ICMI dan ilmu bahagia

ICMI dan Ilmu Bahagia: Membangun Motivasi Pengurus dengan Psikologi Positif

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

ICMI dan Ilmu Bahagia:
Membangun Motivasi Pengurus dengan Psikologi Positif

Artikel 6

Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, pemerhati mutu pendidikan

“Bahagia bukan karena semua lancar, tapi karena kita tahu untuk siapa kita melangkah. ICMI belajar menata rasa, bukan sekadar struktur.”

Kadang yang paling berat dari organisasi bukan rapatnya, tapi menjaga hati tetap hangat, tetap semangat. Banyak pengurus ICMI di daerah yang bilang, capek bukan karena tugasnya berat, tapi karena suasananya ndak homie. Rapat jalan terus, tapi maknanya entah pergi ke mana.

Padahal dulu, ICMI lahir dari semangat yang sangat sederhana, ingin membuat ilmu terasa hidup, bukan sekadar program rutin yang terasa formal tapi kehilangan jiwa. Dulu, rapat bisa berubah jadi ruang belajar, ruang yang adem, bukan sekadar ruang laporan. Orang datang bukan cuma karena undangan, tapi karena ingin merasa terhubung—dengan ide segar, dengan teman seperjuangan, dan dengan “sesuatu” yang lebih menarik dari dirinya sendiri.

Kadang organisasi berubah tanpa sadar. Yang dulu terasa rumah, pelan-pelan jadi kantor. Yang dulu penuh canda, sekarang penuh jadwal. Padahal manusia nggak tumbuh di suasana kaku. Ia tumbuh di tempat yang bikin dia merasa bermanfaat, dihargai, dan boleh salah tanpa takut dihakimi.

Dalam ilmu psikologi, kebahagiaan bukan cuma soal senyum lebar atau tawa di foto kegiatan. Martin Seligman dalam Flourish (2011) bilang, bahagia sejati datang kalau hidup terasa punya arah dan makna. Ia menyebutnya model PERMA—Positive emotion, Engagement, Relationship, Meaning, dan Accomplishment.

Bahagia versi Seligman itu bukan hasil instan. Ia tumbuh pelan-pelan proses yang panjang, lewat suasana yang sehat. Tempat di mana orang bisa berbuat, belajar, dan merasa terhubung satu sama lain. Kalau dipikir, ICMI sebenarnya sudah punya semua bahan itu—ilmu, jaringan, dan niat baik. Tinggal bagaimana kita melakukan improvement, menatanya ulang, supaya semangat lama bisa hidup lagi di zaman now.

Mihaly Csikszentmihalyi (1990) nyebut kebahagiaan itu muncul waktu kita masuk ke kondisi flow. Bahasa gampangnya larut dalam nikmatnya bekerja. Kayak lupa diri, lupa waktu, karena sudah flow dengan apa yang dikerjakan.

Orang yang lagi flow itu aneh tapi indah. Capek iya, tapi nggak stres. Sibuk iya, tapi hatinya adem. Kadang malah heran sendiri, “Kok betah banget ya? padahal kerja sosial, nggak dibayar, bahkan sering nombok.”

Di ICMI, momen flow itu sering muncul di hal-hal kecil. Misalnya waktu pengurus muda nyiapin acara, nyusun konsep bareng, atau ngobrol santai sampai malam cuma buat cari ide. Energinya kerasa. Ada semangat atau ngirah yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Masalahnya, flow butuh suasana yang mendukung. Butuh tempat yang nggak bikin orang takut salah, tapi juga nggak bikin santai berlebihan. Butuh diberi kepercayaan, butuh rasa diterima. Kalau suasananya dingin dan kaku, siapa pun akan susah menjadi flow.

Makanya, tugas organisasi bukan cuma bagi-bagi kerjaan, tapi juga menjaga flow. Kalau semangat orang udah mampet, program bagus pun rasanya hambar. Tapi kalau suasananya cair, ide kecil bisa dahsyat, bisa menggetarkan dunia.

Stephen Robbins dan Timothy Judge (2024) nyebut ada istilah keren Quality of Work Life (QWL). Bahasa gampangnya, seberapa nyaman orang ngerjain sesuatu tanpa kehilangan makna hidupnya.

Di dunia kerja, QWL sering dibahas soal gaji, fasilitas, dan kenyamanan kantor. Tapi buat ICMI, ukurannya beda. Yang kita kelola bukan karyawan, tapi niat baik. Maka kualitas kehidupan kerja di ICMI lebih mirip Quality of Service Life.

Bahagianya bukan karena dapet tunjangan, tapi karena ngerasa dihargai, ngerasa bisa berkarya, ngerasa bisa berkontribusi. Maslow mengatakan ngerasa bisa beraktualisasi diri. Kadang cuma karena ide kecil kita didengar, atau waktu rapat nggak dipotong terus. Hal-hal sepele itu justru bikin orang betah.

Lucunya, banyak pengurus yang bilang capek bukan karena kerjaan, tapi karena suasananya kering. Anak muda malah bilang, “nggak asik, Pak.”

Rapat terlalu serius, kayak sidang disertasi. Semua sibuk mencari benar, tapi lupa bikin nyaman. Padahal kadang cukup dikasih kesempatan bicara, disimak sampai tuntas, dan ditanggapi dengan empati. Itu aja udah bikin orang betah.

Organisasi yang bahagia itu bukan yang paling disiplin, tapi yang paling bisa saling menghargai. Tempat di mana orang nggak takut salah, karena tahu salahnya nggak akan langsung dihakimi. Tempat yang bikin semangat tumbuh tanpa perlu dimarahi dulu.

Kiai Ihya’ Ulumiddin dari Jawa Timur punya ungkapan yang indah ngowongno uwong, nyenengno uwong, nggatekno uwong, ora ngelakno. Artinya, memanusiakan manusia, membahagiakan manusia, memperhatikan manusia, dan tidak menyakiti manusia. Kalimat sederhana ini bisa jadi prinsip dasar bagi organisasi mana pun yang ingin bahagia, panjang umur dan penuh berkah.

Nah, dari situ masuk ke hal penting lain: Work–Life Balance. Konsep yang sering dibahas di kantor-kantor modern, tapi jarang dibahas di organisasi sosial. Padahal, pengurus ICMI juga manusia biasa. Punya hati dan perasaan.

Keseimbangan hidup bukan berarti harus liburan jauh-jauh. Kadang cukup kalau rapat selesai tepat waktu, ada nutulen yang rapi dan semua bisa pulang dengan hati lega. Atau, waktu kegiatan, ada ruang buat bercanda tanpa ngerasa bersalah.

Intinya, kerja sosial jangan sampai bikin kehilangan rasa sosial. Kalau organisasi malah bikin stres, berarti ada yang salah dengan cara kita jalanin. Bukan karena misinya salah, tapi mungkin karena suasananya lupa dikasih jeda dan tawa.

David Cooperrider dan Suresh Srivastva (1987) punya teori yang sederhana tapi ngena: Appreciative Inquiry. Intinya, organisasi itu tumbuh bukan karena sering dikritik, tapi karena sering diapresiasi. Bukan berarti kritik nggak boleh, tapi apresiasi itu kayak pupuk—bikin akar semangat tumbuh lebih dalam.

ICMI dulu besar karena semangat itu. Dulu, rapat nggak sekaku sekarang. Ada tawa di sela debat, ada kopi di sela strategi. Orang datang bukan karena disuruh, tapi karena pengen nyumbang ide. Itu masa-masa di mana ilmu dan kehangatan jalan bareng.

Sekarang mungkin waktunya menghidupkan kembali suasana itu. Bukan dengan nostalgia, tapi dengan kebiasaan baru, saling mengapresiasi sebelum mengoreksi. Mulai dari hal kecil. Ngasih ucapan terima kasih di grup, ngasih ruang buat ide yang beda, atau sekadar nanya kabar dengan tulus.

Dan biar semangat itu nggak hilang, ICMI butuh cara untuk merawat ingatan bersama. Di sinilah peran Knowledge Management. Tapi jangan bayangkan sistem canggih penuh dashboard. Menurut laporan APQC, Knowledge Management Priorities Report 2025, keberhasilan KM nggak ditentukan oleh software, tapi oleh budaya berbagi. Ada kebijakan disosialisasikan, ada notulen dibagi, ada masalah dikomunikasikan.

Bayangkan kalau setiap orda dan orwil menulis kisahnya masing-masing. Cerita tentang kegiatan kecil yang berhasil, atau pengalaman yang lucu tapi bermakna. Cerita-cerita itu dikumpulkan, dibaca, lalu disebarkan ke wilayah lain. Nggak cuma jadi laporan, tapi jadi sumber inspirasi.

Di masa sepuluh tahun pertama, ICMI tidak cuma sibuk bikin program. Waktu itu, forum-forum diskusi jalan terus — mulai dari Focus Group Discussion (FGD), obrolan santai dengan mahasiswa, sampai kerja bareng lembaga NGO. Semuanya dilakukan bukan buat pencitraan, tapi buat koreksi dan saran bagi kebijakan pemerintah.

ICMI waktu itu ikut mikir strategi besar negara, dari ekonomi sampai arah pembangunan jangka panjang. Semuanya dilakukan dengan pendekatan yang lembut tapi cerdas—smooth and smart, kata orang sekarang. Ada semangat psikologis yang membangun. Bagaimana cara berpikir cendekia bisa jadi kekuatan moral dan kebijakan publik yang menyejukkan.

Kalau dipikir, itu bentuk KM yang paling manusiawi. Bukan sekedar kumpulan file, tapi kumpulan semangat. Setiap kisah adalah ilmu, setiap pengalaman adalah pelajaran, dan setiap tawa adalah energi. KM seharusnya seperti air yang mengalir—nggak perlu diatur dengan rumit, cukup dijaga supaya tetap jernih.

Bahagia dalam organisasi itu bukan berarti semua urusan beres. Kadang justru bahagia itu muncul di tengah berantakan. Saat orang-orang tetap bisa saling sapa, saling bantu, dan masih sempat bercanda meski kerjaan numpuk.

ICMI akan tetap kuat bukan karena banyak program, tapi karena banyak hati yang masih menyala. Hati yang mau belajar lagi walau pernah kecewa. Hati yang tetap datang ke rapat bukan karena diwajibkan, tapi karena kangen suasananya.

Dalam pandangan Islam, kebahagiaan sejati bukan tentang hidup tanpa badai, tapi tentang punya arah di tengah badai. Allah sudah kasih kalimat yang lembut sekali, “Lā taḥzan, innallāha ma‘anā” — jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita (QS. At-Taubah: 40).

Kalimat itu sederhana, tapi cukup untuk menenangkan hati yang lelah. Karena kalau Allah sudah bersama kita, apa lagi yang kurang? Saat kerja terasa berat, ayat itu kayak bisikan yang menenangkan: tenang, kamu nggak sendirian.

Maka ilmu bahagia bukan teori psikologi atau strategi organisasi semata. Ia adalah cara hidup yang sederhana: bekerja dengan makna, berbagi dengan cinta, dan berjalan dengan keyakinan. Ilmu yang nggak berhenti di kepala, tapi menetes ke hati lalu menggerakkan tangan untuk memberi manfaat.

Barangkali kebahagiaan sejati bukan saat semua rencana berjalan mulus, tapi saat kita sadar: setiap langkah kecil yang kita ambil, kalau diniatkan dengan tulus ikhlas, selalu disertai oleh-Nya.

Stay Relevant!


Biar Nggak Lupa:

  1. Bahagia itu bukan hadiah, tapi cara kita memaknai kerja. ICMI nggak butuh banyak rapat, yang dibutuhkan cuma suasana yang bikin hati hangat.
  2. Flow itu bukan kerja tanpa henti, tapi saat kita larut di hal yang kita cintai. Di situ capek terasa ringan, dan lelah berubah jadi makna.
  3. Kualitas hidup organisasi bukan soal fasilitas, tapi seberapa tulus kita saling dengerin, saling muji, dan saling ngejaga semangat.
  4. Work–life balance? Nggak harus liburan jauh. Kadang cukup bikin kerja sosial terasa kayak pulang ke rumah sendiri.
  5. “La tahzan, innallāha ma‘anā.” Selama niatnya lurus dan ilmunya dibagi, Allah nggak pernah jauh dari orang yang kerja dengan hati tenang.

Referensi:

  • APQC. (2025). Knowledge management priorities report 2025. APQC Publications.
  • Cooperrider, D. L., & Srivastva, S. (1987). Appreciative inquiry in organizational life. Research in Organizational Change and Development, 1, 129–169.
  • Csikszentmihalyi, M. (1990). Flow: The psychology of optimal experience. Harper & Row.
  • Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (Global ed.). Pearson.
  • Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A visionary new understanding of happiness and well-being. Free Press.



Scroll to Top