Kalau Sudah Diketahui Akar Masalahnya, Yuk Tanam Pohon Solusi
“ICMI nggak kekurangan ide, cuma kadang lupa menanamnya. Akar masalah sudah kelihatan, yuk tumbuhkan pohon solusi.”
Di ICMI, kita paling cepat menemukan masalah. Yang belum kita kuasai cuma satu: berhenti menikmatinya. Kadang masalah malah dirawat seperti tanaman hias—disiram tiap rapat, dipupuk dengan opini, tapi tak pernah dicabut sampai akarnya. Padahal kalau akar sudah kelihatan, bukankah langkah selanjutnya seharusnya menanam sesuatu yang baru? Mari kita berhenti jadi tukang analisis, dan mulai jadi tukang tanam solusi.
Masalah organisasi sering bukan karena niatnya kurang baik, tapi karena sistemnya tidak belajar. Banyak orda sudah punya pengalaman bagus, tapi jarang terdengar sampai pusat. Ada orda yang bikin program ekonomi umat, ada orwil yang punya gerakan literasi digital, tapi semua berjalan seperti bintang di langit—bersinar sendiri-sendiri. ICMI sebenarnya kaya praktik baik, tapi miskin sistem yang menghubungkannya. Di sinilah akar masalah itu bersembunyi.
B. J. Habibie pernah bilang, “The process of reforms in Indonesia is well conducted, but it is still far from the target.” (Antara News, 2018). Kalimat itu bukan keluhan, tapi tamparan halus. Kita sering berhenti di perencanaan tanpa memastikan perubahannya benar-benar hidup. Habibie juga bilang, “Technology plays an important role to improve the competitiveness of the nation… The value comes from the thoughts of someone.” (Universitas Gadjah Mada, 2011). Nilai itu muncul dari cara kita berpikir dan mengeksekusi ide—dari kesediaan untuk terus belajar, bukan dari banyaknya program.
ICMI bisa mulai dari hal paling sederhana: berbagi apa yang sudah berhasil. Bayangkan kalau setiap orda membuat Peta Akar dan Pohon Solusi—semacam catatan singkat, “masalah apa yang kami hadapi, dan langkah kecil apa yang kami lakukan.” Misalnya, Orda Jember menanam pohon di lahan tandus sebagai simbol kolaborasi lintas ormas. Orwil Sulawesi Tengah membuat forum diskusi daring lintas kampus. Dari situ pusat bisa belajar, bukan sekadar memberi instruksi. Kalau setiap daerah menanam satu solusi, Indonesia bisa jadi taman besar.
Rapat kita sering terlihat sibuk, tapi hasilnya tidak selalu hidup. Kadang semua orang datang, layar penuh presentasi, tapi pulang dengan rasa yang sama: capek tapi tak bergerak. Lucunya, rapat yang katanya “perbaikan sistem” malah berubah jadi “sistem memperbaiki rapat.” Yang dibahas bukan arah kerja, tapi posisi duduk dan urutan bicara. ICMI perlu gaya kerja baru: bukan “rapat lagi,” tapi “belajar bareng.” Bukan “mencatat keputusan,” tapi “menuliskan pelajaran.”
Dalam dunia manajemen, ada yang disebut Triple-Loop Learning (Argyris & Schön, 1996). Intinya, belajar bukan cuma memperbaiki tindakan, tapi juga cara berpikir dan niat di baliknya. Di organisasi, kita sering sibuk dengan single-loop—memperbaiki teknis tanpa menyentuh nilai. Padahal, kalau niat di akar sudah bengkok, hasil di ujungnya pasti melenceng. ICMI butuh budaya belajar yang jujur: berani bilang “kami belum tahu,” lalu mencari tahu bersama.
Beberapa langkah kecil bisa dilakukan tanpa harus menunggu rapat nasional. Misalnya, setelah setiap kegiatan, pengurus menulis tiga kalimat refleksi di grup WA: satu yang berhasil, satu yang gagal, dan satu yang perlu diperbaiki. Lalu setiap bulan, satu orda dipilih untuk berbagi cerita di forum daring: “Inilah yang kami pelajari bulan ini.” Tidak perlu mewah—cukup konsisten. Dari kebiasaan kecil seperti ini, pelan-pelan tumbuh budaya learning organization tanpa harus ganti struktur.
Root Cause Analysis (Juran, 2016) mengajarkan kita untuk melihat akar masalah, bukan gejala. Tapi kalau sudah tahu akarnya, lalu diam, itu bukan analisis—itu hobi. ICMI harus menindaklanjuti setiap temuan dengan langkah nyata. Misalnya, kalau masalahnya komunikasi pusat–daerah, buat kanal sederhana untuk berbagi laporan dan inspirasi. Tak perlu platform rumit—Google Drive saja bisa, asal diisi dengan jujur dan disiplin. Kadang solusi besar dimulai dari keberanian untuk sederhana.
Rapat memang penting, tapi mendengar lebih penting. ICMI bisa belajar dari tradisi Rasulullah ﷺ yang mempraktikkan syura bukan sebagai formalitas, tapi ruang tumbuhnya gagasan. Dalam sejarah, banyak keputusan besar lahir bukan dari pidato panjang, tapi dari dialog yang jernih. Semangat itu perlu dihidupkan lagi: mendengar dengan niat memahami, bukan sekadar menunggu giliran bicara.
Organisasi besar tidak tumbuh karena banyaknya program, tapi karena dalamnya akar nilai. Di sini Islam memberi panduan yang luar biasa: “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9–10). Menyucikan jiwa organisasi berarti membersihkan niat—bekerja bukan untuk pujian, tapi untuk manfaat. Kalau akar niatnya benar, setiap keputusan bisa menjadi amal.
ICMI tidak harus menunggu muktamar untuk berubah. Perubahan bisa dimulai dari satu obrolan jujur di grup, dari satu aksi kecil yang berdampak nyata. Satu pohon solusi ditanam di orda kecil pun sudah cukup, asal disiram dengan konsistensi. Pohon itu akan tumbuh, meneduhkan, dan memberi buah bagi banyak orang.
Menyucikan jiwa bukan berarti tanpa salah, tapi berani belajar dari salah dengan hati yang bersih. Organisasi yang ikhlas tidak hanya bergerak, tapi menumbuhkan kehidupan. Dan kalau ICMI mau belajar menanam, bukan sekadar membahas tanah, mungkin yang tumbuh nanti bukan cuma pohon solusi—tapi hutan ide yang meneduhkan bangsa.
Stay Relevant!
Biar Nggak Lupa:
- ICMI nggak kekurangan ide, yang kurang cuma kebiasaan menanamnya sampai tumbuh nyata.
- Akar masalah bukan untuk disiram terus, tapi untuk dicabut dan diganti dengan pohon solusi.
- Belajar itu bukan teori di slide, tapi kebiasaan jujur untuk memperbaiki diri setiap hari.
- Perubahan besar sering lahir dari langkah kecil—satu orda berbagi praktik baik, satu pengurus berani mencoba.
- Kalau akar niatnya lurus, ICMI nggak cuma bergerak, tapi menumbuhkan kehidupan bagi banyak orang.
Daftar Pustaka
Antara News. (2018, September 14). Indonesia’s reforms still far from realized: Habibie. Retrieved from https://en.antaranews.com/news/115821/indonesias-reforms-still-far-from-realized-habibie
Argyris, C., & Schön, D. (1996). Organizational Learning II: Theory, Method, and Practice. Addison-Wesley.
Juran, J. M. (2016). Juran’s Quality Handbook: The Complete Guide to Performance Excellence. McGraw-Hill Education.
Universitas Gadjah Mada. (2011, May 11). B. J. Habibie: Technology provides added value for nation’s competitiveness. Retrieved from https://ugm.ac.id/en/news/6532-b-j-habibie-technology-provides-added-value-for-nation-s-competitiveness