بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Integritas Riset: Siapa Bicara Jujur?
Beberapa pekan terakhir, dunia pendidikan tinggi di Indonesia diguncang kabar yang membuat banyak orang diam sebentar. Delapan kampus besar, dengan nama-nama yang selama ini dianggap teladan, masuk dalam daftar Red Flag dan High Risk dalam indeks integritas riset global. Tidak semua terkejut. Sebagian hanya mengangkat alis, sebagian lain memilih diam. Tapi yang paling mengkhawatirkan justru bukan daftar itu, melainkan sepi suara dari ruang-ruang pimpinan kampus. Seakan-akan, kalau diam cukup lama, badai akan reda dengan sendirinya.
Padahal, justru di momen seperti inilah, rektorat dan LPM (Lembaga Penjaminan Mutu) harus bicara. Bukan untuk membela diri. Tapi untuk menata ulang arah. Karena kalau kampus unggulan pun bisa terjerat masalah integritas, ini bukan sekadar soal satu dua publikasi. Ini cermin bahwa ada yang perlu dibenahi secara sistemik. Dan sistem, seperti kata Edward Sallis dalam konsep Total Quality Management, tidak akan berjalan baik hanya karena adanya dokumen. Ia berjalan karena ada komitmen di semua lapisan—terutama di puncak kepemimpinan.
Kita semua tahu, rektor tidak bisa memeriksa setiap artikel yang terbit. Tapi rektor punya kuasa untuk menata ulang sistem insentif. Untuk berkata bahwa integritas lebih penting daripada kecepatan. Untuk menolak publikasi asal-asalan meskipun jurnalnya terindeks. Rektor juga bisa berhenti menekan LPM hanya untuk urusan akreditasi, dan mulai menjadikannya sebagai mitra refleksi mutu yang sejati. Karena LPM bukan hanya pengumpul borang. Ia bisa menjadi garda depan pengendali kualitas, jika diberi ruang dan peran yang sungguh-sungguh.
Dalam teori psikologi, kita mengenal konsep moral leadership. Pemimpin akademik bukan hanya manajer yang mengurus anggaran dan kebijakan. Ia adalah panutan nilai (role model). Ketika sistem mulai tergelincir ke arah kuantifikasi semata—angka publikasi, indeksasi, sitasi—pemimpin kampus harus bisa mengarahkan kembali visi ke esensi. Pendidikan bukan soal tumpukan artikel. Ia tentang membentuk manusia yang berpikir jernih, jujur, dan bertanggung jawab.
Sayangnya, yang sering terjadi adalah sebaliknya. Dosen muda diburu target. Mahasiswa S2 diminta publikasi sebelum lulus. Artikel jadi komoditas. Dan celakanya, semua ini berlangsung dalam sistem yang diam-diam membiarkannya. Padahal rektor bisa memilih berhenti memberi reward pada jurnal meragukan. LPM bisa membangun audit mutu yang tidak hanya melihat volume, tapi juga proses dan etika. Dan yang lebih penting: semua itu bisa dimulai dengan satu hal sederhana—berani bicara jujur.
Kejujuran institusional tidak harus dalam bentuk konferensi pers. Bisa saja dalam bentuk kebijakan internal. Misalnya, kampus secara terbuka mengakui bahwa ada kesalahan dalam sistem penjaminan mutu. Bahwa ada ruang yang harus diperbaiki. Lalu membuka dialog antarfakultas untuk menyusun ulang standar penilaian riset. Tidak harus revolusioner. Tapi harus jujur dan terarah.
Salah satu yang juga kerap luput adalah penguatan sisi manusiawi dari pendidikan tinggi—yakni soft skills. Mahasiswa yang hanya dilatih menulis cepat tapi tidak diajak berpikir reflektif, akhirnya hanya paham struktur, bukan isi. Dosen yang dikejar laporan tahunan, tak sempat membimbing secara mendalam. Padahal dalam dunia riset, integritas bukan hanya soal metodologi, tapi juga soal karakter. Dan karakter tidak dibentuk oleh jurnal, tapi oleh ekosistem yang memberi ruang untuk tumbuh secara utuh.
Mungkin sudah waktunya kampus berhenti berburu ranking dan mulai kembali ke jati diri. Bahwa reputasi akademik bukan dibangun dari indeks semata, tapi dari kepercayaan yang lahir karena konsistensi dan ketulusan. Dan kepercayaan itu tidak bisa dibangun dengan diam. Ia butuh suara—suara jujur dari mereka yang memimpin.
Karena kalau kampus sudah masuk daftar merah, pertanyaannya bukan lagi siapa yang harus malu. Tapi siapa yang mau mulai bertanggung jawab.
Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya