بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Cendekia Tapi ‘Sersan’:
Seni Memimpin ICMI dengan Emosi Sehat
Artikel 4
Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, pemerhati mutu pendidikan
“Di balik rapat yang tenang dan senyum yang tulus, di situlah kepemimpinan sejati tumbuh—santai, tulus, tapi penuh makna.”
ICMI butuh pemimpin yang ‘sersan’ — serius tapi santai. Serius dalam visi, santai dalam emosi.
Terkadang rapat di ICMI terasa seperti sidang kabinet, padahal yang dibahas cuma rencana pelatihan kewirausahaan. Semua serius, semua fokus, tapi di antara wajah-wajah penuh niat baik itu, sering muncul juga ketegangan kecil. Ada yang takut salah bicara, ada yang menahan diri untuk berpendapat, ada pula yang diam tapi menyimpan rasa jengah.
Padahal, organisasi yang sehat bukan cuma yang punya ide besar, tapi juga yang bisa menjaga suasana tetap adem. Sebagian besar pengurus ICMI punya kesibukan berat di luar — ada yang dosen, peneliti, profesional, pengusaha, sampai pejabat publik. Di tengah padatnya tekanan kerja, mereka butuh tempat pulang yang nyaman, tempat yang menenangkan setelah seharian menghadapi target dan deadline.
Karena itu, ICMI seharusnya menjadi rumah yang adem, tempat orang bisa melepas penat dan menemukan kembali semangatnya. Kalau di kantor sudah penuh stres, maka di ICMI mestinya terasa seperti oase: teduh, hangat, dan saling menguatkan.
Kepemimpinan di tubuh ICMI memang unik — berada di persimpangan antara akademisi yang berpikir rasional dan aktivis sosial yang bergerak dengan semangat. Di tengah “ghirah” menjalankan program, tantangan baru sering muncul: bagaimana menjaga ketenangan batin agar tidak cepat lelah, tidak mudah tersinggung, dan tetap bisa sat set das des dalam bekerja.
Di sinilah seni kepemimpinan berbasis emosi sehat menemukan maknanya. Bukan gaya yang lembek serba boleh, tapi disiplin dalam mengelola perasaan — baik pada diri sendiri maupun antaranggota.
Dalam bukunya Emotional Intelligence (1995), Daniel Goleman menjelaskan bahwa kecerdasan emosional justru lebih menentukan keberhasilan seseorang dibanding sekadar kecerdasan intelektual. Orang yang mampu mengenali emosinya sendiri dan memahami emosi orang lain akan lebih stabil dalam memimpin.
Di ICMI, pemimpin seperti ini sangat dibutuhkan — bukan yang suaranya paling keras, tapi yang paling peka, paling empatik terhadap suasana. Pemimpin yang tahu kapan anggota sedang lelah, kapan mereka butuh semangat, dan kapan cukup dengan senyum kecil atau tepukan hangat di pundak.
Kepemimpinan seperti ini tidak mengurangi wibawa, justru menambah wibawa yang lahir dari ketulusan. Karena sejatinya, wibawa bukan datang dari nada tinggi, tapi dari hati yang tenang. Emosi sehat juga berarti berani bicara dengan jujur, tapi tetap santai; serius tapi tidak tegang — atau kata anak muda sekarang, sersan: serius tapi santai.
Amy Edmondson menyebutnya psychological safety — rasa aman untuk berbicara, berpendapat, dan mengemukakan ide tanpa rasa minder atau takut disalahkan. Banyak organisasi sebenarnya bukan kekurangan orang cerdas, tapi kekurangan suasana yang membuat orang berani bicara.
Kalau rapat membuat orang diam, itu tanda bahaya. Artinya ide-ide sudah terjebak di kepala masing-masing, tidak sempat keluar dan jadi energi bersama. Padahal, organisasi yang hidup justru tumbuh dari keberanian untuk saling mendengar dan menanggapi tanpa menghakimi.
ICMI perlu ruang semacam “rapat adem yang penuh senyum,” tempat setiap suara dihargai, didengarkan, tanpa ada yang merasa lebih hebat atau paling pintar. Budaya seperti inilah yang sebenarnya menjadi inti dari Knowledge Management — karena pengetahuan hanya benar-benar hidup kalau ada keberanian untuk berbagi dan kerendahan hati untuk mendengar.
Menariknya, B. J. Habibie sudah memberi teladan sejak awal berdirinya ICMI. Ia mendengarkan semua pihak, dari mahasiswa, tokoh masyarakat, hingga para ulama, dengan kesabaran yang nyaris tak pernah kehilangan senyum.
Sikap itu menular kepada banyak generasi penerus. Salah satunya Ilham Akbar Habibie, yang menegaskan bahwa ICMI harus tetap profesional dan netral, jauh dari kepentingan politik pribadi. Baginya, organisasi cendekia harus berdiri di atas nilai ilmu, bukan di bawah bayang-bayang kepentingan sesaat.
Ilham juga pernah mengatakan, dalam memimpin, dirinya tidak ingin dominan meski punya banyak suara pendukung. Ia lebih memilih keputusan yang lahir dari dialog, bukan tekanan, bukan paksaan.
Di situlah letak emotional leadership yang sesungguhnya — memimpin dengan cinta, dengan hati yang tenang tapi pikiran yang tajam. Bukan untuk menunjukkan kekuasaan, tapi untuk menumbuhkan kepercayaan.
Di tubuh ICMI, anggotanya dipenuhi orang-orang cendekia, orang cerdik pandai dengan segudang pengalaman dan pemikiran besar. Tapi di balik keunggulan itu, ada satu hal yang perlu diwaspadai: godaan ego intelektual selalu mengintai. Setiap orang merasa punya ide bagus, punya argumen kuat, bahkan merasa pandangannya paling logis.
Tanpa kesadaran emosional, perbedaan yang seharusnya memperkaya justru bisa berubah jadi perdebatan yang melelahkan. Di sinilah pentingnya kemampuan berkomunikasi dengan lembut tapi tegas — sikap asertif yang penuh empati.
Marshall Rosenberg menyebutnya Nonviolent Communication. Prinsipnya sederhana tapi dalam: dengarkan dulu kebutuhan orang lain sebelum menuntut untuk dipahami. Dalam forum-forum ICMI, pendekatan ini bisa mengubah arah percakapan dari pola “siapa yang menang” menjadi “apa yang bisa kita bangun bersama.”
Di tengah teori-teori modern itu, kita sebenarnya punya warisan kearifan lokal yang tak kalah dalam. Ulama kharismatik Jawa Timur, K.H. Ihya’ Ulumiddin, pernah berpesan dengan bahasa yang hangat: ngowongno uwong, nyenengno uwong, nggatekno uwong, ora ngelakno.
Artinya, memanusiakan manusia, membahagiakan manusia, memperhatikan manusia, dan tidak menyakiti siapa pun. Empat kalimat sederhana, tapi dalam sekali maknanya. Itulah rumus emosi sehat versi pesantren — lembut, bersahaja, tapi mengubah cara kita memandang sesama.
Kalau pesan itu diterapkan dalam organisasi, suasana kerja pasti akan berubah total: dari saling mengoreksi menjadi saling menumbuhkan, dari saling menilai menjadi saling memahami. Dan di situlah semangat Knowledge Management ala ICMI menemukan bentuknya — menata ilmu dengan hati, berbagi pengalaman dengan tawadhu’, dan membangun pengetahuan lewat kehangatan hubungan antarinsan.
Jimly Asshiddiqie juga pernah berpesan, kepemimpinan itu bukan sekadar sibuk beretorika, tapi membangun sistem yang membuat semua orang bisa bekerja bersama dengan tenang.
Kalimat itu terasa sangat ICMI — sebuah organisasi yang diisi oleh orang-orang pintar, tapi tetap butuh ruang untuk adem, ruang untuk menenangkan diri dari hiruk pikuk ambisi dan debat panjang.
Keilmuan tanpa ketenangan hanya melahirkan perdebatan. Tapi keilmuan yang disertai ketenangan bisa melahirkan solusi, bahkan kebahagiaan. Karena pada akhirnya, emosi sehat bukan sekadar urusan psikologi, tapi strategi sosial, strategi organisasi, untuk menjaga keberlanjutan dan kehangatan dalam tubuh ICMI.
Kepemimpinan autentik, kata Bill George, dimulai dari kejujuran pada diri sendiri — polos apa adanya. Pemimpin yang jujur tidak takut terlihat manusiawi. Ia tidak menutupi kelemahan dengan sikap kaku atau pura-pura kuat di depan orang lain.
Pemimpin seperti ini tahu kapan harus tegas, kapan harus tertawa, dan kapan harus memberi apresiasi sederhana. Karena dalam kepemimpinan, ketulusan kadang lebih menggerakkan daripada perintah.
Di dunia yang penuh pencitraan, kejujuran menjadi barang mewah. ICMI harus bisa memberi contoh bahwa pemimpin intelektual tidak harus dingin. Justru dengan menjadi diri sendiri — jujur, lembut, dan berani belajar — seorang pemimpin akan lebih mudah diterima, baik oleh anggotanya sendiri maupun oleh masyarakat luas.
Kalau kita renungkan, banyak pengurus yang tampak lelah bukan karena kerja berat, tapi karena beban emosional. Komunikasi yang kaku, salah paham lewat pesan singkat, atau perasaan tidak dihargai — hal-hal kecil seperti itu bisa menumpuk jadi penat.
Padahal sebagian besar masalah seperti ini bisa diselesaikan dengan cara sederhana: mendengar dengan hati. Kadang orang tidak butuh solusi panjang, hanya butuh merasa diakui, didengarkan, dan dihargai.
Inilah makna sederhana dari emosi sehat — bukan menekan perasaan, tapi menyalurkannya dengan adab. Dan di situlah sebenarnya pengetahuan organisasi tersimpan. Knowledge management bukan hanya soal dokumen atau sistem digital, tapi juga tentang percakapan, empati, dan kesediaan untuk saling mendengar dengan tulus.
Sebagai organisasi yang lahir dari semangat ilmu dan iman, ICMI punya peluang besar untuk menjadi teladan kepemimpinan baru di Indonesia — kepemimpinan yang menyeimbangkan antara pikiran dan perasaan.
Di tengah dunia yang semakin gaduh, sikap sersan — serius tapi santai — bukan kelemahan, tapi kekuatan moral dan emosional yang justru membuat kerja jadi lebih tulus dan manusiawi.
Karena hanya hati yang tenang yang mampu berpikir jernih. Hanya pemimpin yang sabar yang bisa menumbuhkan keberanian orang lain. Dan hanya organisasi yang sehat emosinya yang mampu menjaga keberlanjutan pengetahuannya, mengalirkannya dengan lembut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ke depan, penulis mengusulkan beberapa tradisi baru yang bisa membuat ICMI terasa lebih hidup dan menyenangkan. Misalnya, mengadakan ICMI Listening Day — hari di mana semua orda, orsat, dan orwil bebas menyampaikan ide tanpa protokol rumit, tanpa rasa sungkan. Hari untuk mendengar satu sama lain, bukan hanya melapor.
ICMI juga bisa membuat pedoman kecil tentang etika komunikasi digital, agar percakapan di grup tidak mudah panas. Cukup dengan melatih kebiasaan sederhana seperti memakai magic words: tolong, maaf, dan terima kasih. Kalimat pendek yang ringan, tapi bisa menurunkan ketegangan dan menjaga keakraban.
Selain itu, pelatihan Cendekia Emotional Intelligence bisa menjadi ruang belajar bersama agar setiap pengurus mampu menjadi penyejuk, bukan sumber tekanan. Semua ide ini memang tampak kecil, tapi dampaknya besar: organisasi menjadi tempat yang menumbuhkan, bukan menguras energi. Dan dari sinilah Knowledge Management ala ICMI menemukan wujudnya — bukan dalam sistem yang rumit, tapi dalam budaya saling percaya dan berbagi pengalaman.
Rasulullah ﷺ telah memberikan teladan kepemimpinan emosional yang sempurna. Beliau bukan hanya pemimpin umat, tapi juga pemimpin hati.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra.: “Aku telah melayani Rasulullah ﷺ selama sepuluh tahun, dan beliau tidak pernah berkata kepadaku: ‘Ah!’ dan tidak pernah berkata terhadap apa yang aku lakukan: ‘Mengapa engkau lakukan ini?’ atau terhadap apa yang tidak aku lakukan: ‘Mengapa engkau tidak melakukannya?’” (HR. Muslim).
Itu adalah puncak psychological safety dalam Islam — sahabat merasa aman berinteraksi dengan pemimpinnya. Rasulullah tidak menekan, tapi membimbing dengan kasih. Beliau tidak mendoktrin dengan ketakutan, tapi menumbuhkan keberanian dengan kelembutan.
Dari hadis itu kita bisa belajar bahwa emosi sehat bukan sekadar teori psikologi modern, melainkan ajaran kenabian. Menahan amarah, menghargai proses orang lain, dan memilih kata yang menenangkan adalah bentuk kecerdasan spiritual yang tak lekang zaman.
Bila setiap pengurus ICMI, baik pusat dan daerah, mampu meneladani kelembutan Rasulullah, niscaya organisasi ini tak hanya jadi rumah gagasan, tapi juga rumah bagi jiwa-jiwa yang tenang. Karena pada akhirnya, kekuatan sejati seorang pemimpin bukan terletak pada suaranya yang keras, tapi pada hatinya yang lembut — hati yang mampu menumbuhkan orang lain tanpa harus melukai mereka.
Stay Relevant!
Biar Nggak Lupa:
- Rapat ICMI kadang terasa kayak sidang kabinet, padahal yang dibahas cuma pelatihan. Artinya, kita butuh suasana yang adem, bukan tegang. Karena ide besar cuma bisa tumbuh di hati yang adem dan happy.
- Daniel Goleman bilang, orang cerdas belum tentu bisa mimpin. Yang penting itu bisa ngatur emosi — ngerti kapan ngomong, kapan diam, kapan senyum, kapan merangkul. Pemimpin ICMI harus membangun semangat tapi tetap adem. Tetap ‘sersan’ — serius tapi santai.
- Amy Edmondson ngajarin soal psychological safety: bikin orang berani ngomong tanpa takut disalahkan. Di situlah Knowledge Management hidup — pengetahuan mengalir kalau orangnya saling terbuka, saling percaya.
- Kiai Ihya’ Ulumiddin ngendiko, ngowongno uwong, nyenengno uwong, nggatekno uwong, ora ngelakno. Memanusiakan manusia itu kuncinya. Kalau semua pengurus ICMI menerapkan ini, suasana kerja bakal jadi ladang pahala.
- Baginda Rasulullah ﷺ sendiri nggak pernah marah ke sahabatnya meski salah sepuluh tahun pun. Itu puncak kepemimpinan emosional. Lembut bukan berarti lemah, tapi tanda jiwa besar yang bikin orang lain tumbuh tanpa merasa direndahkan.
Daftar Pustaka
- Edmondson, A. C. (1999). Psychological safety and learning behavior in work teams. Administrative Science Quarterly, 44(2), 350–383.
- George, B. (2003). Authentic leadership: Rediscovering the secrets to creating lasting value. Jossey-Bass.
- Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. Bantam Books.
- Habibie, I. A. (2010, December 8). Ilham Habibie dan ICMI yang profesional. Antara News.
- Jimly Asshiddiqie. (2020, October 24). Kepemimpinan bukan sekadar sibuk beretorika. Fajar.co.id.
- Rosenberg, M. B. (2003). Nonviolent communication: A language of life. PuddleDancer Press.
- K.H. Ihya’ Ulumiddin. (n.d.). Ungkapan kearifan lokal Jawa Timur: Ngowongno uwong, nyenengno uwong, nggatekno uwong, ora ngelakno. (Tradisi pesantren Jawa Timur).