بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Pabrik di Tengah Perumahan:
Salah Zonasi atau Salah Siapa?
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya
“Pabrik berdiri dekat perumahan. Polusi datang, pejabat diam. Salah zonasi, atau kita semua ikut diam? Artikel ini mengajak berpikir dan peduli.”
Kemarin siang, seorang kawan masa kuliah mengirim pesan ke grup WhatsApp alumni. Bukan soal reuni, bukan juga soal lowongan kerja. Ia kirim surat pengaduan. Serius banget. Katanya, surat itu akan dikirim ke beragam pihak: Kapolsek, dengan tembusan ke Bupati, DLHK, Ketua DPRD, Camat, bahkan manajemen perumahan tempat dia tinggal.
Isinya? Keluhan tentang tiga pabrik yang berdiri di sekitar perumahan, lengkap dengan efek samping: cerobong asap, udara bau, air sumur bau, berubah warna, dan suara mesin yang seperti tak pernah tidur.
Saya hanya membaca surat itu di layar ponsel. Kami tidak bertemu. Tapi setelah membacanya, saya diam cukup lama. Ada rasa iba, sedih, ada juga rasa kesal. Bukan hanya pada situasi yang dialami teman saya, tapi pada pola yang terus berulang: warga mengadu, pejabat bingung mau berbuat apa, dan pabrik tetap jalan. Surat itu bukan sekadar daftar keluhan—tapi gabungan antara harapan, kemarahan, kesedihan dan rasa cemas sebagai warga yang rumahnya kini dikepung industri.
Masalah seperti ini bukan satu dua kali terjadi. Di banyak kota, kita sering melihat hal serupa: kawasan hunian yang dikelilingi aktivitas industri.
Misalnya di Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER), sejumlah rumah warga berada di tepi zona industri, menghadapi risiko langsung dari asap dan limbah. Hal serupa juga ditemukan di kawasan Gunungputri, Bogor, dan sepanjang Sungai Brantas di Jawa Timur.
Di lokasi-lokasi itu, pabrik berdiri berdampingan dengan permukiman dan menimbulkan gangguan nyata: dari pencemaran udara dan air hingga penurunan kualitas hidup warga sekitar (Sumber: Jurnal UNS).
Cerobong asap berdiri tak jauh dari pagar rumah, truk besar lalu-lalang di jalan sempit, debu beterbangan, dan suara pabrik seperti soundtrack baru untuk tidur malam warga. Lalu kita bertanya: “Aneh, kok bisa ya pabrik berdiri di dekat perumahan?” Jawaban paling populer biasanya: “Ya, zonasinya salah.” Tapi kalau mau jujur, pertanyaannya bisa diperdalam: salah zonasi, atau salah siapa?
Masalah seperti ini terus berlanjut bukan cuma soal regulasi atau kurangnya pengawasan. Ada proses psikologis yang diam-diam bekerja di balik layar. Tanpa kita sadari, masyarakat, pejabat, dan bahkan kita sendiri terjebak dalam pola perilaku yang saling menguatkan stagnasi, no action.
Ketika terlalu banyak pihak yang bisa bertindak, akhirnya tidak ada yang benar-benar merasa bertanggung jawab. Semua saling nunggu. Warga nunggu RT, RT nunggu kelurahan, kelurahan nunggu DLHK, dan DLHK… nunggu viral. Semua merasa “bukan tugas saya.” Ini dikenal dalam psikologi sosial sebagai teori Diffusion of Responsibility yang dikemukakan oleh John Darley dan Bibb Latané.
Setelah beberapa kali mencoba melapor, protes, atau sekadar curhat, dan hasilnya nol besar—warga mulai merasa tidak berdaya. Mereka berhenti mencoba. Bukan karena pasrah, tapi karena lelah. Kalimat seperti “Ngapain lapor? Toh gak bakal ditindak,” bukan tanda bodoh. Ini tanda trauma sistemik. Kondisi ini dalam psikologi dikenal sebagai Learned Helplessness, sebuah teori yang dikembangkan oleh Martin Seligman pada akhir 1960-an.
Dan yang lebih berbahaya: kalau tiap hari disuguhkan polusi, lama-lama polusi dianggap normal. Asap jadi “udara pagi biasa,” suara truk jadi “latar belakang alami.” Dan ini berbahaya, karena ketika yang tidak normal dianggap normal, maka kita berhenti melawan. Inilah yang oleh sebagian psikolog lingkungan disebut sebagai semacam environmental numbness—mati rasa terhadap polusi dan kekacauan visual yang terus-menerus. Stanley Milgram sendiri pernah menulis tentang bagaimana warga kota cenderung menyaring stimulus demi menjaga energi mentalnya.
Kajian teori ekonomi juga cukup menarik. Pabrik beroperasi, menghasilkan barang, mengambil untung. Tapi dampak negatif—bau, kebisingan, pencemaran air—tidak dihitung sebagai biaya produksi, melainkan diam-diam dipindahkan ke warga sekitar. Ini namanya eksternalitas negatif: biaya sosial ditanggung oleh pihak yang tidak terlibat dalam aktivitas ekonomi. Konsep ini diperkenalkan oleh ekonom Inggris, Arthur Cecil Pigou, pada awal abad ke-20.
Secara tata ruang, ini bisa jadi karena perumahan dibangun terlalu dekat zona industri, atau sebaliknya: pabrik masuk ke zona hunian tanpa pengawasan ketat. Apapun urutannya, yang jelas ini bentuk kegagalan sistem zonasi. Entah salah desain, salah izin, atau—yang paling sering—salah diam-diam. Dalam dunia perencanaan kota, kasus seperti ini kerap disebut sebagai bentuk Zoning Error—yakni ketika tata guna lahan tidak sesuai dengan fungsi ruang yang seharusnya.
Tinjauan estetika, tentu tidak kalah seru. Mengapa kita bersedia sewa Vila di pegunungan dengan harga mahal? Katanya healing di lingkungan yang sejuk menawan dengan bunga warna warni. Mengapa properti di sekitar Central Park New York harganya selangit? Karena ada tamannya, luas sekali, tidak ada pabrik disana. Demikian juga dengan lingkungan perumahan. Taman yang indah, bangunan yang bersih, desain arsitektur yang menawan, dan last but not least, tidak ada pabrik, merupakan elemen keindahan yang bernilai tinggi.
Kamu bangun tidur, buka jendela, dan yang terlihat adalah asap hitam keluar dari cerobong tinggi, tentu akan suntuk. Keindahan visual adalah bagian dari kualitas hidup. Kalau setiap hari kamu melihat bangunan kusam, kendaraan besar, dan dinding beton pabrik, maka pelan-pelan kamu akan kehilangan segalanya. Kesehatan lahir dan batin terganggu—bukan cuma di mata, tapi juga di hati.
Dan jangan lupakan satu hal: harga jual rumah jadi terjun bebas. Siapa yang mau beli rumah yang berdampingan dengan cerobong asap? Properti tidak lagi bermakna investasi, tapi beban. Rumah impian berubah jadi titik bertahan.
Mungkin kita memang bisa menyalahkan peta tata ruang. Tapi kita juga bisa bertanya lebih jauh: Mengapa izin bisa diberikan? Mengapa pabrik tidak diawasi? Mengapa warga harus terus mengalah? Mungkin yang salah bukan cuma zonasinya, tapi juga budaya diam kita. Budaya saling lempar. Budaya “tunggu aja sampai viral”, “No viral no justice”, atau ” Budaya “ya… mau gimana lagi, pasrah aja!”
Teman saya tadi, mungkin hanya satu dari sekian banyak orang yang mencoba menyuarakan keresahan. Tapi di balik surat yang ia kirim ke grup WhatsApp itu, saya melihat sesuatu yang jauh lebih penting, apa itu? keberanian untuk peduli.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa yang tidak beriman, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46). Hadis ini bukan hanya nasihat pribadi, tapi tamparan kolektif. Kita belum bisa merasa saleh jika membiarkan tetangga sesak napas oleh asap yang kita anggap biasa.
Karena pada akhirnya, rumah bukan hanya soal tembok dan atap. Ia adalah tempat kita merasa aman. Tempat kita bernapas lega. Dan ketika udara kotor, air bau, jalan macet, dan suara bising jadi pemandangan sehari-hari—maka yang kita pertaruhkan bukan cuma kenyamanan, tapi juga kewarasan.
Jika iman bisa terguncang hanya karena membiarkan tetangga terganggu, maka sesungguhnya memperjuangkan hak lingkungan yang sehat adalah bagian dari menjaga iman itu sendiri. Stay Relevant!