One Piece dan Kemerdekaan RI

One Piece, Bendera Bajak Laut, dan Generasi yang Tak Mau Diam

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

One Piece, Bendera Bajak Laut, dan Generasi yang Tak Mau Diam

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya

“One Piece dikibarkan saat 17 Agustus. Bukan untuk memberontak, tapi untuk menyampaikan: kami juga cinta negeri ini—dengan cara kami.”

Menjelang 17 Agustus, bendera-bendera Merah Putih berkibar di mana-mana. Namun ada yang mencuri perhatian: sejumlah bendera bergambar tengkorak dengan topi jerami ikut berkibar. Itu bukan lambang bajak laut asli, melainkan logo dari kelompok bajak laut fiksi dalam manga dan anime Jepang berjudul One Piece. Uniknya, bendera ini dikibarkan bukan di layar cosplay atau komunitas pecinta anime saja, melainkan di tiang rumah warga, kendaraan umum, mobil ambulans, bahkan di depan kantor pemerintahan.

Fenomena ini bukan sekadar iseng atau tren musiman. Ia menjadi bentuk ekspresi simbolik dari generasi muda yang merasa bahwa kemerdekaan bukan hanya tentang perayaan formal tahunan, tapi tentang kebebasan berpikir, kesetaraan, dan kejujuran. Di tengah peringatan kemerdekaan, mereka menyelipkan pesan: kami cinta Indonesia, kami sayang Indonesia, tapi kami juga punya cara berpikir sendiri. Kami ingin bebas, tapi tetap peduli.

Media asing seperti The Telegraph di Inggris dan Mathrubhumi dari India juga meliput fenomena ini, menyoroti bagaimana budaya pop Jepang dapat menjadi alat ekspresi sosial lintas batas. Mereka menyebut pengibaran bendera bajak laut sebagai bentuk komunikasi politik generasi muda, simbol keresahan terhadap kekuasaan yang tidak transparan. Fenomena ini menjadi bukti bahwa simbol visual dari anime bisa menembus batas negara, menjadi saluran kritik global terhadap sistem yang dirasa tak adil.

Lalu mengapa bendera bajak laut dari fiksi bisa memicu resonansi yang begitu kuat? Di sinilah psikologi massa berperan. Pertama, melalui teori katarsis (Catharsis Theory) dari Aristoteles dan Freud, kita memahami bahwa penonton atau pembaca sering kali melepaskan emosi terpendam melalui keterhubungan dengan tokoh fiksi. Saat Luffy melawan sistem dunia yang tidak adil, penonton pun merasa turut melawan. Ini bukan sekadar hiburan, melainkan pelepasan tekanan psikologis kolektif (katarsis).

Kedua, teori identifikasi dari Carl Jung dan para psikolog media menjelaskan bahwa manusia cenderung mengidentifikasi dirinya dengan karakter yang dianggap mencerminkan nilai atau perjuangannya. Bagi generasi muda Indonesia yang muak dengan birokrasi, korupsi, dan ketidakadilan, Luffy adalah representasi pahlawan: polos, jujur, setia kawan, dan tak takut pada penguasa.

Ketiga, teori mirror neurons dalam neurosains modern menunjukkan bahwa saat kita melihat tokoh fiksi menderita atau berjuang, neuron di otak kita aktif seolah-olah kita yang mengalaminya. Maka tak heran jika ribuan orang menangis saat Ace mati, atau ketika Robin berteriak “I want to live!” — karena secara biologis, kita memang ikut merasa.

Tapi apakah cukup dengan empati dan simbol? Tidak. Kita tetap butuh sikap bijak dan kesadaran kolektif. Dalam Islam, dikenal prinsip amar ma’ruf nahi munkar—mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran—yang bisa dilakukan dengan tangan, lisan, atau hati. Menyuarakan keresahan sosial secara damai termasuk bentuk nyata dari prinsip ini. Namun, ia tetap harus dilakukan dengan adab, agar tidak mencederai ukhuwah (persaudaraan) dan menjaga harmoni dalam masyarakat.

Pemerintah perlu memahami bahwa generasi baru tidak bisa disuruh diam dengan bahasa lama. Sebaliknya, anak muda pun perlu belajar mengekspresikan keresahan tanpa membakar jembatan dialog. Kita perlu introspeksi bersama, bahwa cinta tanah air bisa datang dalam banyak bentuk — termasuk lewat bendera fiksi.

Dalam perspektif administrasi publik, fenomena ini bisa dilihat melalui lensa Teori Responsivitas Birokrasi (Bureaucratic Responsiveness). Pemerintah yang peka terhadap aspirasi warganya, bahkan yang muncul dalam bentuk simbol nonformal, menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi. Ketika simbol bajak laut lebih dipercaya daripada pidato resmi, saatnya kita bertanya: apakah negara sudah cukup mendengar?

One Piece mengajarkan bahwa impian tidak boleh dikendalikan oleh kekuasaan, dan bahwa setiap orang berhak berlayar menuju kebebasannya sendiri. Mungkin, di balik bendera tengkorak itu, ada suara lirih yang berkata: kami tidak melawan negeri ini. Kami hanya ingin didengar. Dan barangkali, itu adalah bentuk cinta yang paling jujur.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali ‘Imran: 104 — “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Ayat ini mengajarkan bahwa menyuarakan kebaikan adalah tanggung jawab mulia, bahkan jika disampaikan lewat cara yang tidak biasa.

Barangkali inilah saatnya kita berhenti mencurigai bentuk cinta yang berbeda, dan mulai mendengarkan dengan hati nurani yang lebih lapang. Karena bangsa besar bukan yang seragam pikirannya, tetapi yang mampu berdialog dengan kasih, adab, dan niat baik — bahkan ketika ia datang dari bendera yang tampak asing di mata kita. Stay Relevant!



Scroll to Top