بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Makan Gratis, Mutu Tak Boleh Murahan
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Tim Soft Skills SDMIndonesia.com
“Gratis boleh, tapi mutu tak boleh murahan. Program makan bergizi hanya akan bermakna jika tiap piring sehat, aman, dan jadi doa masa depan bangsa.”
Ada satu pertanyaan menarik yang berulang kali muncul setiap kali Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dibicarakan: gratis itu boleh, tapi bagaimana dengan kalkulasi mutunya?
Pemerintah bisa saja membagikan jutaan piring makanan ke sekolah, posyandu, dan dapur umum. Anggaran beberapa triliun pun sudah digelontorkan. Tetapi, yang perlu kita ingat, bukan jumlah nasi yang masuk ke perut yang akan menentukan masa depan bangsa, melainkan kualitas gizinya.
Kita masih ingat kabar sedih akhir-akhir ini. Di Sukoharjo, sejumlah siswa mengalami mual dan pusing setelah menyantap menu MBG. Di Lebong, Bengkulu, tercatat lebih dari 400 siswa harus mendapat perawatan medis akibat keracunan massal. Sementara di Bogor, lebih dari 170 siswa dan guru juga jatuh sakit setelah makan dari program serupa.
Rangkaian insiden ini membuat media internasional seperti The Guardian menyorotinya sebagai peringatan serius tentang lemahnya pengawasan mutu. Bukannya menurunkan angka stunting, program yang mestinya jadi kebanggaan justru sempat berubah jadi ironi. Gratis? Ya. Bergizi? Belum tentu. Aman? Masih tanda tanya besar.
Transparency International Indonesia pada 30 Juni 2025 merilis kajian berjudul “Risiko Korupsi di Balik Hidangan Makan Bergizi Gratis”. Dalam laporan itu, TII mengingatkan bahwa Program Makan Bergizi Gratis berisiko tinggi gagal bila tata kelolanya tidak diperkuat. Mereka menyoroti potensi konflik kepentingan, lemahnya regulasi pelaksana, hingga kerentanan dalam proses pengadaan yang rawan penyalahgunaan. TII menyebut program ini tampak menjanjikan di atas kertas, tetapi belum sepenuhnya memenuhi prasyarat tata kelola yang sehat dan transparan.
Evaluasi Bank Dunia melalui laporan tahun 2024 tentang school feeding programs di negara berkembang juga menegaskan hal serupa. Bank Dunia mencatat bahwa pemberian makan bergizi memang terbukti meningkatkan kehadiran siswa dan menurunkan angka malnutrisi. Namun, mereka mengingatkan bahwa tantangan utama terletak pada pendanaan jangka panjang, ketersediaan pangan lokal yang stabil, serta mekanisme distribusi yang efektif. Dengan demikian, kegelisahan soal mutu bukan sekadar reaksi spontan akibat kasus keracunan, melainkan persoalan struktural yang sejak awal telah dikhawatirkan oleh banyak kalangan.
Di titik ini, kita bisa belajar dari teori manajemen mutu. Dalam siklus Plan–Do–Check–Act yang dikemukakan W. Edwards Deming, mutu hanya bisa dicapai kalau perencanaan jelas, pelaksanaan konsisten, evaluasi ketat, dan perbaikan dilakukan terus-menerus (continuous improvement). Masalahnya, MBG tampak gagah di tahap Plan dan Do, tapi lemah di Check. Monitoring dan evaluasi dikhawatirkan tidak cukup ketat, sehingga insiden bisa lolos tanpa cegah dini. Padahal, dalam pandangan mutu, satu kesalahan kecil bisa merusak seluruh kepercayaan publik. Nila setitik rusak susu sebelanga.
Lalu bagaimana seharusnya? Eko Sumando, peneliti Indonesia di Australian National University, lewat tulisannya di East Asia Forum (21 Maret 2025), memberi inspirasi berharga. Menurut beliau Indonesia bisa belajar dari negara India, yang sukses menjalankan program makan siang sekolah karena dimulai dengan pilot project terbatas, lalu diperluas secara bertahap sambil terus dibenahi. India menjaga mutu dengan audit publik, transparansi pengadaan, dan kemitraan publik–swasta. Semua itu dilakukan agar skala besar tidak mengorbankan kualitas. Pesannya sederhana: Lebih baik bertumbuh perlahan dengan mutu, daripada meluas cepat tapi rapuh.
Lembaga riset INDEF, melalui laporan Efek Pengganda Program MBG (2024), mendokumentasikan bahwa dalam pilot project MBG yang dilaksanakan di 10 kabupaten/kota, mitra UMKM mencatat penambahan tenaga kerja rata-rata 3 orang per mitra dan peningkatan pendapatan bersih UMKM sekitar 33,68% per bulan dibanding sebelumnya. (>Sumber: INDEF, laporan 1 November 2024) Data ini juga diiringi estimasi bahwa alokasi anggaran sebesar Rp 71 triliun untuk MBG pada 2025 dapat mendorong pertumbuhan PDB sebesar 0,06% atau senilai ≈ Rp 14,61 triliun.
Namun, data terkini menunjukkan bahwa risiko sangat nyata. Per 28 Agustus 2025, INDEF melaporkan lebih dari 4.000 orang telah menjadi korban keracunan makanan akibat program MBG di beberapa daerah. Salah satu insiden yang cukup besar terjadi di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Lebong, dimana 127 siswa di Sleman dan 427 siswa di Lebong dilaporkan keracunan akibat konsumsi menu MBG—kasus ini mempertegas masalah yang berulang terkait pengawasan higienitas pangan.
Ada pula suara dari dunia kesehatan. Laura Navika Yamani, epidemiolog dari Universitas Airlangga, dalam wawancaranya pada Berita Unair News (20 Mei 2025) menegaskan bahwa keamanan pangan adalah kunci dalam mencegah resiko keracunan massal. Ia mengingatkan bahwa celah kontaminasi bisa terjadi di semua titik rantai—mulai dari bahan mentah, proses pengolahan, penyimpanan, distribusi, hingga penyajian di sekolah.
Tanpa pengawasan ketat, program MBG yang semestinya bergizi justru berpotensi menimbulkan bahaya. Karena itu, Laura mendorong pembentukan tim audit pangan independen yang melibatkan pakar lintas disiplin agar kualitas dan keamanan makanan MBG benar-benar terjamin.
Jika kita tarik ke horizon yang lebih jauh, mutu ini bukan sekadar urusan hari ini. Human Capital Theory, yang diperkenalkan Theodore Schultz dan dikembangkan Gary Becker, mengajarkan bahwa gizi dan pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi produktivitas dan keberhasilan bangsa.
Anak yang sehat akan lebih cerdas, lebih rajin belajar, dan kelak menjadi tenaga kerja SDM yang berkualitas. Maka setiap rupiah yang dipakai untuk menjaga mutu makanan bukanlah biaya, melainkan tabungan jangka panjang (investasi) untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045.
Tentu saja, menjaga dan mempertahankan mutu tidak mudah. Tapi bukan berarti mustahil. Ada banyak cara inovatif yang bisa ditempuh. Perlu kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas. Misalnya, memakai aplikasi digital sederhana untuk melaporkan menu harian dan foto makanan, sehingga pengawasan bisa dilakukan real-time. Atau melibatkan orang tua dan guru sebagai “auditor mutu rakyat” yang setiap hari melihat langsung apa yang dimakan anak-anak. Bahkan, dapur umum bisa ditingkatkan menjadi dapur cerdas dan ramah lingkungan, dengan standar kebersihan yang unggul.
Yang tak kalah penting, jangan lupakan potensi daerah dan kearifan lokal. Menu bergizi tidak harus seragam di seluruh Indonesia. Di pesisir, ikan laut bisa jadi andalan. Di Jawa, kacang hijau mudah ditemukan. Di Papua, sagu bisa diolah jadi makanan utama yang sehat. Dengan memanfaatkan sumber pangan lokal, mutu bisa dijaga sekaligus memperkuat identitas budaya.
Al-Qur’an sudah jauh-jauh hari mengingatkan kita: “Wahai manusia! Makanlah dari makanan yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah: 168). Pesan sederhana namun agung ini menegaskan bahwa makanan tidak hanya soal halal, tapi juga harus thayyib—baik, bergizi, dan aman. Memberi makan anak bangsa adalah amal mulia, tapi bila yang diberikan tidak thayyib, ia bisa berubah menjadi kelalaian.
Maka mutu bukan hanya perkara teknis administrasi, melainkan amanah ilahi. Anak-anak Indonesia tidak sekadar butuh piring gratis, tetapi makanan yang halal, bergizi, dan bermutu. Sebab di balik setiap suap yang masuk ke mulut mereka, ada masa depan untuk keberhasilan sebuah bangsa.
Sebab setiap butir nasi yang halal dan baik di piring mereka bukan sekadar makanan, melainkan doa diam-diam untuk lahirnya generasi Indonesia yang kuat, cerdas, dan bermartabat. Stay Relevant!
Daftar Pustaka
- Becker, G. S. (1993). Human capital: A theoretical and empirical analysis, with special reference to education (3rd ed.). University of Chicago Press.
- Cakrawarta. (2025, May 23). Keracunan massal bayangi program makan gratis, Laura Navika Yamani: Jangan biarkan anak jadi korban eksperimen. Cakrawarta.
- Deming, W. E. (1986). Out of the crisis. MIT Press.
- East Asia Forum. (2025, March 21). Indonesia’s free meals program: Lessons from India. East Asia Forum.
- Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). (2024). Efek pengganda program makan bergizi gratis. INDEF.
- The Guardian. (2025, January 21). Indonesia’s free school meal scheme sparks health concerns after poisoning incident. The Guardian.
- Transparency International Indonesia. (2025, June 30). Catatan kritis terhadap program makan bergizi gratis. TII.
- World Bank. (2024). School feeding programs: Evidence and lessons for developing countries. World Bank Group.