Gunongan, Taj Mahal, dan Rumah Tangga Hari Ini
Di masa lalu, cinta suami kepada istri tidak selalu dinyatakan dengan kata-kata manis. Ia hadir dalam bentuk nyata—kadang taman, kadang bangunan. Sultan Iskandar Muda dari Aceh, misalnya, membangun Gunongan untuk istrinya yang berasal dari Pahang. Ia tahu sang istri rindu kampung halaman, dan ia menjawabnya bukan dengan amarah, tapi dengan pengertian.
Di belahan dunia lain, Shah Jahan mendirikan Taj Mahal, bukan untuk memamerkan kekuasaan, tapi untuk mengenang cintanya kepada Mumtaz Mahal, istri yang ia cintai hingga akhir hayat. Taj Mahal bukan sekadar bangunan megah, melainkan bentuk duka yang diubah menjadi penghormatan yang abadi.
Tapi hari ini, rumah tangga justru rentan meski teknologi makin canggih. Data perceraian terus naik setiap tahun. Masalahnya bukan selalu ekonomi. Kadang hanya karena hal kecil: tidak saling menyapa, merasa tidak dihargai, atau hilangnya percakapan yang dulunya hangat.
Padahal, Islam sudah memberi panduan yang sangat praktis namun penuh makna. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini tidak menetapkan syarat kaya, tampan, atau berpendidikan tinggi. Ia hanya meminta kita menjadi baik. Dan kebaikan, dalam konteks rumah tangga, bukan soal besar-kecil tindakan, tapi keikhlasan di baliknya.
Mungkin kita tak bisa membangun Gunongan atau Taj Mahal. Tapi kita bisa membuat istri tersenyum dengan cara yang lebih sederhana: menyeduh teh saat ia lelah, mendengarkannya tanpa menyela, atau memuji tanpa perlu alasan.
Inilah wilayah yang jarang diajarkan dalam pendidikan formal, tapi sangat penting: soft skills. Kemampuan mendengar, empati, komunikasi hangat, dan mengelola emosi. Tanpa itu, rumah yang indah bisa terasa sempit. Sebaliknya, rumah yang sederhana bisa menjadi tempat paling nyaman di dunia jika dipenuhi penghargaan.
Soft skills bukan pelengkap, tapi fondasi. Rumah tangga yang kuat bukan karena dekorasinya, tapi karena sikap lembut yang terus dijaga. Seorang suami tidak harus serba bisa, tapi ia bisa belajar menjadi tempat paling aman bagi istrinya untuk merasa didengar, dihargai, dan dicintai.
Dalam dunia yang bising dan serba cepat, justru rumah tangga yang tenang, penuh pengertian, dan ramah emosi menjadi oasis. Maka cinta hari ini tak butuh megah, tapi cukup jujur dan hadir.
Karena dalam relasi suami-istri, cinta bukan soal berapa besar yang diberikan, tapi seberapa dalam kita memahami.
Oleh: Bagus Suminar
Dosen UHW Perbanas Surabaya