ICMI dan Analisis SWOT

ICMI dan SWOT-nya Sendiri: Dari Analisis Jadi Aksi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

ICMI dan SWOT-nya Sendiri:
Dari Analisis Jadi Aksi

Artikel 10

Oleh: Bagus Suminar – Wakil Ketua ICMI Jawa Timur

“SWOT bukan sekadar tabel empat kotak, tapi latihan kejujuran organisasi untuk menatap diri sendiri.”

Tulisan ini bukan laporan resmi, cuma catatan pribadi dari seorang Wakil Ketua ICMI Jawa Timur yang peduli dan ingin ikut nyumbang pikiran. Analisis SWOT sejatinya adalah ranah internal organisasi, tapi siapa tahu sedikit refleksi ini bisa jadi bahan renungan bareng untuk melihat ICMI dari cermin yang lebih jujur.

Bicara soal SWOT, biasanya orang langsung membayangkan rapat panjang, slide berwarna-warni, dan kopi yang sudah dingin sebelum pembahasan selesai. Padahal, di balik empat kotak sederhana itu—Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats—ada satu hal yang sering terlupa: keberanian untuk menatap diri sendiri. Melakukan muhasabah. Banyak organisasi sibuk menganalisis dunia luar, tapi lupa menganalisis dirinya sendiri. Kadang kita lebih hafal SWOT orang lain ketimbang SWOT sendiri.

Seperti kata Kenneth Andrews (1971), SWOT bukan cuma alat analisis, tapi cara organisasi mengenali dirinya sendiri secara strategis. Dan benar juga kata Michael Porter (1996), strategi sejati bukan tentang berubah cepat, tapi tentang memilih arah yang paling bermakna dan konsisten menempuhnya. Kalimat itu mungkin sederhana, tapi terasa pas untuk menggambarkan ICMI hari ini: Arah besar sudah ada, tapi perlu diperjelas lewat refleksi SWOT, disegarkan lewat repositioning yang pernah kita bicarakan, dan akhirnya diteguhkan dalam langkah nyata.

ICMI sebenarnya punya banyak kekuatan (strengths) yang tidak semua organisasi miliki. Dari warisan pemikiran B. J. Habibie, jejaring lintas profesi, hingga semangat memadukan iman, ilmu, dan amal. ICMI pernah membuktikan diri sebagai penggerak ekonomi umat lewat lahirnya Bank Muamalat dan gerakan BMT. Dari dunia pendidikan lahir beasiswa Orbit dan berbagai forum keilmuan yang mempertemukan para cendekia.

Semua itu menunjukkan bahwa ICMI bukan sekadar organisasi, tapi rumah gagasan yang pernah menyalakan banyak lilin di masa gelap. Kekuatan (strengths) seperti ini tidak boleh dibiarkan jadi kenangan masa lalu; ia harus dihidupkan kembali sebagai bahan bakar. Karena nostalgia yang tidak dibangkitkan bisa jadi beban, bukan semangat.

Namun setiap rumah besar pasti punya debu di sudut-sudutnya. Kadang bukan karena malas membersihkan, tapi karena terlalu sibuk mempercantik dan menata ruang tamu. Di ICMI, komunikasi antara pusat dan daerah sering belum sehangat yang diharapkan. Program berjalan, tapi kadang parsial, sendiri-sendiri.

Data dan pengalaman pengurus sering tersebar di banyak grup WhatsApp tanpa sempat terdokumentasi dengan baik. Semangat masih ada, tapi jalannya di tempat. Bukan karena tak mau bergerak, tapi karena belum punya sistem yang memudahkan melangkah bersama. Dalam bahasa manajemen, itu bukan kelemahan moral, tapi kelemahan struktural (weaknesses).

Kalau kita jujur, banyak potensi luar biasa di tiap orda dan orwil yang belum terkoneksi (opportunities). Padahal kalau setiap wilayah saling berbagi praktik baik, ICMI bisa belajar dari dirinya sendiri tanpa harus menunggu instruksi pusat. Di sinilah pentingnya membangun sistem berbagi pengetahuan—atau yang dalam manajemen modern disebut Knowledge Management.

Dengan KM, setiap kekuatan (strengths) bisa dikumpulkan, setiap kelemahan (weaknesses) bisa dipelajari dan dihindari, dan setiap keberhasilan bisa ditiru tanpa rasa sungkan. SWOT memberi gambaran, KM memberi nyawa. SWOT mengajak kita melihat, KM mengajarkan kita untuk mengingat dan bertindak.

Dunia di luar sana sedang berubah cepat. Kita hidup di zaman yang disebut VUCA—volatile, uncertain, complex, ambiguous—dan kini bergeser ke era BANI: brittle, anxious, nonlinear, incomprehensible. Dunia rapuh, cemas, tak linear, dan kadang tak bisa dimengerti.

Perubahan yang dulu datang sepuluh tahun sekali, sekarang bisa berganti setiap minggu. Inilah ancaman (threats) era disrupsi. Kalau ICMI tidak adaptif, risiko terbesarnya bukan dibubarkan, tapi diabaikan. Orang tidak lagi menentang, hanya tidak menoleh. Dan itu jauh lebih menyedihkan.

Tantangan eksternal (threats) itu bukan alasan untuk panik, tapi undangan untuk berinovasi. ICMI punya modal besar: sumber daya manusia dengan latar akademik dan profesional yang kuat. Tinggal bagaimana kekuatan (strengths) itu dikumpulkan dalam satu sistem pengetahuan yang hidup.

Bayangkan kalau setiap hasil refleksi, program, dan pengalaman lapangan dikumpulkan dalam satu platform bersama. Setiap pengurus baru tidak perlu “memulai dari nol,” karena sudah ada jejak pengetahuan yang bisa dilanjutkan. Itulah integrasi antara SWOT dan Knowledge Management: dari analisis menjadi aksi yang berkelanjutan.

Kadang kita terlalu serius membahas strategi, padahal perubahan besar sering lahir dari langkah kecil yang konsisten. Tidak perlu menunggu program nasional; cukup mulai dari satu kebiasaan sederhana: berbagi pengetahuan. Misalnya, tiap orwil membuat “SWOT bareng kopi,” forum santai tempat pengurus berdiskusi tanpa protokol.

Siapa tahu dari obrolan ringan itu muncul “aha moment” ide berat yang bisa menggerakkan organisasi. Lagi pula, ide cemerlang memang sering datang bukan saat rapat, tapi saat sendok kopi beradu pelan dengan cangkir. Kadang humor kecil bisa membuka percakapan yang tidak bisa dibuka oleh notulen rapat.

ICMI bisa juga membuat “Learning Hub,” wadah sederhana di mana setiap daerah menulis kisah keberhasilan dan tantangannya. Dari sana, orda lain bisa belajar tanpa harus menebak-nebak. Itulah semangat learning organization—belajar dari diri sendiri dan berbagi agar orang lain tidak perlu jatuh di lubang yang sama.

Kalau menurut teori John Kotter (1996), perubahan hanya bisa terjadi kalau ada sense of urgency. Artinya, organisasi harus merasa perlu berubah, bukan sekadar tahu perlu. Dan seperti kata Argyris dan Schön (1978), organisasi yang sehat bukan yang tidak pernah salah, tapi yang cepat belajar dari kesalahannya.

Semua teori itu akan tetap jadi teks buku kalau tidak diterjemahkan jadi tindakan kecil di lapangan. Tentu kita perlu strategi baru di lingkungan yang berubah cepat, tapi yang lebih penting adalah cara baru menjalankannya — dengan semangat belajar dan keberanian beradaptasi.

ICMI tidak kekurangan orang pintar, tapi kita selalu butuh lebih banyak orang yang mau turun tangan. Kita butuh orang yang bukan hanya punya gelar, tapi punya komitmen — yang mau menuntaskan, bukan sekadar memulai. Dan di atas semua itu, kita butuh mereka yang punya soft skills: bisa mendengar, menghargai, dan bekerja sama tanpa merasa paling benar. Karena sering kali, yang membuat organisasi maju bukan banyaknya ide, tapi kematangan hati mereka yang menjalankannya.

Mungkin langkah pertama bukan seminar atau rapat besar, tapi keberanian untuk membuka cermin, tersenyum, dan bilang: “Oke, kita mulai dari sini.” Dan kalaupun nanti ada yang menertawakan ide ini, tidak apa-apa. Toh dalam setiap organisasi besar, yang penting bukan siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling mau belajar.

Lagi pula, sedikit humor justru tanda bahwa kita masih manusia. Tidak ada mesin SWOT yang kehilangan rasa, yang bisa tertawa atau bercanda saat bercermin. ICMI tidak harus sempurna untuk bergerak. Cukup jujur untuk melihat diri sendiri, cukup rendah hati untuk mendengar, dan cukup gigih untuk melangkah lagi.

Karena kekuatan sejati organisasi bukan hanya terletak pada banyaknya program, tapi pada semangat belajar dan konsistensi menumbuhkan makna di balik setiap program itu. Banyak program memang penting, tapi lebih penting lagi bagaimana program itu membuat kita tumbuh — bukan sekadar sibuk, tapi makin cendekia.

Pada akhirnya, setiap analisis, strategi, dan rapat hanyalah alat. Yang menentukan arah bukan tabel SWOT, tapi hati yang mau bercermin. Allah sudah menuntun kita lewat firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS. Al-Hasyr [59]:18). Itu bukan sekadar ayat pengingat, tapi kompas bagi semua organisasi yang ingin tumbuh dengan iman dan akal sekaligus.

Bercermin dalam pandangan Islam bukan tanda ragu, melainkan tanda iman. Ia mengajarkan kita untuk melihat diri dengan jujur, bukan untuk menghakimi, tapi untuk memperbaiki. Ketika ICMI mau menatap dirinya sendiri dengan tenang—melihat apa yang kuat, apa yang lemah, apa yang harus dibenahi—itu bukan kelemahan. Itu justru bentuk kekuatan spiritual: keberanian untuk berubah sebelum dipaksa oleh keadaan.

Pada dasarnya, organisasi yang besar bukan yang tak pernah jatuh, tapi yang tak pernah berhenti belajar. Dan mungkin, muhasabah itulah puncak dari kecendekiaan: berani menatap cermin tanpa takut melihat kerutannya, lalu tetap tersenyum dan melangkah lagi dengan hati yang lebih bersih. Sebab dalam setiap langkah yang jujur, di situlah Allah menambahkan keberkahan.

Stay Relevant!*-


Daftar Pustaka

  1. Andrews, K. R. (1971). The concept of corporate strategy. Homewood, IL: Dow Jones-Irwin.
  2. Argyris, C., & Schön, D. A. (1978). Organizational learning: A theory of action perspective. Reading, MA: Addison-Wesley.
  3. Kotter, J. P. (1996). Leading change. Boston, MA: Harvard Business School Press.
  4. Porter, M. E. (1996). What is strategy? Harvard Business Review, 74(6), 61–78.

Biar Nggak Lupa:

  1. Bercermin itu bukan tanda lemah, tapi bukti bahwa ICMI masih mau jujur pada dirinya sendiri.
  2. SWOT bukan sekadar empat kotak di layar presentasi, tapi latihan iman dan akal untuk melihat arah langkah.
  3. Kekuatan ICMI bukan cuma di ide besar, tapi di semangat kecil yang terus belajar dan berbagi tanpa lelah.
  4. Kalau dunia berubah cepat, jangan panik—cukup pastikan ICMI tetap relevan, adaptif, dan berjiwa pembelajar.
  5. Karena muhasabah itu puncak kecendekiaan: berani menatap cermin, tersenyum, lalu melangkah lagi dengan hati bersih.



Scroll to Top