Nggatekno Wong

Nggatekno Wong

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya

Di dunia yang makin gaduh, perhatian kecil justru jadi penyelamat. “Nggatekno wong” bukan remeh—ia rahmah yang diam-diam menyelamatkan.

Seorang dokter di Gaza, Dr. Izzeldin Abuelaish kehilangan tiga putrinya akibat tembakan membabi buta tank Israel pada Januari 2009. Tapi malam itu juga, ia tetap masuk rumah sakit. Mengoperasi anak-anak lain yang terluka, tetap hadir untuk orang-orang yang bahkan tak punya hubungan darah dengannya. Ia tidak larut dalam amarah, tapi memilih sabar—dan tetap memperhatikan luka orang lain, walau dirinya sendiri sedang terluka.

Sementara itu, di sudut pasar tradisional, seorang ibu penjual pecel menyisihkan satu-dua porsi untuk dibungkus dan diberikan pada orang yang kurang mampu. Ia tak menunggu orang minta, tak menulis pengumuman ‘gratis’. Ia hanya bilang, ‘Sing penting iso nedo.’ Baginya, memberi adalah soal hati yang peka, bukan kantong yang penuh. Perhatiannya bukan karena mampu, tapi karena mau—itulah bentuk nggatekno wong yang tak bersuara, tapi terasa.

Bukan Basa-Basi

Dalam bahasa Jawa, ‘nggatekno wong’ berarti memperhatikan orang lain dengan sungguh-sungguh, dengan penuh kesadaran. Ia bukan sekadar basa-basi atau hanya untuk formalitas sosial. Perhatian yang sejati mengandung kedalaman emosi dan keikhlasan untuk hadir bersama. Carl Rogers, tokoh psikologi humanistik, memperkenalkan konsep “unconditional positive regard”—yakni sikap menerima orang lain apa adanya tanpa syarat, tanpa embel-embel. Ketika kita benar-benar nggatekno wong, kita sedang menciptakan ruang aman emosional bagi orang lain untuk menjadi dirinya sendiri. Bukan untuk mengubah, bukan untuk menilai, tapi hanya untuk hadir dan mengakui bahwa mereka ada, mereka penting, dan mereka berharga. Dalam praktiknya, tidak harus rumit, bisa sesederhana memanggil seseorang dengan namanya, menatap matanya saat bicara, atau mendengarkan cerita tanpa buru-buru membalas dengan nasihat.

Empati: Tak Perlu Ramai

Daniel Goleman, penggagas konsep kecerdasan emosional, menyebut empati sebagai inti dari hubungan antarmanusia. Ia membaginya dalam tiga bentuk: empati kognitif (memahami pikiran orang lain), empati emosional (merasakan apa yang mereka rasakan), dan empati welas asih (ingin membantu). Nggatekno wong seringkali terjadi dalam bentuk ketiga ini—tanpa sorotan, tanpa mikropon tanpa imbalan. Ketika kita melihat seseorang yang terlihat letih, dan memilih untuk tidak menambah bebannya dengan komentar sinis, itu bentuk empati. Saat kita membiarkan orang lain bicara lebih dulu dalam rapat karena tahu ia jarang didengar, itu juga bentuk perhatian. Perhatian yang sejati tidak membutuhkan banyak kata-kata, kadang cukup dari gestur tubuh yang tidak tergesa, atau telinga yang tidak sibuk menyela.

Menyambung Rasa

Dalam perspektif sosiologi, George Herbert Mead menekankan pentingnya interaksi simbolik. Bahwa makna sosial tidak lahir dari peristiwa besar, tapi dari pertukaran simbol kecil dalam keseharian—seperti senyuman, sapaan, atau ekspresi wajah. Nggatekno wong menjadi praktik sosial yang mempertahankan nilai kemanusiaan melalui simbol-simbol sederhana. Di tempat lain, Emile Durkheim berbicara tentang solidaritas sosial sebagai kekuatan perekat masyarakat. Menurutnya, tindakan yang menunjukkan kepedulian terhadap sesama adalah fondasi moral bersama. Ketika orang saling memperhatikan, mereka memperkuat kohesi sosial. Jadi, ketika seorang ibu memberi pecel tanpa ditanya, atau ketika tetangga membawakan air minum tanpa diminta, mereka sedang membangun ikatan yang lebih kuat dari sekadar bilang ‘semangat ya’ lalu pergi.

Perhatian Itu Mahal

Di zaman serba cepat dan bising ini, perhatian menjadi barang langka. Kita lebih sering menatap layar HP daripada menatap wajah orang-orang di dekat kita. Nggatekno wong menjadi semacam seni yang perlahan menghilang, padahal ia justru kunci dari relasi yang utuh dan bermakna. Banyak luka hari ini bukan karena kurangnya informasi, tapi karena kurangnya perhatian yang tulus. Orang merasa kesepian di tengah keramaian bukan karena tak punya teman, tapi karena tak ada yang sungguh-sungguh hadir. Itulah mengapa nggatekno wong, sekecil apa pun, adalah hadiah yang tak ternilai harganya.

Dalam Islam, perhatian kecil itu disebut rahmah—kasih sayang yang mengalir tenang, tak perlu diumumkan. Allah memiliki nama-nama agung (Asmaul Husna), diantaranya sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim, dan Nabi Muhammad ﷺ diutus sebagai rahmat bagi semesta. Rasulullah menyapa setiap orang dengan nama, bahkan menunggu wanita tua yang sedang menangis tenang dulu sebelum menasihatinya. Itu bukan basa-basi kenabian, tapi rahmah yang hadir dalam bentuk paling teduh.

Nggatekno wong adalah bentuk rahmah yang paling manusiawi. Ia tidak perlu mikrofon, tak perlu sorot kamera dan tak perlu viral. Ia cukup sepasang mata yang benar-benar melihat, atau hati yang tak sibuk dengan dirinya sendiri. Dan dalam dunia yang semakin gaduh saat ini, perhatian yang tulus justru menjadi penyelamat paling sunyi. Mungkin kita tak mampu menyelesaikan semua luka dunia. Tapi setidaknya, kita bisa memastikan orang di sekitar kita merasa dilihat, didengar, dan diuwongke.

Stay Relevant!

Scroll to Top