بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Job Hugging di Birokrasi:
Loyalitas atau Ketakutan?
Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, pemerhati mutu pendidikan
“Birokrasi sering jadi tempat berlindung, bukan ruang berkarya. Job hugging menunjukkan rasa aman bisa berubah jadi jebakan yang menumpulkan makna kerja.”
Di banyak kantor pemerintahan, suasananya tampak tertib dan teratur. Datang pagi, apel singkat, rapat sebentar, lalu tenggelam dalam tumpukan laporan. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Tapi kalau diperhatikan lebih lama, ada yang terasa ganjil.
Banyak yang bekerja dengan wajah datar. Tidak marah, tidak senang — hanya patuh menjalankan rutinitas. Seperti mesin yang sudah terlalu lama hidup di mode otomatis. Di sinilah kita bisa melihat satu fenomena yang tumbuh pelan-pelan di dunia birokrasi: job hugging.
Kalau job hopping berarti sering pindah kerja, job hugging justru kebalikannya: bertahan terlalu lama. Bukan karena cinta pekerjaan, bukan karena aktualisasi diri, tapi karena takut kehilangan rasa aman.
Di birokrasi, bisa jadi hal ini sangat mudah ditemukan. Banyak pegawai sudah belasan bahkan puluhan tahun di posisi yang sama. Bukan karena paling ahli, tapi karena paling betah — atau paling takut kehilangan status yang sudah melekat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena job hugging di birokrasi sering lahir dari tiga faktor: penghasilan yang stabil, status sebagai PNS yang masih dianggap bergengsi, dan jaminan pensiun yang membuat hidup terasa pasti. Kombinasi ini menciptakan rasa aman yang nyaman — mungkin terlalu nyaman.
Bertahan memang tampak aman. Setiap bulan gaji tetap masuk, lingkungan kerja sudah hafal luar kepala, atasan mudah ditebak. Tapi di balik itu, semangat belajar perlahan mati. Tantangan dianggap gangguan. Padahal di era yang berubah secepat ini, stagnasi justru lebih berbahaya daripada kegagalan. Peluang untuk update ilmu dan peningkatan potensi diri sering dilewatkan begitu saja.
Dalam teori Dua Faktor, teori motivasi yang dikembangkan oleh Herzberg, ada faktor hygiene seperti gaji, keamanan kerja, dan kondisi lingkungan, serta faktor motivator seperti tanggung jawab dan makna kerja. Banyak birokrat kita hanya hidup di lapisan pertama: aman, tapi kehilangan makna.
William Kahn juga menjelaskan lewat teori employee engagement, bahwa karyawan sejati hadir bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional dan kognitif. Namun di banyak kantor, kehadiran sering hanya soal absensi. Tubuhnya hadir di rapat, tapi hatinya entah di mana.
Struktur birokrasi yang statis memperkuat pola ini. Promosi sering ditentukan oleh masa kerja, bukan prestasi. Akibatnya, semangat inovasi kalah oleh strategi bertahan. Ada yang beranggapan, untuk apa repot-repot berinovasi kalau yang naik jabatan bukan yang berprestasi, tapi yang paling lama duduk?
Dari sinilah lahir mental job hugging — memeluk jabatan erat-erat, bukan hanya karena takut kehilangan, tapi juga karena bangga pada status PNS yang dianggap prestise, aman dan terhormat.
Namun saat ini stabilitas pekerjaan tidak mutlak — bahkan status sebagai PNS pun bisa terguncang. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, pemerintahan Trump melakukan PHK massal terhadap ribuan pegawai negeri ketika pemerintah mengalami shutdown. Kasus ini menjadi pengingat global bahwa jaminan pekerjaan tak selalu aman. Maka dari itu, ayo kita berubah dan memperkuat kompetensi diri, agar tak hanya bertahan, tapi juga tetap tumbuh.
Padahal birokrasi kita tidak kekurangan orang cerdas. Banyak yang ingin berbuat lebih, tapi sering terhambat sistem yang belum memberi ruang. Deputi SDM Aparatur Kementerian PANRB, Aba Subagja, pernah menegaskan bahwa tantangan terbesar reformasi birokrasi ada pada penerapan sistem merit yang benar-benar menilai kinerja, dan mendasarkan pada kepuasan pengguna layanan, bukan senioritas.
Pandangan serupa banyak disampaikan dalam berbagai seminar dan forum reformasi birokrasi: bahwa birokrasi hanya akan bergerak maju jika nilai kerja dan budaya profesional benar-benar menjadi fondasinya. Tanpa itu, setiap perubahan hanya akan berhenti pada slogan dan dokumen, bukan pada perilaku dan etos kerja nyata.
Presiden RI Prabowo Subianto pernah mengingatkan, “ikan sering busuk dari kepala,” saat mengajak pejabat negara bersama-sama memberantas korupsi. Pesan itu jelas: perubahan birokrasi harus dimulai dari atas. Jika pimpinan sibuk menjaga kenyamanan sendiri, jangan harap bawahan berani bergerak keluar dari zona amannya.
Karyawan yang tampak pasif bisa jadi korban dari sistem yang membatasi ruang gerak. Mereka tidak menolak perubahan, mereka ingin berkembang, hanya tidak melihat kejelasan arah. Dan ketika atasan tidak memberi teladan, bawahan belajar bahwa diam adalah langkah terbaik, strategi paling aman.
Di sinilah pentingnya penguatan soft skills. Banyak orang mengira ASN hanya butuh kemampuan teknis dan kepatuhan prosedur. Padahal kemampuan berkomunikasi, berempati, bekerja sama, dan berpikir kritis justru menentukan seberapa hidupnya organisasi.
Di era disrupsi digital, perubahan sangat cepat, keahlian teknis bisa cepat usang. Tapi soft skills justru semakin berharga, karena ia membuat mesin birokrasi tetap punya wajah manusia.
Dalam teori Public Service Motivation dari Perry dan Wise, pegawai publik sejatinya digerakkan oleh nilai pelayanan. Ia bekerja bukan semata untuk dirinya, tapi untuk masyarakat. Saat motivasi itu bergeser ke rasa takut kehilangan posisi, ruh pelayanan itu hilang. Yang tersisa hanyalah rutinitas tanpa makna.
Fenomena job hugging bukan sekadar cerita di kantor pemerintah. Ia adalah cermin dari banyak organisasi yang takut berubah, takut berbenah. Tapi birokrasi punya tanggung jawab lebih besar: melayani publik. Maka setiap langkah kecil menuju perbaikan — satu ide inovasi, satu keberanian, satu keputusan jujur — punya dampak dan arti besar.
Sejarah memberi contoh yang sangat agung. Di tengah kenyamanan jabatan, Umar bin Abdul Aziz memberi pelajaran sederhana tapi menampar. Suatu malam, ia memadamkan lampu negara saat berbicara dengan keluarganya tentang urusan pribadi. “Minyak ini milik umat,” ujar beliau dengan lembut, “tidak pantas kugunakan untuk kepentinganku sendiri.” MasyaAllah.
Satu tindakan kecil, tapi cahayanya menembus abad. Ia menunjukkan bahwa kejujuran dan integritas bukan soal kata besar, melainkan kesadaran menjaga batas halus antara kepentingan publik dan pribadi.
Seandainya semangat itu hidup di birokrasi hari ini — bahwa setiap pegawai merasa pekerjaan adalah amanah, bukan perlindungan diri — mungkin ruang kerja tak lagi dipenuhi wajah lelah yang hanya menunggu waktu pulang. Karena lampu yang dipadamkan Umar bukan sekadar minyak, tapi simbol kemuliaan: kekuasaan bukan sarana kenyamanan diri, melainkan ruang untuk memberi terang.
Stay Relevant!
Referensi
- Herzberg, F. (1959). The motivation to work. New York: John Wiley & Sons.
- Kahn, W. A. (1990). Psychological conditions of personal engagement and disengagement at work. Academy of Management Journal, 33(4), 692–724.
- Perry, J. L., & Wise, L. R. (1990). The motivational bases of public service. Public Administration Review, 50(3), 367–373.