Pilih Manajemen atau Hukum?
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya
Suka manajemen dan hukum? Tak harus pilih salah satu. Di era multidisiplin, gabungan keduanya justru bisa jadi kekuatanmu yang paling relevan.
Seorang lulusan SMA pernah bertanya ke saya, dengan wajah yang tampak antara bingung dan semangat: “Saya suka disiplin ilmu manajemen dan hukum. Kira-kira fakultas mana yang lebih bagus saya ambil?” Saya jawab, “Ambil dua-duanya. Tapi selesaikan satu dulu.” Bukan karena saya ingin dia repot, tapi karena zaman sekarang justru menuntut kita untuk berpikir lintas disiplin, bukan pilih salah satu lalu abaikan yang lain.
Zaman kita bukan lagi zaman serba linier. Pendidikan tidak seperti tangga satu arah. Hari ini kamu bisa mulai dari hukum, besok kamu bisa merancang bisnis yang berbasis regulasi. Atau sebaliknya, kamu kuliah manajemen lalu mendalami hukum bisnis atau hak kekayaan intelektual. Dunia kerja sekarang justru butuh orang yang bisa duduk di dua kursi: paham aturan regulasi, tapi juga tahu strategi manajemen.
Dulu, orang cukup ahli di satu bidang dan bisa bekerja sampai pensiun. Tapi sekarang, ilmu cepat usang. Teknologi berkembang lebih cepat dari kurikulum. Menurut World Economic Forum, 44% skill yang kita pakai hari ini akan bergeser hanya dalam lima tahun ke depan (Future of Jobs Report 2023). Apa artinya? Kita semua harus siap belajar ulang, kapan pun. Inilah inti dari lifelong learning—belajar tidak lagi berhenti di ruang kelas atau saat wisuda. Belajar itu sepanjang usia.
Kita juga sedang hidup di tengah era disrupsi dan percepatan teknologi, di mana Artificial Intelligence, big data, dan digitalisasi menyentuh hampir semua sektor. Dari cara kita berbelanja sampai cara hukum diproses. Bisnis dan hukum bukan lagi dua dunia yang terpisah. Hari ini, seorang pebisnis harus melek aturan perlindungan data, hukum siber, dan lisensi digital. Sebaliknya, seorang sarjana hukum tak bisa buta soal logika manajemen risiko atau pengambilan keputusan. Makanya, memilih salah satu—manajemen atau hukum—tidak berarti kamu menutup yang lain. Justru dua-duanya bisa jadi fondasi.
Dalam dunia psikologi modern, teori Cognitive Flexibility dari Spiro dan Jehng bisa menjelaskan ini. Teori ini menekankan bahwa individu yang mampu berpindah perspektif dan melihat masalah dari berbagai sisi akan lebih mudah beradaptasi di dunia kompleks. Artinya, kalau kamu paham dua disiplin ilmu—dan bisa menjembatani keduanya—kamu bukan orang yang bingung, tapi kamu punya “sudut pandang fleksibel”, kamu orang yang langka.
Dan jangan remehkan kekuatan kombinasi dua ilmu ini. Lihat saja profesi-profesi seperti corporate lawyer, compliance officer, notaris, legal risk consultant, atau bahkan pebisnis rintisan yang mengurus semua izin sendiri. Mereka semua bukan hanya tahu hukum atau hanya tahu manajemen. Mereka berada di antara keduanya—dan di situlah kekuatan mereka.
Tapi tentu, kamu tidak harus kuliah dua jurusan sekaligus. Cukup satu dulu. Fokus. Tapi jangan tutup mata dari ilmu lain. Tetap baca, tetap penasaran. Bisa lewat magang, komunitas, kursus daring, atau kerja proyek lintas bidang. Itulah prinsip belajar lintas usia dan lintas batas: kamu tidak harus jadi sarjana dua kali, tapi bisa jadi pembelajar seumur hidup. Kamu bisa kerja sambil kuliah, atau kuliah online melalui MOOCs dan lainnya, jadi ada banyak pilihan.
Saya tahu kadang kita ingin segera merasa “benar” dengan satu pilihan. Tapi kenyataannya, hidup tidak seperti pilihan ganda. Bukan A atau B. Kadang jawabannya C—kombinasi keduanya. Kadang jawabannya D—mulai dari satu, lalu teruskan ke bidang lain. Yang penting bukan “apa jurusanmu,” tapi “apa niatmu belajar.”
Dan satu hal lagi: zaman sekarang butuh lebih dari sekadar ijazah. Butuh integritas, soft skills, dan kejujuran. Kamu bisa paham hukum, tapi kalau tidak jujur, akan jadi manipulatif. Kamu bisa paham manajemen, tapi kalau tidak beretika, bisa menindas orang. Maka, apa pun pilihanmu nanti, bangun karakter bersamaan dengan kompetensi.
Jadi, buat kamu yang sedang bertanya: “Aku pilih manajemen atau hukum?”, “Farmasi atau kedokteran”, “Arsitektur atau marketing”—pertanyaannya mungkin perlu diubah. Bukan “mana yang lebih bagus,” tapi “mana yang ingin aku dalami lebih dulu.” Karena keduanya akan membentuk kamu jadi pembelajar yang bukan hanya tahu, tapi juga lentur, jujur, dan siap menghadapi dunia yang terus berubah.
Stay Relevant!