بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Mencari Arah Baru:
Saatnya ICMI Menyusun Kompas Bersama
Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, pemerhati mutu pendidikan
“ICMI tak kekurangan orang hebat, hanya butuh kompas baru: sistem yang menyatukan data, empati, dan semangat lintas generasi.”
Kadang organisasi itu seperti kapal tua yang masih berlayar, tapi peta sudah usang. Arah masih disebut, tapi koordinatnya kabur. Banyak pengurus ICMI hari ini melanjutkan semangat besar dari masa lalu, tapi tanpa kompas yang jelas. Program ada, tapi sedikit. Hasilnya juga sedikit. Bukan karena semangatnya padam, hanya saja langkahnya belum bertemu arah yang sama.
Sejalan dengan pandangan Imaduddin Abdulrahim dalam berbagai wawancara LP3ES (awal 1990-an), organisasi Islam bukan tempat berlindung dari perubahan, melainkan rumah untuk belajar bersama menghadapi perubahan. Kata “belajar bersama” itu penting. Karena organisasi yang berhenti belajar, cepat atau lambat akan berhenti berjalan. Dulu ICMI memang ditopang kekuasaan, tapi yang membuatnya berpengaruh bukan sekadar anggaran, melainkan gairah belajar yang menular di antara para cendekiawannya.
Masalahnya, kini banyak pengetahuan organisasi hilang bersama pergantian pengurus. Program lama tak terdokumentasi, laporan tercecer di folder pribadi, dan pengalaman berharga hanya hidup di ingatan. Akibatnya, setiap periode harus mulai dari nol lagi. Padahal menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) dalam The Knowledge-Creating Company, pengetahuan yang tidak dibagikan akan mati pelan-pelan. Organisasi yang sehat justru menyalurkan pengetahuan agar bisa hidup dan tumbuh lagi di kepala orang lain.
Ricky W. Griffin dalam Fundamentals of Management (2022) menjelaskan bahwa organisasi pada dasarnya adalah sistem terbuka — ia hidup dari aliran informasi, umpan balik, dan pembelajaran. Kalau pintu komunikasi tertutup, organisasi kehilangan napasnya. ICMI juga begitu. Ia hanya bisa hidup kalau arus pengetahuan mengalir dari pusat ke daerah, dari senior ke junior, dari pengalaman ke inovasi. Demikian juga sebaliknya, proses bottom-up, aliran dari bawah ke atas juga harus ada.
Tapi sistem tidak akan berjalan tanpa keberanian membaca realitas. Di banyak rapat, kita sering lebih sibuk menebak suasana daripada menatap data. Program kadang dibuat karena “terasa bagus,” bukan karena hasil riset atau survei. Padahal Griffin (2022) menekankan pentingnya evidence-based management — keputusan yang lahir dari data, bukan intuisi semata. Organisasi yang sehat adalah yang mau melihat kenyataan, meski kadang tak seindah harapan.
Jimly Asshiddiqie pernah mengingatkan, “ICMI harus membangun sistem yang bisa bekerja tanpa harus menunggu figur besar.” (wawancara Kompas, 2015). Kalimat ini sederhana tapi dalam. Artinya, masa depan ICMI tak boleh bergantung pada siapa yang duduk di atas, tapi pada sistem yang kuat di bawah. Sistem itu bukan sekadar software atau laporan keuangan, melainkan cara berpikir bersama yang terstruktur dan mau belajar dari data. Pola kerja yang masih bergantung pada satu orang (one man show) perlu perlahan diubah menjadi pola kolaborasi yang saling menguatkan.
Kalau bicara data, mestinya bukan hanya soal angka kehadiran atau banyaknya kegiatan. Yang lebih penting adalah dampaknya: siapa yang terbantu, apa yang berubah, dan pelajaran apa yang bisa dibawa pulang. Data semacam ini bukan cuma bahan evaluasi, tapi juga jendela empati. Ia membantu kita memahami kebutuhan anggota, irama tiap daerah, dan cara paling manusiawi untuk menjaga semangat. Karena pada akhirnya, data yang paling berharga bukan yang paling lengkap, tapi yang paling terasa dampaknya bagi orang lain.
Tantangan lain ada di soal gap antar generasi. Banyak pengurus ICMI di daerah sudah sepuh, sementara anak muda belum merasa punya tempat. Ruang dialog sering kaku, bahasanya terlalu formal. Padahal menurut Roberta Katz dari Stanford (2019), kolaborasi lintas generasi akan gagal kalau setiap generasi sibuk mempertahankan caranya sendiri. Kembali lagi, yang dibutuhkan bukan siapa paling benar, tapi siapa paling mau mendengar.
Ilham Akbar Habibie, dalam Forum ICMI 2024, pernah bilang, “Generasi muda jangan hanya jadi penonton sejarah ICMI, tapi ikut menulis bab barunya.” Kalimat ini bukan sekadar ajakan, tapi pengingat: masa depan organisasi tidak diwariskan, ia harus ditulis bersama. Yang tua berbagi pengalaman, yang muda membawa cara baru. Kalau dua dunia ini mau saling menghormati, ICMI akan menemukan napas barunya — bukan dengan mengganti semangat lama, tapi dengan memperbarui cara bekerja. Sebab dalam ekosistem yang berubah, paradigma pun harus ikut tumbuh.
ICMI tidak kekurangan orang pintar. Yang kurang mungkin hanyalah cara untuk menyambungkan kepintaran itu. Bukan soal siapa yang paling hebat, tapi bagaimana ilmu, ide, dan pengalaman bisa saling terhubung—tidak berhenti di meja rapat, tapi berlanjut jadi gerak nyata. Itulah makna sinergi yang sesungguhnya. Kompas baru yang dibutuhkan ICMI bukan sekadar strategi, melainkan sistem yang hidup: data yang jernih, dokumentasi yang tumbuh, dan empati yang menyatukan langkah.
Mungkin inilah titik temu antara dua perjalanan: dari istirahat batin di bab sebelumnya menuju gerak sadar di artikel ini. Setelah kelelahan panjang, ICMI perlu berhenti sejenak bukan untuk menyerah, tapi untuk membaca ulang arah. Allah sudah mengingatkan dalam QS. Ar-Ra’d ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” Perubahan itu tidak turun dari langit; ia tumbuh dari niat dan keberanian manusia untuk menata kembali hidupnya.
Jadi, mungkin ICMI tidak sedang kehilangan semangat — hanya sedang dipanggil untuk berubah cara. Dari semangat yang terburu-buru menuju gerak yang sadar. Dari kerja seremonial menuju kerja yang berakar pada ilmu, data, dan empati. Karena arah baru bukan ditemukan di luar, tapi dibangun dari dalam. Dan selama ada niat untuk memperbaiki diri, tak ada organisasi yang benar-benar padam — InsyaAllah akan menyala kembali.
Stay Relevant!
Biar Nggak Lupa:
- ICMI nggak kekurangan orang hebat, cuma belum punya kompas bersama. Arah baru bukan soal siapa pemimpinnya, tapi bagaimana sistemnya bekerja.
- Organisasi yang sehat bukan yang paling sibuk, tapi yang paling jujur membaca data dan berani belajar dari realitasnya sendiri.
- Pengetahuan yang nggak dibagikan akan mati pelan-pelan. ICMI perlu jadi rumah belajar lintas generasi—tempat pengalaman lama bertemu semangat baru.
- Yang tua berbagi hikmah, yang muda membawa cara baru. Dalam ekosistem baru, paradigma juga harus ikut tumbuh.
- Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” Dari sinilah arah baru ICMI dimulai—dari keberanian untuk berbenah bersama.
Daftar Pustaka
- Asshiddiqie, J. (2015). Wawancara dengan Kompas mengenai reformasi organisasi ICMI. Kompas.
- Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
- Habibie, I. A. (2024). Forum ICMI 2024: Peran generasi muda dalam ICMI masa depan. ICMI.
- Imaduddin, A. (1993). Wawancara dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tentang organisasi Islam dan perubahan sosial. LP3ES.
- Katz, R., et al. (2019). Generational differences at work and collaboration models. Stanford Center for Advanced Study in the Behavioral Sciences.
- Nonaka, I., & Takeuchi, H. (1995). The knowledge-creating company: How Japanese companies create the dynamics of innovation. Oxford University Press.