Nyenengno Wong

Nyenengno Wong

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya

Sebuah refleksi tentang laku kecil penuh makna—nyenengno wong—mulai dari sopir ojol, bus Jepang, hingga teladan Nabi ﷺ.

Di Yogyakarta, seorang sopir ojek online berhenti di pinggir jalan saat melihat seorang nenek kebingungan di trotoar. Ia turun dari motornya, mendekati sang nenek, dan bertanya apakah beliau butuh bantuan. Setelah tahu sang nenek hendak ke masjid tapi tak tahu arah, sopir ojol itu pun dengan sabar menuntunnya berjalan kaki hingga ke halaman masjid. Ia bahkan membawakan tas belanjaan sang nenek. Tak ada pesanan, tak ada bayaran, dan tak ada kamera. Tapi ada empati, ada laku luhur: nyenengno wong. Saat ditanya oleh warga yang melihatnya, ia cuma berkata pelan, “Saya hanya ingat ibu saya.”

Di Jepang, pada 2018, para sopir bus di Kota Okayama melakukan aksi mogok yang sangat tidak biasa. Mereka tetap mengoperasionalkan bus seperti biasa, namun menolak menerima bayaran dari penumpang sebagai bentuk protes terhadap perusahaan. Bagi mereka, perjuangan melawan sistem tidak boleh merugikan masyarakat. Para penumpang tetap bisa pergi bekerja, dan protes tetap berlangsung damai. Ini bukan sekadar aksi sosial, tapi cerminan nilai empati: nyenengno wong dalam skala publik. Memberi, tanpa harus menerima. Berjuang, tanpa harus menyakiti.

Seni Kecil yang Bermakna

Dalam budaya Jawa, tindakan seperti itu disebut ‘nyenengno wong’—membuat orang lain senang. Ini bukan tentang hadiah besar atau pesta kejutan. Kadang, nyenengno wong hadir dalam bentuk senyum saat menyambut tamu, pandai berterima kasih, mendahulukan orang lain masuk lift, atau menjawab chat dengan “magic word”: maaf, tolong, terima kasih. Nilainya bukan pada besar kecilnya tindakan, tapi pada keikhlasan dan kesadaran sosial yang menyertainya.

Salah satu bentuk paling sederhana dari nyenengno wong adalah tersenyum dan memanggil orang lain dengan menyebut namanya secara jelas. Tindakan ini kecil, tapi dampaknya besar. Nama adalah identitas, dan ketika seseorang memanggil kita dengan nama, apalagi disertai senyuman, maka kita merasa diakui, dihormati, dan dihargai. Ini adalah bentuk komunikasi manusiawi yang sering dilupakan di tengah kesibukan sehari-hari, padahal justru di sanalah letak kekuatan nyenengno wong yang sesungguhnya—membuat orang merasa berarti.

Dalam psikologi sosial, ini erat dengan konsep prososial behavior—yakni perilaku sukarela yang dimaksudkan untuk memberi manfaat bagi orang lain. Daniel Batson, seorang psikolog, menyebut bahwa motivasi empati adalah kunci. Orang yang nyenengno wong bukan karena ingin dipuji, tapi karena ia bisa merasakan dan memahami kebutuhan orang lain. Dan dari empati itulah muncul tindakan-tindakan kecil yang membangun suasana besar: kenyamanan, kepercayaan, bahkan kebahagiaan kolektif.

Ketika Profesionalisme Bertemu Laku Luhur

Dalam dunia kerja modern, nilai nyenengno wong bisa dilihat nyata dalam praktik pelayanan prima (service excellence)—contoh di hotel, wahana wisata dan dunia perbankan. Bayangkan seorang resepsionis hotel yang tidak hanya menyapa, tapi juga mengingat nama tamu yang menginap dua bulan lalu. Atau petugas customer service bank yang tetap tenang dan ramah meski menghadapi nasabah yang emosional. Itu bukan sekadar SOP. Itu adalah etika kerja yang berangkat dari niat untuk nyenengke wong.

Di balik praktik itu ada teori psikologi pelayanan, terutama model SERVQUAL yang dikembangkan oleh Parasuraman. Salah satu dimensinya adalah ’empathy’—kemampuan untuk menaruh diri pada posisi pelanggan. Empati inilah yang menjadi inti dari nyenengno wong: tidak hanya menyelesaikan urusan, tapi membuat orang merasa dihargai selama prosesnya. Di sinilah kita menyadari bahwa nilai budaya lokal seperti nyenengno wong bukan kuno. Ia justru sangat relevan dengan kebutuhan dunia kerja modern yang makin berbasis kepercayaan dan pengalaman pelanggan.

Menjaga Nilai di Era Serba Cepat

Hari ini, semua serba cepat. Chat dibalas otomatis. Senyum digantikan emoji. Tapi justru di tengah kecepatan itulah, nilai seperti nyenengno wong menjadi langka dan berharga. Orang akan selalu ingat bagaimana mereka diperlakukan. Seorang pelayan yang sabar, seorang guru yang sabar, seorang teman yang hadir saat kita terpuruk—itulah bentuk-bentuk nyata dari nyenengno wong.

Psikolog Carl Rogers menyebut istilah unconditional positive regard—menerima orang lain tanpa syarat, dan melihat mereka sebagai pribadi utuh. Ketika kita nyenengno wong, kita sedang menjalankan sikap itu dalam keseharian: bukan karena mereka penting, tapi karena mereka manusia. Dan dalam dunia yang makin kompetitif, kadang satu hal yang membuat kita dikenang bukanlah kecerdasan atau kekuasaan, tapi kebaikan kecil yang tulus.

Jadi, kalau hari ini kamu bisa membuat seseorang merasa dihargai, nyaman, atau sekadar tersenyum lega—maka kamu sudah menjalankan satu nilai budaya yang sangat luhur. Nyenengno wong bukan hal remeh. Ia adalah wujud kedewasaan sosial. Ia adalah bentuk peradaban.

Dan di atas semua itu, Nabi Muhammad ﷺ adalah teladan agung dalam nyenengno wong. Beliau memanggil sahabat-sahabatnya dengan nama yang paling mereka sukai, dan tidak pernah melewatkan senyuman, bahkan kepada anak kecil dan orang yang menyakitinya. Dalam hadis sahih riwayat Muslim, disebutkan bahwa seorang wanita yang terganggu jiwanya datang kepada Rasulullah ﷺ, meminta bantuan. Beliau tidak menegurnya, tapi berkata lembut: ‘Wahai ibu, pilihlah jalan mana yang engkau kehendaki, aku akan duduk bersamamu di situ dan akan membantumu.’ Beliau hadir dengan hati—tanpa syarat, tanpa penghakiman. Itulah nyenengno wong yang paling luhur. Dan jika hari ini kita bisa melakukannya, walau hanya sedikit, kita sedang meneladani cinta yang paling agung. Stay Relevant.

Scroll to Top