بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Dari Habibie ke Generasi Z:
Evolusi Kepemimpinan Cendekia di Tubuh ICMI
Artikel 1
Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, pemerhati mutu pendidikan
“Kepemimpinan ala Habibie hidup lagi di era digital: belajar tanpa henti, beradaptasi, dan memimpin generasi baru dengan hati dan pengetahuan.“
Kalau bicara tentang ICMI, nama B.J. Habibie hampir selalu jadi pintu masuk. Ia bukan sekadar pendiri, tapi penanda zaman. Dari tangannya, banyak orang belajar bahwa ilmu dan iman tidak harus berdiri di dua kubu yang berbeda. “Kalau saya disuruh pilih seratus persen imtak atau seratus persen iptek, saya mau dikasih dua-duanya agar seimbang,” kata Habibie suatu kali. Kalimat sederhana itu sebenarnya fondasi dari kepemimpinan yang berbasis pada pembelajaran: terus mencari keseimbangan, terus menata arah, terus belajar tanpa henti. Never stop learning.
B.J. Habibie memimpin bukan dengan teriakan, tapi dengan keteladanan. Ia membangun budaya belajar di sekelilingnya. Dalam konsep learning organization seperti yang dijelaskan oleh Peter Senge dalam bukunya The Fifth Discipline (1990), organisasi yang sehat adalah yang terus belajar bersama, karena setiap orang di dalamnya sadar bahwa belajar bukan tugas, tapi kebutuhan. Pemimpin dalam organisasi seperti itu tidak merasa paling tahu atau paling pintar. Ia justru menciptakan ruang bagi orang lain untuk tumbuh, mendengar ide dan gagasan baru, dan membiarkan pengetahuan mengalir bottom-up dari bawah ke atas. Gaya seperti ini yang sering disebut sebagai learning leadership: memimpin dengan belajar, dan belajar dengan memimpin.
Tapi zaman B.J. Habibie sudah lewat. Sekarang kita hidup di masa yang disebut para pakar sebagai era disrupsi, era gonjang ganjing, ketika perubahan datang lebih cepat dari rencana. Dunia kerja, cara berpikir, bahkan mindset bisa ikut bergeser karena teknologi dan informasi yang tak henti-hentinya datang. Ronald Heifetz dan Marty Linsky dalam bukunya Leadership on the Line (2002), menyebut pemimpin masa kini harus punya adaptive leadership: kemampuan untuk bertahan di tengah ketidakpastian, bukan dengan kekuasaan, tapi dengan kapasitas belajar dan menyesuaikan diri. Di titik ini, kepemimpinan ICMI sedang diuji—bukan soal seberapa banyak program yang dibuat, tapi seberapa lincah dan lentur ia membaca tanda-tanda zaman.
Banyak pengurus daerah mungkin merasa bingung harus mulai dari mana. Pusat bicara tentang visi besar, tapi realitas lapangan sering tak sinkron. Dalam kerangka adaptive leadership, perbedaan ini bukan kegagalan, tapi kesempatan untuk berbenah diri, berinovasi. Pemimpin yang adaptif tahu kapan harus mendengarkan, kapan harus mencoba, dan kapan harus mengubah cara-cara lama. Ia tidak sekadar mengulang formula dan strategi yang dulu berhasil, tapi berani bereksperimen untuk menemukan bentuk baru yang sesuai dengan konteks. Itulah seni memimpin di masa disrupsi: tidak terpaku pada peta lama, tapi terus menggambar peta baru bersama timnya.
Sekarang muncul generasi baru, generasi Z. Generasi ini harus dirangkul sebagai kader baru di tubuh ICMI—anak muda yang tumbuh di dunia digital, cepat berpikir, tapi mudah bosan. Ada juga yang menjulukinya generasi stroberi: lembut di luar, rapuh di dalam, tapi segar dan penuh warna kalau tahu cara merawatnya. Gaya memimpin lama yang menuntut loyalitas tanpa ruang dialog sudah tak lagi laku. Gen Z butuh pemimpin yang autentik, yang tidak berjarak, dan mau diajak diskusi. Dalam teori generational leadership seperti yang dijelaskan oleh Neil Howe dan William Strauss dalam bukunya Generations: The History of America’s Future (1991), pemimpin yang efektif adalah mereka yang paham psikologi zamannya. Ia mengubah pola dari instruksi menjadi kolaborasi, dari hierarki birokratis menjadi kemitraan.
ICMI tidak boleh menolak generasi ini. Generasi Z bukan ancaman, mereka cermin dari perubahan dunia. Tugas kita bukan menundukkan mereka, tapi mengajak mereka belajar bareng, duduk bareng, membangun iklim dialogis. Pemimpin ICMI masa kini seharusnya lebih mirip fasilitator—membuka ruang percakapan, memberi arah tanpa menggurui, mengajak berefleksi tanpa menghakimi. Gaya seperti ini mungkin terasa lambat di awal, tapi justru inilah yang membangun kelekatan dan kepercayaan jangka panjang. Anak muda akan loyal kalau merasa didengar, bukan karena disuruh, bukan karena instruksi.
B.J. Habibie dulu membangun pesawat agar bangsa ini bisa terbang tinggi; sekarang tugas ICMI adalah membangun sistem pengetahuan agar bangsa ini tak pernah jatuh. Artinya, setiap organisasi daerah, orda, orsat, setiap pengurus, harus punya kebiasaan berbagi: menulis, merekam, mendokumentasikan, apa pun bentuknya. Karena di era digital, pengetahuan yang tidak dibagikan akan hilang seperti file yang tak tersimpan. Di sinilah roh learning organization menemukan bentuk barunya—bukan hanya di ruang rapat, tapi di cloud, grup WhatsApp, webinar, podcast, dan platform kolaborasi yang memungkinkan ide berpindah tanpa sekat.
Krisis komunikasi pusat-daerah, lemahnya kolaborasi, dan kerapuhan regenerasi yang sering disebut dalam rapat-rapat ICMI, semua sebenarnya berakar di satu hal: kita belum sepenuhnya jadi organisasi pembelajar. Ketika pengetahuan tersimpan di kepala segelintir orang dan tidak diturunkan, maka setiap pergantian pengurus adalah kehilangan sejarah kecil. Padahal, tugas cendekiawan bukan hanya berpikir, tapi juga menuliskan pikirannya agar orang lain bisa paham dan bisa melanjutkan.
Evolusi kepemimpinan cendekia di tubuh ICMI bukan soal mengganti wajah, tapi mengganti cara berpikir. Dari Habibie yang visioner dan teknokrat, menuju generasi baru yang kolaboratif dan reflektif. Dari organisasi yang berpusat pada figur, menuju komunitas yang berpusat pada pengetahuan. Dari rapat yang membahas acara, menuju dialog yang membahas makna dan dampak. Dan semua itu hanya mungkin kalau pemimpinnya punya satu kesadaran sederhana: memimpin adalah bagian dari belajar, dan belajar adalah bentuk paling tinggi dari kepemimpinan.
Pada akhirnya, perjalanan kepemimpinan di ICMI bukan sekadar strategi manajemen, tapi perjalanan ruhani untuk menumbuhkan kesadaran. Allah berfirman: “Rabbi zidni ‘ilma”—“Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu” (QS. Ṭāhā [20]: 114). Ayat ini menjadi doa abadi setiap pemimpin sejati. Bahwa ilmu tidak pernah selesai dipelajari, dan kepemimpinan bukan soal siapa paling tahu, tapi siapa paling rendah hati di hadapan kebenaran. Jika Habibie telah menyalakan lentera ilmu dan iman di zamannya, maka tugas kita hari ini adalah menjaga cahaya itu tetap menyala—bukan hanya di ruang rapat dan forum akademik, tapi di hati setiap cendekia yang memimpin dengan iman dan belajar dengan cinta.
Stay Relevant!
Biar Nggak Lupa:
- Habibie ngajarin satu hal sederhana: iman dan ilmu itu bukan dua jalan yang berbeda, tapi dua sayap yang bikin bangsa ini bisa lepas landas, terbang tinggi.
- Pemimpin sejati bukan yang paling tahu, tapi yang paling mau belajar. Karena belajar itu cara terbaik untuk memimpin dengan hati dan akal.
- Zaman berubah, pemimpin juga harus lentur. Gaya lama yang kaku nggak bisa lagi dipakai di tengah dunia yang serba cepat dan digital.
- Generasi Z bukan ancaman, tapi peluang. Mereka butuh ruang untuk didengar, bukan perintah untuk diam.
- ICMI masa depan cuma bisa kuat kalau jadi organisasi pembelajar. Tempat di mana berbagi pengetahuan jadi kebiasaan, bukan kewajiban.
Daftar Pustaka
- Detik.com. (2017, August 5). Habibie ingatkan pentingnya keseimbangan antara imtak dan iptek.
- Heifetz, R. A., & Linsky, M. (2002). Leadership on the line: Staying alive through the dangers of leading. Harvard Business School Press.
- Howe, N., & Strauss, W. (1991). Generations: The history of America’s future, 1584 to 2069. William Morrow and Company.
- Senge, P. M. (1990). The fifth discipline: The art and practice of the learning organization. Doubleday.
- Twenge, J. M. (2017). iGen: Why today’s super-connected kids are growing up less rebellious, more tolerant, less happy—and completely unprepared for adulthood. Atria Books.