Ora Nggelakno

Ora Nggelakno

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya

Tiga kisah sederhana ini mengingatkan: kadang, yang paling berarti bukan memberi lebih—tapi memilih untuk tidak mengecewakan. Sudahkah kita?

Di Jepang, ada kereta yang tetap beroperasi bertahun-tahun hanya demi satu orang pelajar. Namanya stasiun Kyu-Shirataki. Jalurnya nyaris tak dilalui siapa-siapa, tapi kereta itu tetap datang—pagi dan sore—hingga sang siswa lulus. Tidak ada untung secara ekonomi. Tapi ada satu nilai yang mereka jaga: jangan kecewakan orang yang sedang menanti.

Lalu di Langkat, Sumatera Utara, seorang guru honorer bernama Tripika Dewi menyebrangi laut dan menempuh lima kilometer jalan kaki setiap hari. Ia mengajar di dusun terpencil, jauh dari sorotan dan fasilitas. Tak ada gaji tetap, tak ada viral-viral. Tapi setiap pagi ia tetap datang. Karena ia tahu, anak-anak itu akan menunggu dengan seragam lusuh dan buku yang nyaris kosong.

Di Bandung, hujan kadang turun tanpa jeda. Tapi warga setempat sering berkisah tentang satu sosok sederhana: seorang penjual bubur keliling yang selalu mengantar pesanan, bahkan saat hujan deras. Cerita ini tidak tercatat di media besar, tapi hidup dari mulut ke mulut di lingkungan tempat ia biasa berjualan. Ia tidak pernah ingkar. Meski hujan dan jalanan becek, meski pelanggan hanya satu. “Saya sudah janji,” katanya pelan, sambil mengelap air dari tutup gerobaknya. Ia tidak membawa bubur saja—ia membawa amanah dan kepercayaan. Sebuah kehadiran kecil yang justru besar maknanya: bahwa seseorang masih peduli, bahwa harapan masih dijaga, meski tak ada tepuk tangan yang menunggu.

Dalam bahasa Jawa, kita mengenal frasa “ora nggelakno wong”. Dalam konteks sosial budaya, dapat diartikan tidak mengecewakan, tidak melukai, tidak mengingkari harapan.

Hari ini, di era disrupsi, ketika banyak hal serba instan dan serba tergesa-gesa, sikap “ora nggelakno” justru terasa seperti oasis. Ia kecil, tapi hangat. Ia sederhana, tapi bermakna. Ia mungkin tidak akan masuk headline, tapi bisa membuat seseorang pulang dengan hati yang utuh, bahkan menyala kembali.

Secara psikologis, ini dijelaskan oleh teori Compassionate Love dari Elaine Hatfield dan Susan Sprecher. Menurut mereka, cinta kasih tak bersyarat—compassion—adalah respons aktif terhadap kebutuhan orang lain tanpa mengharap imbalan. Ia bukan sekadar simpati, tapi tindakan penuh empati. Sama seperti sang guru yang hadir tanpa digaji, atau penjual bubur yang datang tanpa ditagih. Mereka tidak tega membiarkan orang lain merasa ditinggalkan.

Psikolog sosial Susan Fiske juga menyebut bahwa manusia secara alamiah membutuhkan rasa dihargai dan diperhatikan (mirip konsep positive regard dari Carl Rogers). Maka ketika seseorang tidak mengecewakan kita, sesederhana mengantar bubur meski hujan, itu bukan hanya logistik. Itu adalah bentuk pemenuhan kebutuhan relasional yang paling dalam: “aku dianggap penting, meski cuma satu porsi.”

Dan ini tidak harus besar. Kadang, tidak mengecewakan berarti membalas pesan singkat orang yang jarang bicara. Kadang berarti hadir lima menit sebelum diminta. Kadang berarti meminjamkan telinga tanpa menggurui. Nilainya bukan pada tindakan, tapi pada niat untuk menjaga hati dan perasaan orang lain.

Kita sering terjebak dalam logika hasil. Mana yang besar, mana yang efisien, mana yang menguntungkan. Tapi budaya “ora nggelakno” mengingatkan bahwa yang sederhana pun bisa jadi agung—asal dilakukan dengan hati yang penuh.

Karena hidup ini bukan soal pencapaian pribadi semata. Hidup ini juga tentang tidak menjadi alasan luka orang lain. Bahkan kalau bisa, menjadi alasan seseorang merasa kuat dan bersemangat lagi.

Dan justru di masa-masa sulit, ketika orang semakin sibuk dengan layar dan target capaian, perilaku ini menjadi lebih berharga dari sebelumnya. Satu guru di pedalaman. Satu pelajar di stasiun. Satu porsi bubur dalam hujan. Mereka semua mengajarkan: jangan menyepelekan harapan yang kecil.

Dalam konteks yang lebih luas, Susan Fiske menjelaskan bahwa ketika seseorang dianggap hangat (warmth)—bukan dingin atau mengancam—ia akan lebih mudah mendapatkan empati, perlindungan, dan perhatian sosial. Maka saat seorang penjual bubur tetap datang walau hujan, atau guru honorer tetap hadir walau harus menyebrang laut dan berjalan kaki 5 km, mereka sesungguhnya sedang menjaga harga diri orang lain dalam bentuk yang paling halus dan manusiawi: dengan tidak mengecewakan.

Dalam Islam, ini disebut rahmah. Kasih sayang yang tidak dibatasi imbalan. Rasulullah ﷺ adalah teladan dari sikap ini. Ia tidak membentak orang yang lambat memahami. Ia tidak menyingkirkan mereka yang remeh. Bahkan dalam sunyi, ia hadir. Bahkan saat lelah, ia tetap memperhatikan.

Rahmah bukan teori langit. Ia hidup di jalanan basah Bandung, di ruang kelas terpencil Langkat, di stasiun sunyi Jepang. Ia menyapa dalam bentuk paling nyata: tidak membiarkan siapa pun merasa ditinggal.

Karena bisa jadi, yang menyelamatkan kita nanti bukan retorika atau pencapaian. Tapi tindakan kecil yang tidak mengecewakan orang lain.

Stay Relevant!


Scroll to Top