ICMI, Burnout dan Semangat Perbaikan

Burnout Pengurus ICMI: Saat Semangat Baik Perlu Napas Baru

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Burnout Pengurus ICMI:
Saat Semangat Baik Perlu Napas Baru

Artikel 8

Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, pemerhati mutu pendidikan

“ICMI bukan kehabisan tenaga, hanya sedang mencari arah baru. Kadang ide besar pun butuh jeda untuk menemukan maknanya lagi.”

Kadang organisasi itu mirip HP jadul: sinyalnya penuh, tapi gak bisa dipakai nelpon. ICMI juga begitu. Rapat masih jalan, tapi kadang rasanya kurang greget. Banyak pengurus sibuk dengan urusan masing-masing, tetap ingin berkontribusi, cuma mungkin belum tahu lagi apa yang paling penting untuk dikejar. Bukan karena kurang semangat, justru karena terlalu banyak niat baik yang belum nemu tempat pulang. Akhirnya semangat berjuang perlahan berubah jadi semangat bertahan — antara cinta dan lelah, antara ingin lanjut dan butuh jeda sebentar.

Dan di situlah mulai terasa: ICMI bukan kehabisan tenaga, tapi mungkin lagi mencari arah baru. Kadang bukan karena kerja terlalu berat, tapi karena belum sempat berhenti sejenak untuk memastikan maknanya masih sama. Rapat tetap jalan, tapi kadang terasa lebih administratif daripada inspiratif. Banyak pengurus masih punya niat baik, cuma mungkin belum ketemu ruang yang membuat semangat itu bisa tumbuh bareng-bareng lagi.

Christina Maslach pernah bilang, burnout itu bukan soal kehabisan tenaga, tapi kehilangan alasan kenapa kita berusaha. Mungkin di situ posisi ICMI sekarang. Bukan kekurangan ide, tapi kehilangan semangat kolektif. Bukan kekurangan orang pintar, tapi kehilangan percakapan bermakna antar sesama cendekia.

Bruch dan Ghoshal menyebut kondisi seperti ini sebagai resigned inertia — semacam kelelahan kolektif. Organisasi masih hidup, tapi jiwanya absen. Semua elemen ada, tapi getarannya hilang. Dulu, ICMI penuh energi produktif. Dari sinilah lahir BMT, Bank Muamalat, Beasiswa Orbit, dan berbagai gagasan besar yang mengubah wajah bangsa. Tapi sekarang, semangat itu seperti nyala lilin yang redup karena kehabisan oksigen. Api masih ada, tapi ruangnya pengap.

Energi organisasi pelan-pelan padam karena pengetahuan di tubuhnya tidak lagi mengalir. Pengurus daerah punya cerita, tapi jarang sampai ke pusat. Ide dari pusat sering berhenti di spanduk acara. Pengetahuan yang dulu hidup lewat dialog kini mengendap di arsip dan grup WhatsApp yang sunyi. Padahal menurut Nonaka dan Takeuchi, pengetahuan itu kayak air — kalau gak ngalir, ia menggenang, lalu berlumut.

ICMI sedang menghadapi burnout versi lembaga: struktur masih berdiri, tapi aliran pengetahuannya macet. Orang datang dengan niat baik, tapi gak tahu di mana tempatnya berbagi. Yang muda ingin berkontribusi, tapi bingung ke mana harus bicara. Yang senior ingin menuntun, tapi tak lagi punya forum untuk menyalakan ide. Semua masih ingin berbuat, tapi tidak tahu caranya saling menyambung.

Viktor Frankl bilang, manusia bisa bertahan kalau ia punya makna. Organisasi juga begitu. ICMI dulu berdiri dengan makna yang besar — menghubungkan iman, ilmu, dan kemajuan bangsa. Tapi sekarang makna itu butuh diterjemahkan ulang. Kalau dulu maknanya adalah kebangkitan umat di era Habibie, mungkin sekarang maknanya adalah kebangkitan pengetahuan di era digital. Karena organisasi yang kehilangan makna itu ibarat kapal tanpa arah — tetap mengapung, tapi tidak tahu mau ke mana.

Repositioning yang dibutuhkan ICMI bukan sekadar ganti program atau perombakan struktur. Ini soal menata ulang makna. Menemukan kembali “why” di balik semua aktivitas. Karena selama kita belum menemukan kenapa, semua “apa” akan terasa kosong. Dan sebelum bicara strategi besar, mungkin ICMI cukup mulai dari hal-hal kecil yang menyalakan semangat.

Pertama, adakan ICMI Reflection Week — semacam pekan refleksi nasional, bukan untuk laporan, tapi untuk mendengar. Setiap pengurus bisa berbagi pengalaman: apa yang berjalan baik, apa yang terasa berat, apa yang perlu ditata ulang. Dari mendengar, biasanya muncul makna baru.

Kedua, ubah sebagian rapat formal jadi ICMI Knowledge Café. Ruang santai tempat pengurus bisa ngobrol bebas tentang ide, bukan agenda. Kadang gagasan besar justru lahir dari obrolan ringan yang jujur, bukan dari sidang resmi.

Ketiga, buat ICMI Energy Map — peta sederhana untuk membaca wilayah mana yang aktif, mana yang mulai dingin. Peta ini bukan untuk menilai, tapi untuk membantu semangat mengalir ke tempat yang butuh dukungan.

Keempat, bangun ICMI StoryBank. Jangan hanya menyimpan dokumen formal, tapi juga kisah dan pengalaman dari tiap daerah — keberhasilan kecil, kesalahan yang jadi pelajaran, langkah-langkah baru yang bisa ditiru. Dari situ, ICMI bisa punya best practice dan next practice yang hidup, bukan teori mati di arsip.

Dan terakhir, bukalah ruang kolaborasi antar generasi. Biarkan yang muda bicara tanpa merasa takut salah, dan biarkan yang senior mendengar tanpa kehilangan wibawa. Karena sering kali, energi organisasi lahir dari pertukaran antara idealisme muda dan kebijaksanaan tua. Kalau dua hal itu bisa disatukan, ICMI akan punya mesin baru untuk melangkah.

Semua langkah kecil itu sesungguhnya bentuk sederhana dari knowledge management — cara agar pengetahuan tidak berhenti di kepala seseorang, tapi mengalir di seluruh tubuh organisasi. Di sinilah ICMI bisa sembuh dari burnout-nya: bukan dengan berlari, tapi dengan mengalirkan kembali pengetahuan dan makna bersama.

Setiap organisasi besar akan sampai pada masa diam. Masa ketika ia harus menatap cermin dan bertanya: kita ini masih berjuang untuk apa? Di titik itu, diam bukan tanda kalah, tapi tanda sadar. Sadar bahwa untuk melangkah jauh lagi, kita harus tahu dulu dari mana datangnya semangat.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. As-Saff [61]:4). Ayat ini bukan sekadar tentang perang, tapi tentang keserasian langkah dalam perjuangan. Tentang bagaimana semangat individu harus berpadu dalam visi kolektif. ICMI pernah membuktikan itu — bahwa ide besar hanya bisa tumbuh kalau dijalankan dalam irama yang teratur dan saling menguatkan.

Mungkin inilah saatnya ICMI kembali menata barisan, bukan untuk nostalgia, tapi untuk menemukan arah baru yang lebih kokoh dan relevan. Karena Allah tidak meminta kita berlari cepat-sendiri, tapi melangkah bersama dalam barisan yang rapi. Di situlah keberkahan perjuangan lahir — saat pikiran yang cerdas, hati yang tulus, dan niat yang jernih bertemu dalam satu langkah yang seirama. Dan dari situ, ICMI akan menemukan napas barunya — bukan sekadar hidup kembali, tapi hidup dengan makna.

Stay Relevant!*-


Biar Nggak Lupa:

  1. Lelah itu wajar, apalagi kalau niat baik belum ketemu bentuk. ICMI nggak sedang mati, cuma lagi belajar napas baru.
  2. Burnout itu bukan dosa, cuma tanda kita perlu berhenti sebentar buat ingat kenapa dulu mulai jalan.
  3. Organisasi besar nggak butuh banyak instruksi, tapi arah yang sama dan hati yang saling nyambung.
  4. Pengetahuan itu kayak air—kalau ngalir, ngidupin. Kalau berhenti, malah bikin lembab dan malas.
  5. Allah ﷻ mencintai barisan yang rapi, bukan langkah yang tergesa. Yang penting bukan seberapa cepat kita jalan, tapi seberapa seirama kita berjuang di jalan-Nya, agar setiap langkah berbuah barakah.

Daftar Pustaka:

  • Bruch, H., & Ghoshal, S. (2003). Unleashing organizational energy. MIT Sloan Management Review, 45(1), 45–51.
  • Frankl, V. E. (1959). Man’s search for meaning. Beacon Press.
  • Maslach, C., & Leiter, M. P. (2016). The truth about burnout: How organizations cause personal stress and what to do about it. Jossey-Bass.
  • Nonaka, I., & Takeuchi, H. (1995). The knowledge-creating company: How Japanese companies create the dynamics of innovation. Oxford University Press.



Scroll to Top