بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Dari Rapat ke Rasa:
Kenapa Emosi Kolektif Bisa Menentukan Kinerja ICMI
Artikel 5
Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, pemerhati mutu pendidikan
“Rapat bukan sekadar diskusi, tapi ruang menyatukan makna dan rasa. Di situlah ICMI belajar: berpikir bersama, mendengar bersama, dan tumbuh bersama.”
Pernah nonton sinetron? Kadang rapat kita mirip alurnya — ada pembukaan, konflik, klimaks, tapi nggak pernah benar-benar tamat. Di atas kertas semua agenda selesai, tapi di hati masih banyak yang belum nyambung, belum sepakat. Barangkali di situlah persoalan klasik organisasi cendekia seperti ICMI. Kita hebat ngomong ide-ide besar, tapi kadang lupa menata nurani kolektif. Tak jarang juga, rapat berjalan lama tanpa notulen, tanpa catatan pembelajaran. Akhirnya keputusan memang diambil, tapi maknanya tercecer di antara tumpukan agenda.
Padahal organisasi yang isinya orang-orang cerdas justru paling berisiko kehilangan kehangatan. Terlalu banyak pendapat, teori dan analisis, tapi sedikit apresiasi. Terlalu banyak rencana, tapi minim rasa. Rapat pun sering jadi tempat menyalurkan pikiran, bukan menyatukan hati. Seperti kata Karl Weick dalam bukunya Sensemaking in Organizations (1995), organisasi itu hidup bukan karena struktur yang rapi, tapi karena proses sensemaking — cara orang-orang di dalamnya memahami kenyataan secara bersama. Jadi rapat yang ideal itu bukan cuma menjawab “apa keputusan kita,” tapi juga “apa makna dari semua ini.”
Di masa awal ICMI, B. J. Habibie paham betul soal itu. Nalurinya sebagai insinyur bertemu jiwanya sebagai pemimpin. Ia nggak cuma mengumpulkan cendekiawan buat berpikir, tapi juga buat saling mendengarkan. Buat Habibie, ICMI adalah brain trust — tempat di mana ide ketemu dengan hati nurani. Ia tahu ilmu nggak akan hidup tanpa ruang dialog. Karena itu, setiap pertemuan selalu punya semangat mendengar dan berbagi, bukan berdebat apalagi bersaing. Inilah sensemaking dalam bentuk paling sederhana: saling memahami dari hati ke hati supaya langkah organisasi terasa satu irama.
Rapat yang baik itu kayak Wi-Fi, sinyalnya kuat, koneksinya lancar, dan kalau semua sibuk sendiri ya pasti disconnect. Kedengarannya lucu, tapi sebenarnya ini nyambung banget dengan teori Collective Emotion dari Sigal Barsade dan Donald Gibson (1998). Mereka bilang, suasana hati bersama atau collective emotion bisa ngaruh banget ke kinerja tim. Kalau rapat diwarnai kehangatan, humor ringan, dan empati, emosi positifnya bakal menular dan bikin kolaborasi jadi hidup. Tapi kalau rapat tegang, penuh ego, dan maunya menang sendiri, energi kolektifnya pelan-pelan mati, meski keputusan sudah diambil.
Nah, di sinilah pentingnya teori itu buat ICMI. Semangat cendekia nggak bakal tumbuh di udara dingin. Ia butuh suasana yang hangat — tempat orang merasa dihormati dan dihargai. Gagasan seperti itu dulu diperjuangkan oleh Imaduddin Abdulrahim, atau yang akrab kita kenal Bang Imad. Menurut catatan Yudi Latif (2012) dalam buku Intelegensia Muslim dan Kuasa, Bang Imad memandang organisasi Islam bukan sekadar wadah politik atau struktur formal, tapi rumah dialog — tempat yang menumbuhkan keberanian berpikir dan kebebasan berbagi gagasan.
Bang Imad percaya, ilmu hanya akan hidup kalau ada ruang untuk saling mendengar. Karena itu, bagi beliau, rapat seharusnya bukan ajang siapa paling pintar bicara, tapi siapa paling tulus mendengarkan. Itulah bentuk emosi kolektif yang sesungguhnya — tenang tapi dahsyat, lembut tapi menggerakkan. Seperti dicatat Yudi Latif, tradisi intelektual dan dialog terbuka yang dibangun Bang Imad di Masjid Salman ITB kemudian mengilhami lahirnya ICMI, wadah tempat para cendekia lintas generasi bisa berpikir bersama, berdebat dengan santun, dan tumbuh dalam suasana saling percaya.
Dari hasil refleksi, ngobrol santai sambil ngopi dengan teman-teman, sampai diskusi internal yang lebih serius, kelemahan ICMI dalam hal ini cukup kelihatan. Berdasarkan analisis SWOT, persoalan utamanya ada di komunikasi pusat–daerah yang masih minim, plus belum ada sistem knowledge management yang kuat. Banyak pengalaman berharga di lapangan nggak sampai ke pusat, sementara ide dari pusat kadang nggak sepenuhnya dipahami di daerah.
Fishbone diagram juga menunjukkan akar masalah yang mirip-mirip, budaya rapat yang terlalu formal, ruang mendengar yang sempit, dan nggak ada feedback loop yang hidup. Rapatnya jalan, tapi pengetahuannya mandek di notulen. Ide-ide bagus kadang muncul, tapi cepat tenggelam sebelum sempat jadi pelajaran bareng.
Mungkin sudah waktunya ICMI membuka cara berpikir yang lebih cair. Coba hidupkan lagi sesi brainstorming kayak yang dulu diperkenalkan Alex Faickney Osborn — biar ide mengalir tanpa takut disalahkan. Atau pakai semangat design thinking ala David Kelley dan Tim Brown dari IDEO: mulai dari empati, lalu bareng-bareng merancang solusi nyata dari cerita lapangan. Kadang satu ide kecil yang didengar dengan tulus bisa jauh lebih berharga daripada seribu laporan yang dibacakan tanpa rasa.
Kita harus yakin bahwa setiap kelemahan itu undangan untuk berbenah. Dengan sedikit perbaikan, rapat bisa jadi mesin pembelajaran kolektif. ICMI cuma perlu balik ke fitrahnya: komunitas pembelajar yang hidup dari rasa ingin tahu, rasa percaya, dan rasa memiliki. Di situ organisasi bukan cuma tempat bicara, tapi tempat tumbuh bareng.
Konsep Knowledge Management versi ICMI ada di sana — bukan dalam sistem digital yang kaku, tapi dalam tradisi mendengar dan menafsirkan bareng. Setiap kali pengurus cerita dan yang lain mendengarkan dengan empati, sebenarnya ICMI sedang mengelola pengetahuan paling berharga: pengalaman manusia. Itulah ilmu yang nggak disimpan di server, tapi di hati para cendekia.
Meski begitu, di setiap forum pasti ada saja orang yang terlalu dominan — yang ngomong terus tanpa jeda, seolah semua keputusan lahir dari suaranya. Orang seperti ini nggak perlu disalahkan, tapi perlu belajar menahan diri. Karena mendengar itu bentuk kecerdasan yang lebih tinggi dari berbicara. Dalam organisasi yang matang, setiap kata punya waktu, dan setiap suara punya giliran. Rapat yang sehat bukan yang paling ramai, tapi yang paling saling mendengarkan.
Sebagai sumbangsih pemikiran, ada beberapa langkah kecil yang bisa dicoba. Misalnya bikin “Rapat Rasa” — format yang diawali bukan dengan laporan, tapi refleksi ringan. Cukup satu pertanyaan sederhana: “Apa hal paling bermakna minggu ini di wilayah atau tim kita?” Pertanyaan kecil ini bisa membuka ruang empati sebelum logika bekerja, menghangatkan suasana sebelum keputusan dibuat.
Lalu tambahkan Notulen Makna di setiap pertemuan: satu paragraf pendek di akhir notulen yang mencatat bukan cuma hasil, tapi juga hikmah dan suasana forum. Supaya setiap pengalaman nggak hilang begitu saja, bangun ICMI Story Hub — wadah digital yang ngumpulin kisah inspiratif, inovasi daerah, atau pengalaman unik yang bisa dipelajari lintas wilayah. Datanya bisa nyambung dengan sistem knowledge management, biar gampang diakses pengurus lain — di orwil, orda, atau orsat. Jadi pengetahuan nggak berhenti di satu meja, tapi ngalir ke seluruh jaringan organisasi.
Selain itu, ICMI juga bisa lanjutkan tradisi Moderator Bergilir, supaya setiap daerah punya kesempatan memimpin rapat dan merasakan posisi “didengar.” Dari situ bakal tumbuh rasa saling memahami yang lebih kuat. Dan tentu masih banyak ide lain yang bisa dikembangkan. Kuncinya sederhana: mari saling mendengar. Karena dari mendengar, pengetahuan tumbuh, rasa terhubung, dan ICMI menemukan lagi jiwanya sebagai rumah ilmu dan rumah rasa.
Langkah-langkah kecil ini memang sederhana, tapi sejalan dengan prinsip sensemaking Weick: makna besar lahir dari percakapan kecil yang dilakukan terus-menerus. Juga nyambung dengan temuan Barsade, bahwa suasana hati kolektif jauh lebih berpengaruh daripada struktur formal. Organisasi bukan mesin; ia berdenyut karena hubungan antar-manusia di dalamnya.
Habibie pernah bilang, ilmu dan iman harus berjalan beriringan. Dalam konteks ICMI, ilmu adalah struktur berpikir, iman adalah struktur rasa. Keduanya bikin harmoni, organisasi yang berpikir tajam tapi tetap berjiwa lembut. Kalau Habibie adalah akalnya ICMI, maka Bang Imad adalah jiwanya. Saat dua arus itu bersatu, ICMI nggak cuma cendekia dalam logika, tapi juga arif dalam rasa.
Hikmah dalam Islam bukan cuma kumpulan pengetahuan, tapi cahaya yang menuntun cara berpikir dan berperasaan. Rapat yang dijalankan dengan niat tulus dan rasa empatik sebenarnya sedang menumbuhkan hikmah itu. Ilmu yang nggak berhenti di kepala, tapi mengalir ke hati dan berbuah jadi tindakan. Saat pengurus ICMI duduk bersama, mendengar tanpa menghakimi, dan mencari makna di balik perbedaan, di situlah organisasi berubah jadi majelis ilmu — tempat ilmu bertemu kasih, dan kecerdasan bertemu keikhlasan.
Allah berfirman, “Barang siapa diberi hikmah, maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak.” (QS. Al-Baqarah [2]: 269). Ayat ini mengingatkan kita bahwa keberhasilan sejati bukan diukur dari banyaknya program atau panjangnya notulen, tapi dari kebaikan yang tumbuh di prosesnya. Kalau rapat bisa jadi ruang saling memahami, setiap keputusan pasti mengandung barakah. Kalau ilmu dibagikan dengan kasih, organisasi pun jadi ladang pahala. Dan kalau rasa jadi bahasa utama di antara para cendekia, ICMI bukan sekadar lembaga intelektual — tapi taman hikmah, tempat ilmu tumbuh bersama akhlak, dan kebaikan mengalir seperti cahaya yang nggak pernah padam.
Stay Relevant! +
Biar Nggak Lupa:
- Rapat yang baik bukan cuma soal bicara, tapi soal mendengar. Kadang satu telinga yang tulus bisa lebih berguna dari seribu kata yang pintar.
- Dari Habibie kita belajar, ilmu yang nggak diiringi dialog dan rasa saling percaya cuma berhenti di kepala, belum sampai ke hati.
- Dari pemikiran Bang Imad kita paham, organisasi Islam akan hidup kalau jadi ruang aman untuk berpikir dan berbagi, bukan ajang siapa paling hebat bicara.
- Sensemaking itu bukan teori rumit; intinya sederhana: duduk bareng, ngobrol jujur, dan mencari makna bersama dari pengalaman yang beragam.
- Rapat yang penuh empati dan rasa hormat adalah ladang hikmah. Di sanalah ilmu berubah jadi cahaya, dan organisasi tumbuh bukan dari struktur, tapi dari hati yang saling terhubung
Daftar Pustaka
- Barsade, S. G., & Gibson, D. E. (1998). Group emotion: A view from top and bottom. In D. Gruenfeld (Ed.), Research on managing groups and teams (Vol. 1, pp. 81–102). JAI Press.
- Barsade, S. G., & Gibson, D. E. (2007). Why does affect matter in organizations? Academy of Management Perspectives, 21(1), 36–59.
- Habibie, B. J. (2006). Detik-detik yang menentukan: Jalan panjang Indonesia menuju demokrasi. The Habibie Center.
- Latif, Y. (2012). Intelegensia Muslim dan kuasa: Genealogi cendekiawan Muslim Indonesia abad ke-20. Mizan.
- Osborn, A. F. (1953). Applied imagination: Principles and procedures of creative problem solving. Charles Scribner’s Sons.
- Weick, K. E. (1995). Sensemaking in organizations. Sage Publications.