Soft skills dan Badan Usaha

Mau Bikin CV, PT, atau Koperasi? Tes Dulu Soft Skills Kamu!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Mau Bikin CV, PT, atau Koperasi?
Tes Dulu Soft Skills Kamu!

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Tim Soft Skills SDMIndonesia.com

“Mau bikin CV, PT, atau Koperasi? Jangan cuma pikir modal dan aturan. Tes dulu soft skills kamu—kuncinya ada pada kepemimpinan dan tanggung jawab.”


Kalau kita bicara bisnis di Indonesia, orang biasanya langsung mikir soal modal, aturan OSS, sampai urusan pajak. Wajar, karena motivasi utama orang bikin usaha memang cari duit, cari peluang, dan kalau bisa sekalian ningkatin kredibilitas. Itu sebabnya PT sering dipilih, apalagi setelah ada PT Perorangan. Semua bisa langsung punya perusahaan sendiri, praktis tanpa ribet. Jadi alasan ekonomi dan regulasi jelas jadi faktor penentu di awal.

Tapi mari kita jujur: punya akta notaris dan legalitas itu baru langkah pertama. Yang bikin usaha bertahan lama bukan hanya modal, melainkan manusia di dalamnya. Nah, di sini soft skills memainkan peranan penting. CV, PT, atau Koperasi bisa saja berdiri dengan cepat, tapi apakah bisa jalan terus? Itu tergantung kemampuan komunikasi, kepemimpinan, dan kerja sama orang-orang yang mengelolanya.

Ambil contoh CV. Orang bikin CV biasanya karena lebih murah dan fleksibel. Tapi kalau partnernya keras kepala dan nggak bisa ngobrol sehat saat ada masalah, ya bubar jalan. Emotional Intelligence yang dijelaskan Daniel Goleman menjelaskan soal self-awareness, empati, dan kemampuan ngatur emosi. Kalau itu nggak ada, CV bisa jadi medan perang, bukan jalan rezeki.

Sekarang lihat PT. Alasan orang pilih PT jelas: lebih kredibel, gampang tarik investor, dan dianggap profesional. Itu alasan ekonomi yang rasional. Tapi PT punya struktur formal—ada direksi, komisaris, RUPS—semua butuh kepemimpinan. Teori kompetensi dari Spencer & Spencer menekankan bahwa leadership, decision making, dan integritas itu kunci. Jadi meski PT kelihatan gagah di atas kertas, kalau pemimpinnya nggak bisa ambil keputusan tepat atau gampang goyah saat krisis, ya perusahaan bisa stagnan jalan ditempat atau malah ambruk.

Lain cerita dengan badan usaha Koperasi. Banyak orang memilih Koperasi karena asas kekeluargaan dan dukungan negara. Secara ekonomi, Koperasi bisa jadi solusi untuk kelompok masyarakat. Tapi kalau anggotanya nggak punya trust, gampang curiga, dan nggak bisa kerja tim, koperasi hanya jadi formalitas. Lagi-lagi, soft skills kayak teamwork, komunikasi, dan kolaborasi jadi pondasi utama.

Faktanya, motivasi ekonomi akan selalu jadi alasan pertama orang memilih bentuk usaha. Mau cepat akses modal dari investor? Bikin PT. Mau murah dan simpel? Pilih CV. Mau berbagi bersama? Bentuk Koperasi. Semua pilihan itu sah dan logis. Tapi keberlanjutan usaha nggak ditentukan oleh akta atau pasal undang-undang semata, melainkan oleh kualitas soft skills para pelakunya.

Kita bisa lihat contoh nyata. Ada PT kecil yang berkembang besar karena pendirinya punya leadership kuat, berpikir strategik dan integritas tinggi. Ada Koperasi yang gagal padahal modal cukup, hanya karena anggotanya saling jegal dan nggak saling percaya. Ada CV yang runtuh gara-gara sekutu nggak bisa ngatur emosi. Semua itu menunjukkan bahwa alasan ekonomi memang jadi pintu masuk, tapi soft skills jadi bahan bakar yang bikin usaha jalan terus.

Di sinilah kita menemukan titik penting: dunia usaha nggak netral terhadap karakter manusia. Regulasi memberi kerangka, modal memberi amunisi, tapi soft skills yang jadi bensin penggerak. Tanpa kecerdasan emosional, konflik internal akan merusak. Tanpa kepemimpinan, keputusan strategis macet. Tanpa teamwork, kekeluargaan di Koperasi hanya tinggal jargon.

Maka, saran inovasi yang bisa kita ambil adalah jangan hanya menekankan legalitas usaha. Pendidikan, inkubator bisnis, bahkan pemerintah bisa menyelipkan tes soft skills sebelum calon wirausaha mengurus badan hukum.

Bayangkan kalau sebelum daftar OSS, ada self-assessment (aplikasi penilaian diri) singkat tentang gaya kepemimpinan, komunikasi, dan kecerdasan emosional. Hasilnya bukan untuk memutuskan apakah kamu harus bikin PT, CV, atau Koperasi, melainkan untuk menunjukkan soft skills apa yang perlu kamu latih agar pilihan badan usaha yang kamu ambil bisa benar-benar sukses dijalankan. Dengan demikian, legalitas usaha berjalan seiring dengan kesiapan manusia yang mengelolanya.

Artikel ini nggak bermaksud bikin orang ragu-ragu buka usaha. Semua bentuk badan usaha punya plus minusnya sendiri. Tapi kalau kita berani bercermin, melatih empati, kepemimpinan, dan kerja sama, apa pun bentuk usahanya bisa berkembang dan bertahan lebih lama.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari & Muslim). Pesan ini sederhana tapi dalam. Pilihan badan usaha boleh ditentukan oleh motivasi ekonomi, tapi keberhasilan sejati ditentukan oleh kepemimpinan dan tanggung jawab.

Hikmah terbesarnya, usaha yang dibangun dari akhlak dan soft skills akan lebih tahan daripada usaha yang hanya berdiri di atas modal dan regulasi. Jadi sebelum sibuk ke notaris atau OSS, coba tanya ke diri sendiri: apakah saya sudah cukup dewasa memimpin diri dan orang lain? Karena bisnis sejati bukan cuma soal bertahan di pasar, tapi juga tentang bertahan sebagai manusia yang amanah di hadapan Allah.

Stay Relevant!


Referensi

  • Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York, NY: Bantam Books.
  • Spencer, L. M., & Spencer, S. M. (1993). Competence at work: Models for superior performance. New York, NY: John Wiley & Sons.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.


Scroll to Top