بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Belajar dari Al-Khoziny:
Ruang, Jiwa, dan Amanah
Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, pemerhati mutu pendidikan
“Bangunan membentuk perilaku, seperti ruang membentuk jiwa. Di pesantren, arsitektur adalah bagian dari pendidikan.”
Berita tentang runtuhnya bangunan di salah satu pesantren di Sidoarjo beberapa waktu lalu membuat banyak orang terdiam dan merenung.
Tragedi itu seakan membangunkan kita semua dari tradisi lama: membangun dengan semangat, tapi sering lupa dengan pengetahuan.
Tak perlu membahas rinci siapa yang salah dan siapa benar. Proses hukum dan teknis masih berjalan.
Yang lebih penting adalah belajar dan menggali hikmah. Sebab setiap peristiwa, apalagi yang menelan nyawa, selalu menyimpan hikmah yang lebih besar daripada sekadar penyesalan.
Banyak pesantren di negeri ini tumbuh dari ketulusan dan gotong royong.
Di desa maupun di kota, di tanah wakaf atau di halaman masjid, bangunan demi bangunan berdiri dengan tenaga para santri, wali santri dan masyarakat.
Jumlah penghuni bertambah, kebutuhan ruang ikut meluas. Maka pilihan yang paling sering diambil adalah menambah lantai — lantai dua, lantai tiga, bahkan lantai empat.
Yang penting muat dan luas. Tapi sering kali, di tengah semangat itu, kita lupa satu hal penting: ruang juga punya batas.
Ia perlu dirancang, diperhitungkan, dan dipahami.
Niat baik dan keikhlasan tidak otomatis membuat bangunan kuat.
Seorang pakar teknik dari ITS, Dr. Ir. Mudji Irmawan, menyebut bahwa setiap pembangunan gedung bertingkat memiliki risiko tinggi apabila tidak disertai perencanaan dan pengawasan sesuai kaidah teknik.
Pernyataan itu disampaikannya pada Detikcom (2025, September 30), menanggapi kasus ambruknya bangunan di salah satu pondok pesantren di Sidoarjo, sebagai pengingat pentingnya peran tenaga ahli sejak tahap awal pembangunan.
Kalimat itu seharusnya menjadi pelajaran dan renungan bersama.
Karena di balik setiap tiang atau kolom, ada ilmu yang tak bisa diabaikan.
Arsitektur bukan sekadar urusan estetika atau kenyamanan mata, tapi soal kekokohan, keselamatan dan perilaku manusia yang hidup di dalamnya.
Dalam psikologi arsitektur, ruang tidak pernah netral. Ia berbicara dengan caranya sendiri.
Ruang bisa menenangkan, tapi juga bisa menekan, bahkan menghancurkan.
Ruang bisa mendidik, tapi juga bisa melelahkan jiwa.
Di pesantren, ruang belajar yang sesak dan pengap bisa memicu stres, menurunkan fokus, dan membuat hubungan sosial antar-santri menjadi tegang. Konflik meningkat.
Sebaliknya, ruang dengan cahaya alami, ventilasi yang baik, penataan dan taman yang lapang menumbuhkan rasa tenang, sabar, dan khusyuk.
Ruang yang aman membangun kecerdasan emosi. Memberi rasa tenteram, dan jiwa yang tenteram melahirkan perilaku yang baik.
Maka benar apa yang sering dikatakan para ahli psikologi: ruang ikut mendidik manusia.
Jauh sebelum teori modern lahir, bangsa Romawi sudah memahami hal itu. Bangunan bersejarah peninggalan bangsa romawi banyak memberi pelajaran berharga.
Arsitek legendaris Romawi, Vitruvius, menulis tiga prinsip utama arsitektur: firmitas, utilitas, dan venustas.
Firmitas berarti kekokohan — bangunan harus kuat, kokoh dan aman.
Utilitas berarti kegunaan — ruang harus fungsional dan melayani kehidupan.
Venustas berarti keindahan — ruang harus estetis, menumbuhkan rasa nyaman dan keharuan.
Tiga prinsip diatas cukup sederhana tapi abadi.
Kekuatan tanpa fungsi hanyalah monumen kosong.
Fungsi tanpa keindahan membuat manusia letih tanpa gairah.
Dan keindahan tanpa kekuatan hanya menipu mata, palsu.
Dalam konteks pesantren, ketiganya bersatu dalam satu kata: amanah.
Bangunan pesantren seharusnya menjadi ruang belajar yang kokoh (firmitas), berguna (utilitas), dan menenangkan/ menyenangkan (venustas).
Tapi sering kali, keindahan bangunan tidak diimbangi dengan kekuatan fisik.
Kita terlalu fokus pada niat, tapi lupa pada struktur.
Padahal, setiap struktur yang rapuh pada akhirnya juga memengaruhi jiwa penghuninya.
Dalam pandangan psikologi lingkungan, bentuk ruang ikut membentuk cara manusia merasa, berpikir, dan berperilaku di dalamnya.
Dinding yang kokoh menanamkan rasa percaya.
Ventilasi yang baik memberi ruang bernapas, bukan hanya bagi paru-paru, tapi juga menyegarkan hati dan pikiran. Ventilasi silang (cross ventilation) membuat udara mengalir sejuk.
Cahaya alami menumbuhkan semangat.
Tata ruang yang teratur mencerminkan nilai kedisiplinan. Semua ada tempatnya, semua pada tempatnya.
Semua itu bukan hiasan — itu bagian dari pendidikan karakter, pendidikan akhlak.
Seperti diungkapkan para ahli psikologi arsitektur seperti Irwin Altman dan Jon Lang,
ruang bukan hanya wadah kegiatan manusia, tetapi juga bagian dari proses pembentukan perilaku, persepsi, dan kesejahteraan jiwa.
Ruang yang dirancang dengan memperhatikan emosi dan kebutuhan manusia akan menumbuhkan ketenangan dan kedisiplinan. Ukuran kamar ada standarnya, ukuran trap tangga juga ada standar untuk kenyamanan,
sedangkan ruang yang abai terhadap hal itu dapat melahirkan kelelahan dan ketegangan tanpa suara.
Winston Churchill pernah berkata, “We shape our buildings; thereafter they shape us.”
Kita membentuk bangunan, tapi setelah bangunan berdiri, bangunan itu balik membentuk jiwa kita.
Kita bisa jadi pemarah bila tinggal di ruang sempit dan pengap. Sebaliknya, kita bisa lemah lembut bila tinggal di ruangan yang lapang, segar dengan pemandangan terbuka ke arah taman yang asri.
Ruangan mampu membentuk cara kita berbicara, berpikir, bahkan beribadah.
Ruang yang aman melatih kejujuran dan ketenangan.
Ruang yang berantakan juga melatih abai dan ketidakteraturan.
Maka ketika sebuah ruang runtuh, yang benar-benar hilang bukan sekadar bangunan, melainkan keheningan, rasa percaya, dan kedamaian yang pernah hidup di dalamnya.
Dalam Al-Qur’an, Allah sudah memberi pedoman yang sederhana tapi dalam:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 36).
Ayat ini seakan berbicara langsung pada siapa pun yang membangun ruang bagi manusia.
Bahwa niat baik saja tidak cukup — ia harus disertai ilmu dan kehati-hatian.
Sebab setiap ruang yang kita dirikan, setiap atap yang menaungi jiwa, akan dimintai pertanggungjawaban.
Membangun ruang berarti menjaga kehidupan, dan menjaga kehidupan berarti menunaikan amanah.
Tragedi yang terjadi di satu tempat seharusnya menjadi pelajaran bagi ribuan tempat lain.
Setiap pondasi, dinding dan atap di pesantren di seluruh Indonesia menyimpan nyawa dan masa depan.
Maka amanah membangun tidak bisa dilakukan dengan tergesa.
Kita boleh sederhana, tapi harus profesional.
Boleh hemat, tapi tidak boleh mengabaikan standar dan aturan bangunan.
Sebab amanah bukan hanya menjaga manusia dari marabahaya,
tapi juga menjaga nilai dari kehancuran.
Kita semua membentuk ruang — di rumah, di sekolah, di pondok.
Tapi ruang pun membentuk kita kembali.
Ia bisa menjadi tempat tumbuhnya jiwa, atau menjadi cermin dari kelalaian kita.
Semua tergantung bagaimana ia dibangun dan bagaimana standar dijaga.
Dari peristiwa ini semua, kita belajar dengan air mata:
bahwa setiap ruang yang berdiri sejatinya adalah doa yang menjadi nyata.
Dan di setiap doa selalu punya fondasi — bukan hanya dari beton dan besi,
tapi dari kasih, ilmu, dan kesadaran.
Sebab Allah, Ya Latīf, Maha Lembut dalam setiap takdir-Nya,
dan kelembutan-Nya hadir dalam setiap tangan yang bekerja dengan amanah.
Stay Relevant!
Referensi
- Altman, I., & Wohlwill, J. F. (Eds.). (1977). Human Behavior and Environment: Advances in Theory and Research. Springer.
- Churchill, W. (1943). We shape our buildings; thereafter they shape us. Speech before the House of Commons, London, United Kingdom.
- Detikcom. (2025, September 30). Penjelasan pakar teknik ITS soal ambruknya bangunan ponpes di Sidoarjo. Detik News.
- Lang, J. (1987). Creating Architectural Theory: The Role of the Behavioral Sciences in Environmental Design. Van Nostrand Reinhold.
- Vitruvius. (1914). The Ten Books on Architecture (M. H. Morgan, Trans.). Harvard University Press. (Original work published ca. 15 BCE).