Kamu Menyala Banget

Kamu Menyala Banget

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen Tetap UHW Perbanas Surabaya

Apa jadinya jika kita lebih sering mengakui nyala orang lain, bukan memadamkannya?
Dunia bisa jadi lebih hangat.

Ada kalimat sederhana yang akhir-akhir ini sering kita dengar:
“Kamu menyala banget.”

Sekilas seperti pujian biasa, gaya anak muda, selewat angin. Tapi siapa sangka, satu kalimat itu bisa menjadi obor kecil yang dahsyat yang mampu menghangatkan seseorang yang nyaris padam. Di dunia yang semakin ramai, kadang kita lupa satu hal paling manusiawi: mengakui potensi api dalam diri orang lain.

Kita terlalu sibuk menunjuk siapa yang redup, siapa yang salah, siapa yang kurang. Padahal mungkin, mereka hanya butuh satu pengakuan. Satu kalimat: “Kamu menyala banget.” Dan api itu melaui hidup kembali.

Di beberapa negara, pujian adalah budaya yang diwariskan sejak kecil. Di Amerika, anak-anak terbiasa mendengar “Good job!”, “I’m so proud of you!” bahkan untuk hal-hal kecil—makan sendiri, merapikan sandal, berani bicara. Di Finlandia, pujian tidak meledak-ledak, tapi hadir dalam bentuk pengakuan tulus atas perkembangan: “Sip, Kamu sudah belajar lebih dalam hari ini.” Di Jepang, pujian diarahkan pada proses, bukan hasil: “Kamu sudah berusaha keras ya, ganbatta ne.”

Bukan soal kata-katanya, tapi apa yang disampaikan melalui pujian itu menandakan: kamu terlihat, kamu diakui, kamu tumbuh.

Namun sayangnya, tak semua nyala mendapat ruang untuk bersinar. Di ruang kekuasaan, pejabat sering merasa paling tahu. Kritik dianggap gangguan, bukan suara cinta. Kita pernah mendengar: “Kamu tahu apa soal ini?” dan saat itu, nyala keberanian (untuk berinovasi) padam satu per satu. Lebih menyedihkan lagi ketika kekuasaan justru dipamerkan di tengah kesulitan rakyat—membuat mereka merasa kecil, tak layak bersuara.

Di ruang-ruang kelas, kadang guru lupa bahwa nyala setiap murid datang dalam bentuk dan waktu yang berbeda. Ketika anak ditegur di depan umum, teman yang lain mentertawakan karena salah menjawab, atau saat hanya si “favorit” yang dipuji, maka anak-anak lain belajar untuk diam, bukan untuk mencoba. Ketika usaha tidak dilihat, hanya hasil yang dipuja, maka api yang semula ingin menyala akhirnya memilih meredup dalam diam.

Di tengah masyarakat pun, ucapan yang nampak remeh bisa memadamkan semangat orang. “Ih, ngapain sih kayak gitu? Norak banget.” Atau: “Cuma kerja di warung, apa hebatnya? Kamu kalah sama anaknya Bu RT.” Kata-kata seperti itu mungkin tak berniat jahat, tapi bisa menghancurkan keyakinan yang sedang tumbuh. Dan nyala yang rapuh pun padam—bukan karena angin besar, tapi karena napas dingin dari sesama.

Namun psikologi modern menyebutkan: nyala bisa dikembalikan, bisa dilatih. Albert Bandura menyebutnya sebagai self-efficacy—keyakinan bahwa seseorang mampu melakukan sesuatu. Dan pujian, yang sederhana tapi tulus, dapat memperkuat rasa mampu itu. Kalimat seperti “Kamu menyala banget” bisa menjadi titik balik, saat seseorang mulai percaya lagi pada dirinya sendiri.

Henri Tajfel mengajarkan bahwa manusia butuh merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Identitas sosial yang positif membuat seseorang merasa berharga. Maka ketika kita berkata “kamu menyala” kepada anggota komunitas, keluarga, atau bangsa, kita sedang membentuk nyala kolektif, nyala kebersamaan: sebuah cahaya yang tidak berdiri sendiri.

Martin Seligman dan Mihaly Csikszentmihalyi, melalui positive psychology, menunjukkan bahwa manusia menyala saat hidupnya bermakna. Saat ia menemukan keterlibatan mendalam dalam apa yang ia lakukan. Saat ia berada dalam flow, dan lupa pada dunia karena jiwanya hadir penuh. Maka pujian bukan sekadar hadiah, tapi pengakuan bahwa hidupnya tidak sia-sia.

Kalau begitu, apakah cukup hanya dengan satu pujian?

Mungkin tidak. Tapi satu pujian bisa menjadi awal dari perubahan besar. Bisa menjadi satu lilin kecil yang berantai menyalakan lilin lain. Bisa menjadi nada pertama yang membangun untaian irama.

Maka mari kita mulai dari hal sederhana. Daripada mencibir, ucapkan “keren juga ya.” Daripada diam saat kagum, bisikkan “gue salut sama lu.” Daripada membandingkan anak kita dengan anak orang lain, katakan “aku lihat kamu sudah berusaha, itu hebat.”

Menyala itu bukan soal menang. Menyala itu soal tetap hidup, meski angin keras. Soal tidak malu menjadi terang, dan tidak pelit mengakui terang orang lain.

Karena pada akhirnya, bangsa ini tidak butuh lebih banyak pemadam. Yang kita butuhkan hanyalah lebih banyak lilin—untuk saling menyalakan.

Kadang yang kita butuhkan bukan motivasi besar, bukan pelatihan, bukan nasihat panjang. Kadang, cukup satu kalimat yang sederhana, tapi tulus: “Kamu menyala banget.” Kalimat itu bisa menghapus rasa tak berharga, bisa membangkitkan semangat yang lama terkubur, bisa menjadi pelita bagi seseorang yang tengah berjalan di dalam gelap.

Dan jika kamu pernah melihat seseorang yang tetap bertahan, tetap berbuat baik meski tak disorot, tetap belajar meski tak dipuji—ketahuilah, ia sedang menyalakan sesuatu yang tak semua orang bisa lihat. Bukan hanya semangat. Tapi nilai. Cahaya. Kehadiran yang memberi hangat.

Allah berfirman dalam QS An-Nur ayat 35: “Allahu nûru as-samâwâti wa al-ardh.” Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Maka setiap kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas, setiap ilmu yang dibagi dengan hati, setiap langkah kecil yang jujur—itu bukan sekadar jejak manusia biasa.

Jadi jangan pernah anggap pujian kecilmu tak berarti. Jangan ragu menyalakan orang lain dengan kata-kata yang membangun. Karena mungkin, satu kalimatmu hari ini menjadi sebab seseorang kembali menemukan nyalanya.

Dan jika itu terjadi, bisa jadi kamu pun…
…sedang memantulkan cahaya Ilahi.

Scroll to Top