Kemana Setelah SMA: Kuliah atau Kerja?

Kemana Setelah SMA: Kuliah atau Kerja?

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya

Kuliah atau kerja setelah SMA? Bukan soal pilihan cepat, tapi soal arah yang jujur dan langkah yang tumbuh. Temukan cahayamu di persimpangan hidup.

Di ujung perahu, seorang anak kecil menari. Bukan karena pamer, bukan demi tepuk tangan, tapi karena semangat itu menular. Dalam geraknya, tumbuh satu hal yang jarang dimiliki generasi dewasa: keberanian untuk hadir sepenuhnya. Itulah yang kini disebut “aura farming”—istilah gaul dari generasi digital untuk menyebut karisma yang jujur, tidak dibuat-buat. Dan jika Anda sedang bertanya “mau ke mana setelah lulus SMA?”, mungkin Anda sedang berada di perahu yang sama. Bukan sekadar mencari tempat berlabuh, tapi menumbuhkan aura Anda sendiri.

Pertanyaannya sering terdengar sederhana: kuliah atau kerja? Tapi di balik itu, ada gelombang besar yang sedang bergerak. Dunia kerja makin cair, kuliah makin fleksibel, dan cara orang sukses makin beragam. Kita hidup di era di mana konten YouTube bisa lebih menghasilkan dari ijazah, tapi juga di mana gelar masih jadi syarat untuk banyak hal. Dunia tidak sedang memberi kita satu jalan lurus, tapi percabangan tanpa ujung. Lalu bagaimana memilihnya?

Kita mulai dari lingkungan eksternal yang berubah cepat. Dunia setelah pandemi tidak lagi sama. AI, digitalisasi, remote working, hingga iklim ekonomi global telah membuat peta karier dan pendidikan bergeser. Pekerjaan rutin banyak digantikan mesin. Perusahaan tak lagi hanya mencari ijazah, tapi portofolio. Bahkan kampus pun harus beradaptasi: dari tempat kuliah menjadi ruang eksplorasi. Kalau kamu merasa bingung, itu bukan salahmu—itu tanda bahwa kamu sedang hidup di zaman transisi yang bergerak semakin cepat, tanpa henti.

Lulusan SMA tahun 2025 adalah bagian dari Generasi Z—anak-anak yang lahir di antara 1997 sampai 2012. Mereka lahir dengan gadget di tangan, tumbuh bersama TikTok, dan belajar lebih banyak dari YouTube daripada dari buku teks. Mereka digital native, cepat belajar, kritis, tapi juga mudah lelah dan cemas karena tuntutan sosial media. Mereka tumbuh di tengah banjir informasi, tapi haus arah. Di sinilah pentingnya pendidikan karakter dan soft skills: empati, kerja sama, komunikasi, dan tentu saja—kejujuran. Karena di dunia yang bisa dipoles dengan filter, keaslian menjadi harta paling langka.

Mari kita tengok sedikit ke teori perkembangan. Erik Erikson menyebut bahwa remaja berada di tahap “identity vs. role confusion”—mereka sedang membangun jati diri. James Marcia memperdalamnya: sebagian sedang eksplorasi tanpa arah (moratorium), sebagian ikut-ikutan tanpa berpikir (foreclosure), sebagian belum tahu harus ke mana (diffusion). Hanya sebagian kecil yang benar-benar sudah tahu siapa mereka (identity achievement). Dan itu wajar. Tidak semua orang harus punya jawaban saat usia 17.

Tapi justru karena belum tahu, maka eksplorasi menjadi penting. Kuliah bukan sekadar tempat belajar, tapi ruang untuk mencari dan mencoba. Kerja bukan sekadar soal gaji, tapi laboratorium sosial untuk menguji daya tahan, tanggung jawab, dan kolaborasi. Apa pun pilihanmu, pastikan kamu tidak hanya “melakukan,” tapi juga “merasakan” dan  “mengalami.” Belajar bukan dari teori doang, tapi dari interaksi dari berbagai kasus nyata.

Dan kita tidak bisa bicara masa depan tanpa menyebut “Indonesia Emas 2045.” Saat itu, Indonesia genap 100 tahun. Pemerintah bermimpi jadi 5 besar ekonomi dunia, tapi mimpi itu tidak akan datang dari menara gading. Ia tumbuh dari anak-anak muda yang bisa berpikir, bekerja, dan bertahan. Dari kamu. Ya, kamu yang hari ini sedang memilih antara kuliah dan kerja. Kamu bukan hanya penerima kebijakan. Kamu adalah penggeraknya.

Dalam artikel “Ketika Tak Ada yang Melihat”, dijelaskan bagaimana karakter sejati diuji dalam senyap. Seperti remaja Jepang yang menabrak spion lalu meninggalkan nomor telepon tanpa disuruh. Tidak ada kamera. Tidak ada tepuk tangan. Tapi itulah moralitas sejati menurut Lawrence Kohlberg—bertindak benar bukan karena takut, tapi karena sadar. Dan di situlah pendidikan karakter menemukan bentuk sejatinya: ketika anak bisa memilih baik meski tak ada yang melihat.

Indonesia tidak kekurangan anak cerdas. Yang dibutuhkan adalah anak-anak yang percaya pada dirinya sendiri. Yang tidak takut salah, tidak malu mencoba, dan tidak mudah tumbang hanya karena satu komentar sinis. Soft skills, kata Howard Gardner, bukan pelengkap, tapi fondasi. Keberanian, kejujuran, ketekunan—semua itu tidak diajarkan dalam ujian, tapi ditumbuhkan dalam perjalanan.

Jadi, mau ke mana setelah SMA? Kuliah atau kerja? Jawabannya bukan hitam putih. Yang lebih penting adalah: kamu bergerak, kamu belajar, dan kamu bertumbuh. Kamu boleh kuliah sambil kerja, kerja dulu lalu kuliah, atau bahkan membangun usaha sendiri. Yang salah adalah menjadi stres dan diam terlalu lama karena takut salah. Aura tidak tumbuh dari rencana yang sempurna. Ia tumbuh dari keberanian untuk melangkah.

Karena hidup ini, pada akhirnya, bukan tentang punya jawaban sejak awal. Tapi tentang keberanian untuk mencari, dan ketulusan untuk belajar. Maka bergeraklah, meski masih bingung. Belajarlah, meski belum tahu arah. Karena setiap langkahmu hari ini adalah benih bagi Indonesia Emas esok hari. Dan kamu, ya kamu, punya peran penting di dalamnya. Cuma ngetik doang? Tidak. Kamu sedang menulis hidupmu sendiri.

Dan seperti anak kecil di ujung perahu itu, kadang yang dibutuhkan dunia bukan skrip mewah, tapi kehadiran utuh. Maka, selamat memilih, selamat mencoba, dan selamat tumbuh. Karena kamu layak untuk percaya pada dirimu sendiri. Stay Relevant!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top