Hari Anak Nasional: Saatnya Orang Tua Belajar Dewasa

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Hari Anak Nasional: Saatnya Orang Tua Belajar Dewasa

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya

“Hari Anak Nasional bukan hanya tentang anak—tapi tentang orang tua yang belum dewasa. Saatnya refleksi, bukan sekadar perayaan.”

Dalam peringatan Hari Anak Nasional 2025 di Bundaran HI, Jakarta (20 Juli 2025), Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan keprihatinannya terhadap kurangnya kematangan emosional orang tua (Hidayatullah.com). “Banyak orang tua yang dewasa secara umur, namun childish secara kepribadian,” ungkapnya. Sebuah kalimat yang jujur dan terdengar tajam. Karena di tengah hingar-bingar kampanye perlindungan anak, kita lupa: siapa yang sebenarnya perlu dibina dulu—anak, atau orang tuanya?

Coba lihat linimasa kita. Kasus anak dipukul, anak dipermalukan di media sosial oleh orang tuanya sendiri, atau yang lebih menyedihkan—anak disuruh mengurus emosi ibu atau ayahnya yang sedang “burnout”. Ini bukan dongeng. Ini fakta sehari-hari. Dan seringkali, pelakunya adalah mereka yang seharusnya jadi pelindung utama: orang tua.

Kasus seperti ini bukan hanya soal marah sesaat. Ia adalah pola. Orang tua yang tidak stabil emosinya akan cenderung bertindak impulsif, tidak konsisten, dan egois. Menurut Dobrić & Patrić (2024), ada empat tipe orang tua yang secara emosional tidak matang: si emosional yang meledak-ledak, si perfeksionis yang penuh tuntutan, si pasif yang membiarkan semua berlalu, dan si penolak yang bahkan tak sudi hadir secara emosional. Semua tipe ini punya benang merah: anak tidak merasa dicintai dengan aman. Anak menjadi takut dan gelisah.

Mari kita buka teori psikologi, pertama, Singh & Bhargava (1990) menjelaskan kematangan emosional bukan sekadar tidak menangis atau tidak marah. Tapi mampu mengelola emosi, bersikap stabil dalam tekanan, dan—ini yang penting—mampu membina hubungan sehat dengan orang lain, termasuk anak. Lalu kenapa banyak orang tua gagal di situ? Jawabannya bisa jadi ada di teori inner child.

Menurut psikologi humanistik, banyak orang dewasa yang secara emosional belum selesai dengan luka masa kecilnya. Mereka bertumbuh besar, tapi “anak kecil” di dalam diri mereka belum sembuh. Maka ketika mereka jadi orang tua, luka itu masih ada, dan cenderung diwariskan. Bukan karena niat jahat, tapi karena tidak sadar. Inilah pentingnya proses reparenting—belajar menjadi orang tua bagi diri sendiri sebelum menjadi orang tua bagi anak.

Baca juga: Pelatihan Online sdmindonesia.com

Kita perlu berhenti berasumsi bahwa menjadi orang tua, otomatis akan memiliki kemampuan mengasuh. Nyatanya, banyak dari kita menjadi orang tua tanpa pernah belajar mengatur emosi, membangun koneksi, atau mengenali luka dalam diri sendiri. Anak-anak tumbuh besar dalam rumah yang penuh teriakan. Diam-diam anak akan merasa kesepian meski hidup serumah dengan kedua orang dewasanya.

Menurut Singh & Bhargava (1990), orang tua yang matang secara emosional memiliki lima ciri utama: stabilitas emosi, perkembangan emosional, penyesuaian sosial, integrasi kepribadian, dan kemandirian. Orang tua yang tidak mampu mengenali perasaannya sendiri akan kesulitan mengenali perasaan anak. Akibatnya apa? Tentu sangat berisiko, anak justru tumbuh menjadi ‘pengatur emosi’ orang tua—peran yang terlalu berat untuk dipikul oleh jiwa yang masih rapuh.

Dalam jurnal Dobrić & Patrić (2024), digambarkan secara rinci bagaimana tipe-tipe orang tua yang tidak matang secara emosional menciptakan pola interaksi yang tidak sehat. Anak yang diasuh oleh orang tua yang “emosional”, misalnya, harus selalu siaga terhadap perubahan mood. Sementara anak dari orang tua yang “rejecting” (suka menolak) sering merasa keberadaannya mengganggu, sehingga anak tumbuh dengan rasa bersalah yang tak ia pahami.

Dampaknya tidak berhenti di masa kanak-kanak. Anak-anak ini sering tumbuh menjadi remaja yang minder, tidak percaya diri, atau dewasa muda yang tidak tahu bagaimana membangun relasi yang sehat. Mereka sulit menetapkan batas, tidak yakin apakah dirinya layak dicintai, atau justru mengulang pola pengasuhan yang sama ke generasi berikutnya. Sebuah lingkaran setan yang berakar dari satu hal: tidak adanya kedewasaan emosional di generasi sebelumnya. Tentu harus ada upaya konkret untuk memutus rantai lingkaran setan ini.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, keluarga. Orang tua perlu punya keberanian untuk mengakui bahwa mereka tidak sempurna. Membuka diri untuk belajar, belajar meminta maaf, dan memperbaiki cara berkomunikasi dengan anak bukan tanda kelemahan—itu justru bukti kematangan. Yuk segera dimulai.

Kedua, masyarakat. Lingkungan sosial yang mendukung bisa jadi ruang belajar informal bagi para orang tua. Kegiatan posyandu, arisan RT, atau pengajian ibu-ibu bisa disisipi sesi “parenting emosional”, misalnya simulasi mendengarkan anak tanpa menghakimi, membangun empati dan sikap asertif atau diskusi tentang cara mengelola luapan emosi dan amarah.

Ketiga, negara. Pemerintah bisa mendorong lahirnya “desa/kampung/RW/kelurahan ramah anak” yang bukan hanya soal infrastruktur taman bermain, taman baca, tapi juga akses psikolog anak, pendamping keluarga, dan edukasi pengasuhan berbasis bukti. Program seperti Bina Keluarga Balita atau PAUD bisa diperkuat dengan muatan literasi parenting dan kecerdasan emosional bagi orang tua.

Dan jangan remehkan kekuatan cerita. Budaya lokal kita kaya akan kisah-kisah pengasuhan—dari Pak Lebai sampai Bawang Merah Bawang Putih. Cerita-cerita ini bisa dikemas ulang untuk membangun empati, membangun rasa kasih sayang, bukan sekadar dongeng pengantar tidur.

Pada akhirnya, Hari Anak Nasional, 23 Juli 2025, bukan tentang siapa yang paling keras berteriak “Jaga dan lindungi anak!”. Tapi tentang siapa yang berani bercermin, introspeksi, mengakui bahwa menjadi orang tua tidak mudah, perlu lifelong learning, perjalanan seumur hidup untuk belajar dewasa—lagi dan lagi.

Dalam Islam, peran orang tua bukan sekadar memberi nama dan nafkah. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS At-Tahrim: 6). Ini adalah panggilan serius: menjaga keluarga, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional dan spiritual. Artinya, menjadi orang tua harus disertai kematangan dan kedewasaan—bukan hanya umur, tapi juga akhlak dan pengelolaan diri. Karena luka yang tidak disembuhkan dalam diri orang tua hari ini, bisa menjadi warisan paling menyakitkan / menakutkan bagi anak-anak mereka esok hari. Stay Relevant!


Referensi Jurnal:

Dobrić, M., & Patrić, N. (2024). The hidden face of parenting: Emotional immaturity. Journal of Social and Emotional Development, 19(2), 137–151.

Scroll to Top