Build Small Plan Big Arsitektur Pesantren

Build Small, Plan Big: Jalan Baru Arsitektur Pesantren

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Build Small, Plan Big:
Jalan Baru Arsitektur Pesantren

Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, pemerhati psikologi arsitektur

“Membangun kecil dengan rencana besar bukan sekadar strategi, tapi cara menanam masa depan di setiap ruang pesantren.”

Pondok pesantren di Indonesia tumbuh seperti pohon di tanah yang penuh berkah. Ada yang berawal dari rumah sederhana, tumbuh dan berkembang pelan-pelan mengikuti jumlah santri; ada pula yang tumbuh dengan rancangan modern dan sistematis. Setiap pondok punya kisah dan iramanya sendiri.

Namun di banyak tempat, kita masih melihat pola pertumbuhan yang berjalan alami — menyesuaikan kebutuhan, bukan perencanaan. Hari ini membangun, esok menambah, lusa memperbaiki. Kadang jadi indah karena gotong royong, tapi juga rawan karena tanpa master plan dan arah yang pasti. Akhirnya, tak sedikit yang lebih sering tambal sulam, terpaksa membongkar bangunan lama, dan memulai dari awal lagi.

Padahal, di balik setiap ruang, tembok dan lantai, ada jiwa yang sedang dibentuk. Ruang di pesantren bukan sekadar tempat tidur dan belajar, tapi wadah tumbuhnya jiwa, akhlak dan kebersamaan. Maka, pembangunan pesantren seharusnya tak hanya berbicara soal dana, tapi juga soal kearifan. Tentang bagaimana ruang dapat mendidik, menenangkan, dan mengajarkan budi pekerti.

Kita sering besar dalam niat, tapi tergesa dalam rencana. Padahal yang ideal adalah keduanya berjalan seimbang: niat yang luhur dan perencanaan yang matang. Bangun sedikit dulu, bertahap, tapi dengan peta besar yang jelas. Tak apa sederhana asal punya arah, master plan untuk jangka panjang.

Membangun ruang tanpa perencanaan ibarat menulis kitab tanpa urutan bab — pesan yang indah bisa hilang di tengah halaman. Dan ketika ruang dibangun tanpa pemahaman perilaku penghuninya, yang tumbuh bukan ketenangan, melainkan kebingungan. Misal, ada pintu yang terlalu pendek, tangga yang curam, atau lokasi jemuran yang mengganggu pandangan mata.

Dalam psikologi arsitektur, ruang bukan sekadar wadah aktivitas, tapi perpanjangan perilaku manusia. Jon Lang, dalam bukunya Creating Architectural Theory: The Role of the Behavioral Sciences in Environmental Design (1987), menyebut bahwa desain yang baik lahir dari pemahaman perilaku penggunanya.

Kalau santri hidup dalam ritme belajar, beribadah, dan berinteraksi setiap hari, maka desain pesantren harus mengikuti irama itu. Ruang yang selaras dengan perilaku membuat penghuni tenang, nyaman, bukan terbebani.

Donald Norman, melalui bukunya The Design of Everyday Things (1988), mengingatkan bahwa desain yang baik adalah desain yang berempati. Ia tidak perlu memukau, cukup membuat penghuninya merasa nyaman dan dihargai. Ventilasi yang lebar, cahaya yang lembut, tempat wudhu yang aman dan tidak licin — hal-hal kecil seperti itu justru membentuk rasa damai.

Di sinilah human-centered design bekerja: arsitektur menjadi bahasa kasih, bukan sekadar struktur. Arsitektur yang berempati bermakna: nguwongno uwong, nyenengno uwong, nggatekno uwong, ora nggelakno. Ruang yang dirancang dengan baik akan membentuk perilaku yang lembut. Ia mengajarkan tertib, sabar, dan saling menghormati “tanpa kata-kata”.

Sementara Robert Sommer dalam karya klasiknya Personal Space: The Behavioral Basis of Design (1969) menekankan bahwa manusia selalu membutuhkan “jarak psikologis” untuk menjaga hati dan keseimbangan jiwa. Pesantren memang dunia kebersamaan, tapi manusia tetap perlu ruang untuk menyendiri, bertafakur, dan menjaga privasi spiritualnya.

Ruang yang terlalu padat dan sesak bisa menimbulkan kejenuhan, konflik dan kehilangan arah. Sedangkan ruang yang memberi jeda seperti ruang pendukung atau area servis akan menumbuhkan rasa hormat dan kesadaran diri. Inilah keseimbangan psikologi ruang — ketika bentuk dan perilaku berjalan dalam satu irama.

Tiga pandangan ini bertemu di satu titik: arsitektur yang berjiwa. Bahwa bangunan bukan benda mati, tapi cermin dari perilaku dan nilai penghuninya. Maka Build Small, Plan Big bukan sekadar strategi membangun pondok — ia adalah upaya membangun kearifan. Kearifan bahwa setiap ruang, sekecil apapun, punya tanggung jawab terhadap jiwa manusia yang tinggal di dalamnya. Sehingga perlu dirancang dengan sebaik-baiknya.

Build Small, Plan Big berarti membangun ruang secara bertahap, tapi dengan visi dan arah besar yang jelas. Setiap dinding, kamar, dan halaman sudah menjadi bagian dari rencana jangka panjang. Bukan asal berdiri, tapi tumbuh dalam kearifan fungsi dan makna.

Ruang yang dirancang dengan baik akan memberi stabilitas psikologis — santri tahu ke mana harus melangkah. Ruang yang baik ikut mendidik disiplin dan tanggung jawab. Sebaliknya ruang yang tumbuh tanpa arah dan visi sering kali boros energi dan dana. Ruang yang tambal sulam, berubah terus-menerus dapat membuat penghuni lelah dan kehilangan orientasi.

Dalam psikologi arsitektur, kondisi ini mendekati apa yang disebut loss of place attachment — saat manusia kehilangan rasa berakar pada ruang tempat ia hidup. Maka perencanaan jangka panjang bukan sekadar efisien, tapi juga menumbuhkan rasa aman, ikatan dan identitas.

Pembangunan pondok yang berjiwa bukan tugas kyai seorang. Ia perlu melibatkan arsitek, ahli teknik sipil, dosen kampus, santri, dan masyarakat. Kyai membawa arah spiritual, arsitek menerjemahkan ke dalam bentuk, ahli teknik menjaga keselamatan, masyarakat menjaga semangat gotong royong. Desain terbaik lahir dari kolaborasi dan kerja sama, bukan dari satu kepala.

Pendekatan ini bisa diterapkan di semua tipe pesantren — tradisional, semi-modern, maupun modern. Yang tradisional bisa memulai dari cek sederhana: ruang mana yang padat, ventilasi mana yang perlu dibuka lebar, akses mana yang bisa ditata ulang, taman mana yang perlu dioptimalkan. Yang modern bisa memperluas visi dengan area hijau, ruang refleksi, dan ruang servis lainnya.

Intinya bukan bentuk, tapi arah. Perencanaan master plan, sebaiknya dimulai sebelum membangun apa pun. Tapi kalau pondok sudah terlanjur berdiri, tak ada kata terlambat. Mulailah menyusun masterplan — dan buat peta jalan untuk 10 – 20 tahun ke depan.

Bisa dibantu oleh tim dari kampus, dari prodi arsitektur. Ini bisa sebagai bagian dari program pengabdian masyarakat. Langkah kecil hari ini bisa mencegah pemborosan besar di masa depan. Dengan cara ini, pondok tumbuh seperti manusia: pelan, sadar, dan berproses. Build Small, Plan Big. Bukan tambal-sulam, tapi bertahap, bermakna dan arah yang pasti.

Sudah pasti kita belum bisa membangun semuanya hari ini. Tapi kalau arah sudah benar, setiap bata yang kita letakkan memberi ketenangan. Perencanaan yang matang bukan sekadar strategi duniawi, tapi tanda kearifan.

Sebagaimana Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS. Al-Hasyr [59]:18).

Ayat ini mengingatkan kita bahwa berpikir ke depan adalah bagian dari iman. Bahwa menyiapkan bangunan dan ruang untuk generasi mendatang sama nilainya dengan menanam amal yang tidak lekang waktu. Setiap pondok yang dibangun dengan ilmu, amal dan kasih adalah bentuk syukur kepada Allah — dan bentuk cinta kepada masa depan umat.

Build small, plan big. Mulai kecil, tapi berpikir besar. Karena di setiap fondasi, lantai dan dinding yang dirancang dengan kearifan, ada masa depan yang sedang dibangun, tumbuh berlahan — dalam bentuk ilmu, akhlak, dan ketenangan.

Stay Relevant!


Daftar Pustaka

  • Lang, J. (1987). Creating architectural theory: The role of the behavioral sciences in environmental design. Van Nostrand Reinhold.
  • Norman, D. A. (1988). The design of everyday things. Basic Books.
  • Sommer, R. (1969). Personal space: The behavioral basis of design. Prentice-Hall.


Scroll to Top