Koperasi dan Soft skills

Koperasi Itu Bukan Sekadar Rapat Anggota, Tapi Ujian Empati Kolektif

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Koperasi Itu Bukan Sekadar Rapat Anggota, Tapi Ujian Empati Kolektif

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Tim Soft Skills SDMIndonesia.com

“Koperasi bukan sekadar rapat anggota. Ia hidup dari empati, trust, dan teamwork. Tanpa itu, 80 ribu koperasi pun hanya jadi papan nama.”

Kalau dengar kata koperasi, banyak orang langsung ingat rapat anggota tahunan dengan agenda laporan keuangan dan pembagian SHU. Padahal koperasi itu jauh lebih besar daripada sekadar acara formalitas setahun sekali. Di balik rapat, ada denyut empati, trust, dan teamwork yang menentukan apakah koperasi bisa hidup langgeng atau cuma jadi papan nama di kantor desa.

Sejak awal, koperasi digagas sebagai sokoguru (tiang utama) ekonomi kerakyatan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 jelas menyebut asas kekeluargaan sebagai fondasi. Di atas kertas, koperasi adalah wadah paling ideal untuk memperkuat ekonomi bersama. Tapi realitanya sering jauh berbeda. Banyak koperasi mandek atau bahkan bubar bukan karena aturannya salah, tapi karena anggotanya kehilangan rasa percaya, malas berpartisipasi, atau sekadar menunggu “manfaat koperasi turun dari langit” tanpa ikut aktif ambil bagian.

Program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) resmi diluncurkan pada tanggal 21 Juli 2025 di Bentangan, Klaten, Jawa Tengah, oleh Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah menetapkan target sangat besar: 80 ribu koperasi desa berdiri di seluruh Indonesia. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 sudah diteken untuk mempercepat pembentukannya, lengkap dengan ragam unit usaha mulai dari gerai sembako, apotek desa, simpan pinjam, hingga cold storage untuk hasil pertanian dan perikanan.

Langkah diatas luar biasa di atas kertas, tetapi tetap saja, tantangan utamanya bukan pada jumlah koperasi yang bisa berdiri atau seberapa lengkap fasilitas unit usahanya. Tantangan sesungguhnya ada pada soft skills: trust, empati, dan teamwork. Sebab tanpa kepercayaan antaranggota, koperasi mudah macet. Tanpa empati, suara anggota kecil akan tenggelam. Dan tanpa teamwork, koperasi akan tinggal nama meski papan namanya sudah terpasang rapi di depan kantor desa.

Hal yang sama ditegaskan oleh Menteri Koperasi dalam rapat bersama Komisi VI DPR pada 12 Februari 2025. Ia mengakui ada 22 regulasi yang justru menghambat pengembangan koperasi. Regulasi itu dinilai sudah tidak relevan dengan kebutuhan digitalisasi, transparansi, dan penguatan kelembagaan koperasi saat ini. Karena itu, pemerintah mendorong revisi UU Perkoperasian agar koperasi lebih adaptif terhadap tantangan ekonomi modern. Namun, para akademisi mengingatkan bahwa sebaik apa pun regulasi baru, kalau sumber daya manusianya belum siap—baik kompetensi teknis maupun soft skills seperti komunikasi, kepemimpinan, dan integritas—koperasi akan tetap rentan gagal.

Coba lihat kenyataan di lapangan. Ada koperasi simpan pinjam yang gagal bukan karena modal kurang, melainkan karena pengurus kurang amanah, laporan tidak transparan, dan anggota kehilangan kepercayaan. Ada koperasi pertanian yang sudah didukung pemerintah, tapi anggotanya kurang peduli, sibuk jalan sendiri-sendiri. Di sinilah disinilah penguatan soft skills menemukan relevansinya.

Daniel Goleman lewat konsep Emotional Intelligence menekankan pentingnya empati, self-regulation, dan keterampilan sosial. Tanpa empati, anggota koperasi tidak akan merasa didengar. Tanpa keterampilan sosial, pengurus sulit membangun komunikasi dan promosi yang sehat dengan anggota. Spencer & Spencer lewat Competency Model juga menegaskan teamwork dan conflict resolution sebagai kompetensi inti. Kalau konflik kecil dan problem komunikasi antaranggota tidak bisa diatasi, koperasi cepat pecah.

Apalagi di era digital sekarang. Pemerintah mendorong digitalisasi koperasi: laporan keuangan online, aplikasi pinjaman, sistem simpanan berbasis aplikasi. Bagus sekali idenya, tapi kenyataan menunjukkan banyak pengurus belum siap secara soft skills, bukan hanya teknis. Ada yang gagap teknologi, ada yang enggan transparan, ada yang malas mendengar saran / masukan anggota. Padahal, digitalisasi butuh trust, kepercayaan. Kalau anggota tidak percaya data mereka aman atau laporan tidak terbuka, mereka akan mundur teratur.

Karena itu, koperasi hari ini bisa disebut sebagai “ujian empati kolektif”. Empati artinya mau mendengar keluhan anggota kecil, bukan hanya pengurus inti. Trust artinya menjaga amanah uang bersama, sekecil apa pun. Teamwork artinya siap bekerja sama meski beda kepentingan. Inilah yang membuat koperasi berbeda dari badan usaha lain. PT atau CV bisa jalan dengan kepemimpinan kuat satu orang atau sekelompok kecil. Koperasi butuh kebersamaan, butuh hati banyak orang bergerak seirama.

Maka, saran inovasinya jelas. Pendidikan koperasi harus digabung dengan pendidikan soft skills. Jangan cuma fokus ke akuntansi, rugi-laba dan aturan rapat, tapi juga ke komunikasi publik, motivasi, integritas, dan teamwork. Bayangkan kalau anggota koperasi baru diwajibkan ikut sesi pelatihan singkat tentang bagaimana cara membangun trust, bagaimana cara menyampaikan kritik tanpa merusak hubungan, bagaimana cara menjaga transparansi digital. Itu jauh lebih berguna daripada sekadar menghafal pasal-pasal undang-undang.

Kita juga bisa mendorong platform digital koperasi yang tidak hanya mencatat transaksi, tapi juga mengukur kepuasan anggota, tingkat partisipasi, bahkan indikator kepercayaan. Jadi, bukan sekadar aplikasi keuangan, melainkan cermin empati kolektif. Membangun modal sosial sangat penting bagi koperasi.

Pada akhirnya, koperasi bukan sekadar rapat anggota, bukan sekadar program pemerintah, dan bukan sekadar regulasi. Koperasi adalah cermin karakter bangsa: apakah kita benar-benar benjadi bangsa yang bisa bekerja sama, saling percaya, dan memimpin diri sendiri untuk tujuan bersama. Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari & Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa koperasi hanya akan hidup kalau anggotanya hidup dengan empati, trust, dan amanah.

Hikmah terbesarnya: koperasi akan tumbuh bukan karena janji regulasi, tapi karena jiwa kolektif yang jujur dan saling percaya. Maka sebelum sibuk mendirikan koperasi baru, mari kita bercermin: apakah kita sudah saling mendengar, saling percaya, dan saling menanggung tanggung jawab bersama? Karena koperasi sejati bukan hanya soal ekonomi, tapi soal empati yang diuji setiap hari. Sekali lagi soal “empati yang diuji setiap hari”.

Stay Relevant!


Referensi

  • Antara News. (2025, Februari 12). Menkop sebut 22 regulasi hambat pengembangan koperasi.
  • Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York, NY: Bantam Books.
  • Spencer, L. M., & Spencer, S. M. (1993). Competence at work: Models for superior performance. New York, NY: John Wiley & Sons.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
  • Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.


Scroll to Top