari nilai yang kita tanam di dalamnya — dari cara kita memperlakukan cahaya, udara, kedekatan, dan ketenangan. Maka pondok yang baik bukan yang besar dan tinggi bangunannya, tapi yang membuat penghuninya merasa damai, teratur, dan betah beribadah di dalamnya.
Selama ini kita sering mengira bahwa akar masalah dari tambal-sulam adalah masalah kurang modal. Padahal bukan. Solusinya adalah kesadaran. Kesadaran bahwa setiap ruang harus punya tujuan, arah dan makna. Bahwa membangun sedikit demi sedikit, kalau terencana, akan lebih berkah daripada membangun banyak tapi tanpa arah. Build small, plan big. Bangun sedikit, tapi dengan rencana besar. Rancang pondasi yang siap tumbuh, bukan siap dibongkar. Buat masterplan visioner sejak awal, meski sederhana.
Maka solusinya adalah menambah kesadaran. Tidak semua pengelola pondok harus paham arsitektur, tapi mereka bisa bekerja sama dengan ahlinya. Banyak arsitek dan akademisi yang siap membantu dengan tangan terbuka. Mereka bisa membuat masterplan visioner — rencana jangka panjang yang tumbuh pelan tapi pasti, tanpa bongkar ulang. Prinsipnya tetap: build small, plan big. Biar kecil hari ini, tapi tidak merepotkan esok hari.
“Sedikit tapi mantab itu lebih baik daripada banyak tapi ngawur.” (Prof. Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki)
Kolaborasi dan kerjasama adalah kuncinya. Kyai membawa visi spiritual, arsitek menerjemahkannya dalam bahasa ruang. Bila keduanya berjalan beriring, bangunan yang lahir tak cuma kokoh secara fisik, tapi juga mendidik dalam diam. Ruang yang menumbuhkan ketenangan, disiplin, dan rasa hormat — nilai-nilai yang tak selalu bisa diajarkan lewat kata-kata. Dari ruang kita belajar tentang warna, tekstur, proporsi, skala, dan organisasi ruang.
Saya sering berpikir, mungkin inilah yang disebut arsitektur yang berjiwa.
Sebuah arsitektur yang tak hanya menampung tubuh, tapi juga menuntun hati dan kekayaan jiwa.
Yang tidak sekadar berdiri, tapi berzikir dalam diamnya.
Islam sudah mengajarkan prinsip itu sejak lama. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, ia melakukannya dengan itqan (sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab).” (HR. Al-Baihaqi)
Bekerja dengan itqan artinya serius, teliti, dan penuh tanggung jawab — termasuk saat membangun ruang pendidikan. Karena setiap bata yang disusun tanpa ilmu akan berdampak pada jiwa-jiwa yang tumbuh di dalamnya.
Mungkin, Al-Khoziny datang bukan sebagai luka semata, tapi sebagai pengingat.
Bahwa ruang bukan hanya urusan teknik dan material, tapi urusan jiwa.
Bahwa dinding bisa runtuh, tapi maknanya bisa membangun kesadaran baru.
Setiap pondok yang sedang tumbuh mungkin perlu berhenti sejenak dan bertanya:
Apakah ruang yang sedang kita bangun ini hanya berdiri, atau juga mendidik?
Sebab ruang yang baik tak cuma membuat kita merasa aman, tapi juga membuat kita ingin belajar, ingin tumbuh, ingin berprestasi menjadi lebih baik.
Dan ketika ruang sudah mencapai titik itu — di situlah arsitektur berubah menjadi doa.
Doa yang diwujudkan dalam bentuk ruang arsitektur yang berjiwa.
Karena pada akhirnya, setiap ruang adalah cermin. Ia memantulkan siapa kita saat membangunnya — seberapa sadar kita pada amanah, seberapa tulus kita pada ilmu. Bangunan yang rubuh bukan sekadar peristiwa, tapi pantulan yang mengingatkan: membangun ruang sejatinya adalah membangun diri. Dan di situlah letak amanah sesungguhnya.
Stay Relevant!
Referensi
- Altman, I. (1975). The environment and social behavior: Privacy, personal space, territory, and crowding. Brooks/Cole.
- Lang, J. (1987). Creating architectural theory: The role of the behavioral sciences in environmental design. Van Nostrand Reinhold.
- Rapoport, A. (1982). The meaning of the built environment: A nonverbal communication approach. Sage Publications. (Sebagai rujukan konseptual tambahan.)