بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
ICMI dan Seni Mengakui:
Antara Pujian, Pengakuan, dan Ketulusan
Artikel 7
Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, pemerhati mutu pendidikan
“ICMI akan selalu hangat selama orang-orang di dalamnya saling mengingatkan: kerja kerasmu nggak sia-sia, kami melihatmu, kami menghargaimu.”
Pujian itu penting, tapi jangan kebanyakan—nanti malah bikin kembung. Pengakuan beda. Ia nggak selalu terdengar keras, tapi rasanya dalam. Banyak pengurus ICMI bukan haus tepuk tangan, mereka cuma ingin tahu bahwa kerja diam-diamnya nggak lewat begitu aja. Kadang, satu kalimat “terima kasih” bisa lebih menyalakan semangat daripada sepuluh rapat strategi. Karena manusia itu lucu—ditegur keras masih kuat, tapi diabaikan sedikit saja bisa hilang semangatnya.
Pujian itu bukan hal buruk. Semua orang butuh dihargai, asal datangnya dari hati. Masalahnya cuma satu: kadang pujian berubah jadi formalitas, bukan ketulusan. Kalau tulus, pujian bisa jadi vitamin semangat. Tapi kalau cuma basa-basi, ya lewat begitu aja, nggak menyentuh apa-apa. Di ICMI, pujian tetap penting—asal disertai pengakuan yang lebih dalam, supaya semangat yang tumbuh bukan karena sorotan, tapi karena rasa dihargai.
B. J. Habibie pernah bilang waktu ICMI lahir di Malang tahun 1990: “Dengan berdirinya ICMI tidak berarti kita hanya memperhatikan umat Islam, tetapi mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh bangsa Indonesia.” Kalimat itu kelihatannya sederhana, tapi maknanya dalam sekali. Habibie sedang bicara soal pengakuan yang melampaui batas kelompok—bahwa setiap orang, siapa pun dia, pantas diakui kontribusinya. Seperti teladan Habibie, ICMI seharusnya jadi rumah apresiasi—tempat di mana pujian, pengakuan, dan penghargaan jalan bareng. Rumah yang nggak sekadar mengagumi hasil, tapi juga menghargai proses dan niat baik di balik setiap karya.
Dalam teori Recognition dari Axel Honneth dalam bukunya The Struggle for Recognition (1995), pengakuan adalah kebutuhan moral manusia. Tanpa pengakuan, seseorang kehilangan rasa harga diri dan makna sosialnya. Nah, di sinilah kadang organisasi kehilangan rohnya. Kita sibuk mencatat kehadiran, tapi lupa melihat kehadiran hati.
Kadang orang nyampur aduk antara pujian, pengakuan, dan penghargaan. Padahal tiga-tiganya beda tipis tapi rasanya lain. Pujian bikin orang senang, pengakuan bikin orang merasa berarti, sedangkan penghargaan bikin orang diingat dan dihormati. Pujian biasanya soal hasil, pengakuan tentang proses, dan penghargaan tentang nilai yang ditinggalkan. Di ICMI, ketiganya perlu jalan bareng, tapi kuncinya tetap satu: ketulusan. Karena tanpa hati yang tulus, semua bentuk apresiasi cuma jadi upacara tanpa makna.
Dawam Rahardjo (1993) pernah menulis, ICMI bukan cuma kumpulan cendekia, tapi wadah kesadaran—tempat umat Islam saling mengenali dan saling menguatkan dalam semangat keindonesiaan. Kalimat itu sederhana tapi tajam. Ia bicara tentang organisasi yang hangat, bukan dingin oleh struktural birokrasi. Kalau pakai istilah Denise Rousseau dalam Psychological Contracts in Organizations (1995), pengakuan itu bagian dari kontrak psikologis—hubungan tak tertulis antara organisasi dan anggotanya. Begitu kontrak itu rusak, semangat ikut padam.
Peneliti klasik Elton Mayo di tahun 1930-an pernah menemukan hal lucu tapi serius. Ia menyebutnya Hawthorne Effect—fenomena ketika orang bekerja lebih baik cuma karena diperhatikan. Bayangkan, produktivitas naik bukan karena bonus, tapi karena rasa dianggap. ICMI pun sama. Banyak pengurus yang nggak nunggu imbalan besar, cukup tahu idenya didengar dan usahanya dihargai. Kadang perhatian kecil lebih ampuh dari seribu pelatihan.
Kadang kita pikir pengakuan itu soal penghargaan besar. Padahal enggak. Pengakuan bisa sesederhana memberi ruang bicara, mendengarkan ide, atau mencatat nama seseorang di laporan kegiatan. Pujian bikin orang senang sesaat, tapi pengakuan bikin orang bertumbuh. Di situ bedanya.
Dalam teori Positive Organizational Scholarship (POS) dari Kim Cameron, Jane Dutton, dan Robert Quinn (Positive Organizational Scholarship, 2003), organisasi yang sehat bukan yang paling disiplin, tapi yang paling banyak menebar energi positif. Pengakuan adalah bentuk energi itu. Ia menular. Satu ucapan terima kasih bisa bikin ruang rapat lebih hangat, bahkan bikin kopi yang pahit terasa agak manis.
Masalahnya, budaya apresiasi sering kalah oleh budaya hierarki. Kita lebih rajin bikin evaluasi daripada ucapan terima kasih. Padahal kalau dipikir, apresiasi itu juga evaluasi—cuma versi lembutnya. Versi yang nggak bikin orang defensif, tapi malah pengen hadir dan belajar lebih banyak.
ICMI bisa mulai membangun budaya pengakuan dengan langkah kecil. Misalnya, di tiap rapat ada sesi kecil dengan pertanyaan sederhana: “Siapa yang ingin kita apresiasi minggu ini?” Kalimat sepele tapi efeknya besar. Pengurus yang namanya disebut mungkin cuma tersenyum kecil, tapi di situ semangatnya tumbuh lagi.
Dan bayangkan kalau setiap orda menulis cerita singkat tentang satu anggota yang telah berkarya—bukan laporan kegiatan, tapi kisah manusia di baliknya. Nama-nama itu akan jadi bagian dari sejarah kecil ICMI. Karena di balik setiap ide besar, selalu ada hati yang bekerja dalam diam.
Dalam Islam sendiri, konsep pengakuan ini bukan hal baru. Ia bagian dari akhlaq jamaiyah—akhlak sosial yang hidup di antara kita. Makanya penting banget kalau ICMI merumuskan Etika Pengakuan Islami dalam pedoman organisasinya. Prinsipnya tiga: ta’aruf (saling mengenal), ta’awun (saling menolong), dan tasamuh (saling menghargai). Pengakuan itu bukan pujian kosong, tapi dorongan untuk membantu orang lain tumbuh. Pengakuan berarti menghormati perbedaan cara berpikir tanpa merasa paling benar.
Kalau tiga hal ini hidup di setiap orda dan orwil, ICMI bakal punya budaya yang nggak cuma cerdas, tapi juga berjiwa. Bayangkan rapat yang isinya bukan debat kusir, tapi adu ide yang saling menguatkan. Rapat kayak gitu, meski lama, nggak bikin capek. Kecuali kalau mic-nya error, itu beda cerita.
Yudi Latif pernah menulis dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa (2012): “Gerakan cendekia itu sejatinya latihan untuk saling memuliakan pikiran.” Dan iya, memuliakan pikiran orang lain berarti mengakui keberadaannya. Bukan cuma bilang “saya setuju,” tapi juga “saya dengar kamu.”
Di sinilah ICMI bisa memberi teladan. Bahwa kecendekiawanan bukan diukur dari berapa banyak kita bicara, tapi seberapa dalam kita mendengarkan. Karena dalam mendengarkan, kita memberi ruang bagi pengetahuan baru tumbuh.
Dan pada akhirnya, semua teori, strategi, dan konsep pengakuan bermuara pada satu ajaran sederhana dari Rasulullah ﷺ:
“Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.”
(HR. Abu Dawud no. 4811; At-Tirmidzi no. 1954; Ahmad no. 18449)
Hadis ini seperti cermin bagi setiap pengurus ICMI. Bahwa menghargai sesama bukan sekadar etika organisasi, tapi bagian dari ibadah. Saat kita mengucapkan “terima kasih” dengan tulus, sejatinya kita sedang menunaikan syukur kepada Allah atas nikmat persaudaraan dan kebersamaan. Pengakuan bukan pujian kosong, tapi bentuk dzikir sosial—cara lembut mengingat bahwa kebaikan tidak pernah lahir sendirian.
Mungkin itulah rahasia keberkahan sebuah organisasi: bukan hanya pada banyaknya program, tapi pada kehangatan hati di antara orang-orangnya. Sebab ketika pengurus saling menghargai, Allah pun menambahkan keberkahan pada langkah mereka. Dan ICMI akan tetap hidup sepanjang para cendekia di dalamnya masih tahu cara paling mulia untuk bersyukur—yakni dengan saling mengakui dan menumbuhkan satu sama lain.
Stay Relevant! *-
Biar Nggak Lupa:
- Pengakuan itu bukan basa-basi, tapi bahan bakar semangat. Kadang satu ucapan tulus—entah pujian, pengakuan, atau penghargaan—bisa lebih menggerakkan daripada sepuluh rapat strategi.
- Seperti teladan Habibie, ICMI seharusnya jadi rumah apresiasi—tempat di mana pujian, pengakuan, dan penghargaan jalan bareng. Rumah yang nggak sekadar mengagumi hasil, tapi juga menghargai proses dan niat baik di balik setiap karya.
- Elton Mayo pernah nemuin hal lucu tapi serius. Ia menyebutnya Hawthorne Effect—fenomena ketika orang kerja lebih semangat cuma karena diperhatikan. ICMI pun sama. Banyak pengurus nggak nunggu imbalan besar, cukup tahu idenya didengar dan usahanya dihargai.
- Islam ngajarin ta’aruf, ta’awun, dan tasamuh. Saling mengenal, menolong, dan menghargai. Tiga hal sederhana yang bikin organisasi bukan cuma hidup, tapi berjiwa.
- Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.” Maka kalau ICMI ingin mendapat keberkahan, mulailah dari hal yang paling sederhana: saling menghargai, saling mengakui, dan saling menumbuhkan dalam kebaikan.
Referensi:
- Cameron, K. S., Dutton, J. E., & Quinn, R. E. (2003). Positive Organizational Scholarship. Berrett-Koehler.
- Honneth, A. (1995). The Struggle for Recognition. Polity Press.
- Latif, Y. (2012). Inteligensia Muslim dan Kuasa. Gramedia.
- Mayo, E. (1933). The Human Problems of an Industrial Civilization. Macmillan.
- Rousseau, D. (1995). Psychological Contracts in Organizations. Sage.