ICMI dan Budaya Organisasi

Budaya Organisasi ICMI: Antara Warisan dan Inovasi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Budaya Organisasi ICMI:
Antara Warisan dan Inovasi

Artikel 3

Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, pemerhati mutu pendidikan

“ICMI bukan sekadar organisasi cendekia, tapi rumah pengetahuan yang hidup lewat budaya berbagi, silaturahim, dan semangat belajar bersama.”

Yen tak pikir pikir, organisasi itu bisa diumpamakan seperti manusia. Ia bisa cerdas, punya banyak potensi, tapi kalau tidak punya habit belajar, cepat atau lambat, organisasi akan tulalit juga, kehilangan arah, dan menjadi tidak relevan. Begitu juga dengan ICMI. Lahir dari semangat besar para cendekiawan muslim, ICMI membawa warisan nilai yang luhur: keislaman, keilmuan, keindonesiaan, dan keterbukaan. Nilai-nilai ini tertulis jelas dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ICMI 2021–2026, tapi dikhawatirkan nilai-nilai itu berhenti di teks. Banyak pengurus daerah tahu nilai itu penting, namun bingung bagaimana menerapkannya dalam kerja sehari-hari.

Budaya organisasi ICMI sebenarnya punya fondasi kuat. Sejarahnya mencatat bahwa ICMI dibentuk untuk menyatukan kaum cendekia agar ilmu dan iman bisa berjalan seiring. Dawam Rahardjo dalam Visi dan Misi ICMI (2018) menulis bahwa ICMI didirikan agar kaum terdidik Islam tidak hanya berpikir, tapi juga membangun bangsa secara nyata. Artinya, ICMI bukan sekadar organisasi, tapi gerakan nilai.

Namun seiring waktu, budaya dan nilai-nilai diatasi berisiko melemah. Komunikasi pusat–daerah terasa berat, pengetahuan tidak mengalir dua arah, dan banyak pengalaman berharga hilang bersama pergantian pengurus. Daerah sering meraba-raba kebijakan pusat, sementara pusat juga tidak selalu tahu apa yang diperjuangkan di daerah.

Masalah ini bukan sekadar teknis, tapi kultural. Schein dalam Organizational Culture and Leadership (2010) menjelaskan bahwa budaya organisasi adalah kumpulan asumsi dan kebiasaan yang diwariskan bersama untuk memaknai tindakan. Ketika organisasi tidak punya sistem untuk menyimpan dan berbagi pengetahuan, ia kehilangan ingatan kolektif. Tanpa ingatan itu, setiap periode kepengurusan seperti memulai dari nol. Inilah yang sering disebut para ahli manajemen sebagai corporate amnesia—penyakit organisasi yang lupa pada pengalamannya sendiri.

Kalau mau jujur, ICMI dulu pernah punya “DNA berkarya” yang luar biasa. Dari tangan dan pikiran para pakar dan cendekiawan lahir Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang menggerakkan ekonomi umat dari bawah, dan Bank Muamalat sebagai simbol kebangkitan ekonomi Islam modern. ICMI juga melahirkan program beasiswa ORBIT yang membuka jalan bagi ribuan anak muda hingga S3, serta menjadi think tank kebijakan publik di masa transisi demokrasi. Semua itu bukan cuma catatan sejarah, tapi bukti bahwa budaya organisasi ICMI pernah hidup, pernah memberi warna — budaya yang berpikir, berjejaring, dan berkarya nyata.

Namun budaya seperti itu tidak bisa bertahan tanpa knowledge management yang kuat. Dulu, setiap program besar lahir dari kolaborasi ide lintas bidang, bukan hanya keputusan rapat. Ada semangat berbagi pengetahuan dan silaturahim yang hidup: orang dari daerah datang ke pusat bukan untuk minta arahan, tapi untuk berbagi temuan dan data lapangan. Budaya inilah yang perlu dihidupkan kembali — budaya yang menjadikan pengetahuan sebagai warisan bersama, bukan milik pribadi atau periode kepengurusan.

ICMI sebenarnya sudah berupaya membangun ingatan kolektif lewat berbagai program, salah satunya National Leadership Camp (NLC) yang digagas untuk menanamkan nilai-nilai ke-ICMI-an, kepemimpinan dan kolaborasi lintas daerah. Program ini penting, karena menjadi ruang temu antarkader dari berbagai wilayah. Namun, pertanyaannya: apakah program NLC sudah cukup memadai? Jumlah peserta yang terbatas dan waktu pelaksanaan yang relatif singkat membuat dampaknya belum menjangkau seluruh ekosistem ICMI. Pengalaman dan pengetahuan yang lahir dari kegiatan semacam ini sering berhenti di ruang seminar, belum terhubung ke sistem pengetahuan organisasi yang lebih luas. Jika hasil-hasilnya bisa didokumentasikan dan dibagikan ke seluruh daerah, NLC tidak hanya menjadi acara tahunan, tapi menjadi bagian dari memori hidup ICMI — tempat setiap generasi belajar dari pengalaman para tokoh sesepuh, generasi sebelumnya.

Di sinilah pentingnya knowledge management (KM). Nonaka dan Takeuchi dalam The Knowledge-Creating Company (1995) menegaskan bahwa pengetahuan harus terus diciptakan, dibagikan, dan diinternalisasi agar organisasi hidup dan terus berkembang.

Pengetahuan bukan arsip, tapi energi yang bergerak. ICMI perlu menumbuhkan budaya yang memastikan pengetahuan tidak menguap, tapi mengalir: dari pusat ke daerah, dari senior ke muda, dari pengalaman ke pembelajaran. Setiap kegiatan harus menjadi sumber belajar, setiap kegagalan menjadi sumber pengetahuan baru. Inilah wujud nyata KM dalam budaya ICMI.

Implementasi KM di ICMI bisa dimulai dengan langkah-langkah sederhana: mendokumentasikan kegiatan, membuat repositori digital, dan mengadakan sesi berbagi antarwilayah. Namun yang lebih penting, KM harus hidup dalam kebiasaan, menjadi habit rutin: mencatat pengalaman, saling memberi umpan balik, dan tidak boleh pelit berbagi. Ketika setiap pengurus merasa bahwa ilmu yang ia miliki adalah amanah untuk diteruskan, maka budaya KM telah menemukan jantungnya.

Prof. Arif Satria, Ketua Umum ICMI, pernah mengingatkan bahwa ICMI harus menjadi inspirator dalam proses pembelajaran dan pendorong perubahan yang lebih baik. Organisasi ini, menurut beliau, harus satu frekuensi dengan perubahan dan perbaikan di tubuh umat Islam. Itu bukan sekadar pesan motivasi, tapi arah baru: ICMI harus menjadi learning organization. Peter Senge dalam The Fifth Discipline (1990) menyebutnya sebagai organisasi yang belajar dari pengalaman dan menyesuaikan diri terus-menerus. Dalam konteks ICMI, artinya setiap pengurus harus siap untuk berperan ganda menjadi pembelajar dan pengajar sekaligus.

Robbins dalam Organizational Behavior (2024) menulis bahwa budaya positif tumbuh dari kepercayaan, keterbukaan, dan semangat belajar bersama. Salah satu cara menumbuhkan keterbukaan itu adalah dengan membangun komunikasi yang sehat. Model Johari Window yang dikembangkan oleh Joseph Luft dan Harry Ingham bisa menjadi inspirasi. Konsep ini mengajak setiap anggota untuk membuka “daerah terbuka” dalam komunikasi—memberi informasi tentang diri, menerima umpan balik, dan mengurangi area tersembunyi. Dengan cara itu, komunikasi dalam ICMI bisa menjadi lebih jujur, saling membangun trust, dan berorientasi pada pembelajaran, bukan formalitas, bukan seremonial.

Dalam budaya ICMI, keterbukaan bisa diwujudkan lewat tradisi silaturahim dan saling berkunjung antarwilayah. Ungkapan Ulama Jawa Timur K.H. Ihya’ Ulumiddin yang cukup menarik (bahasa jawa): ngowongno uwong, nyenengno uwong, nggatekno uwong, ora ngelakno. Ini bentuk sikap yang sangat baik untuk dipraktikkan dalam kehidupan organisasi.

Budaya silaturahim bukan sekadar agenda seremoni, tetapi bentuk komunikasi hidup. Dengan saling bertemu, pengurus bisa berbagi praktik baik (best practice), mendengar langsung pengalaman daerah lain, menyusun praktik ke depan (next practice) dan memperkuat ikatan emosional organisasi. Budaya silaturahim inilah yang memperluas “daerah terbuka” dalam Johari Window: dari sekadar kenal menjadi saling membuka diri, saling memahami, dari hati ke hati.

Budaya saling berkunjung juga bagian dari implementasi KM. Pengetahuan tidak selalu ditransfer lewat dokumen, tapi juga lewat percakapan, gesture, ekspresi, mentoring, dan kedekatan antaranggota. Nonaka menyebutnya sebagai socialization process—cara paling manusiawi dalam berbagi ilmu. Ketika pengurus pusat mengunjungi daerah bukan hanya untuk sosialisasi dan memberi arahan, tapi untuk berempati, mengenal dan belajar dari pengalaman lokal, di situlah KM berubah dari teori menjadi budaya hidup.

Empat nilai dasar ICMI — keislaman, keilmuan, keindonesiaan, dan keterbukaan — seharusnya menjadi panduan hidup, bukan sekadar isi pasal-pasal dalam dokumen. Keislaman menanamkan integritas, keilmuan mendorong disiplin berpikir, keindonesiaan menjaga empati sosial, dan keterbukaan melahirkan kolaborasi lintas wilayah. Bila keempatnya dijalankan dengan semangat knowledge sharing, InsyaAllah ICMI akan menjadi organisasi yang tangguh dan adaptif.

Teknologi hanyalah alat bantu. Budaya adalah ruh yang membuat alat itu bermakna. Dalam era digital dan kecerdasan buatan, sistem pengetahuan bisa dibangun dengan portal daring, forum virtual, dan arsip kolaboratif. Dalam laporan 2025 Knowledge Management Priorities and Trends dari APQC, aspek people and culture disebut sebagai tantangan terbesar dalam implementasi KM — menunjukkan bahwa teknologi saja tidak cukup; keberhasilan KM sangat bergantung pada budaya berbagi dan kebiasaan belajar.

Nonaka menulis bahwa pengetahuan yang tidak dibagikan akan hilang. Schein menambahkan bahwa budaya yang tidak dihidupkan oleh perilaku akan membusuk. Dua kalimat itu menukik tajam khususnya untuk organisasi seperti ICMI. Sebab ICMI bukan hanya rumah para cendekia, tapi ekosistem pengetahuan umat. Kearifan tidak lahir dari kecerdasan individu, tapi dari semangat berbagi, silaturahim, dan belajar bersama.

Kalau semua pengurus baik pusat dan daerah, mulai dari hal sederhana — mendokumenasikan hasil rapat, menyimpan data di tempat bersama, mengunjungi daerah lain (bisa dengan online), saling berbagi ide, dan tidak pelit cerita — budaya itu akan tumbuh pelan tapi pasti. Ketika berbagi dan berkunjung menjadi norma, ICMI akan berubah dari organisasi berbasis struktur menjadi organisasi berbasis pengetahuan; dari hierarki ke jejaring; dari birokrasi ke kolaborasi. Luar biasa indah.

Organisasi umumnya bisa bertahan karena dana, tapi dengan dana terbatas, organisasi akan berumur panjang karena budaya. Budaya yang sehat menciptakan rasa memiliki — bukan karena jabatan, bukan karena anggaran tapi karena makna. ICMI tidak hanya berdiri untuk mengatur kegiatan, tetapi untuk menyalakan semangat belajar dan kebersamaan. Di dalamnya, ilmu menjadi cahaya, silaturahmi menjadi jembatan, dan kerja kolaboratif menjadi ibadah sosial.

Mari kita jadikan ICMI rumah yang terus hidup oleh 3 hal: pengetahuan, silaturahmi, dan kolaborasi. Setiap pengurus rajin mencatat, setiap anggota rajin berbagi, dan setiap wilayah saling menginspirasi — semuanya adalah bagian dari napas panjang organisasi ICMI.

Sebagaimana firman Allah, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2). Ayat ini bukan sekadar perintah sosial, tapi landasan spiritual bagi budaya organisasi. Ia mengingatkan bahwa kerja sama, keilmuan, dan ketulusan adalah satu kesatuan. Dalam konteks ICMI, ayat ini bisa dibaca sebagai panggilan: agar ilmu tidak berhenti di pikiran individu, tapi mengalir menjadi amal yang menumbuhkan bangsa.

Warisan membuat kita punya akar, inovasi membuat kita punya greget dan punya arah. Maka selama ICMI tetap berpijak pada nilai dan terus belajar dari zaman, ia tidak akan pernah kehilangan napasnya. Ia akan terus tumbuh — dari ruang diskusi ke ruang aksi, dari individu ke ekosistem pengetahuan — menjadi organisasi yang bukan hanya berumur panjang, tapi juga bermanfaat panjang.

Stay Relevant!


Biar Nggak Lupa:

  1. ICMI itu bukan cuma organisasi cendekia, tapi rumah pengetahuan. Tempat ilmu nggak berhenti di kepala, tapi mengalir jadi tindakan nyata.
  2. Budaya organisasi bukan sekadar aturan, tapi kebiasaan yang diulang: mencatat, mendengar, berbagi, dan saling mengunjungi untuk memperkuat silaturahim.
  3. Knowledge management bukan proyek teknologi, tapi cara ICMI menjaga ingatan kolektif—biar setiap generasi nggak perlu mulai dari nol.
  4. Komunikasi yang sehat lahir dari keterbukaan. Johari Window ngajarin: makin banyak kita saling jujur dan terbuka, makin kuat rasa percaya di tubuh ICMI.
  5. Warisan nilai keislaman, keilmuan, keindonesiaan, dan keterbukaan cuma akan hidup kalau dijalankan bersama. Karena warisan itu akar, dan inovasi adalah arah.

Daftar Pustaka

  • APQC. (2025). 2025 Knowledge Management Priorities and Trends Survey Report.
  • Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia. (2021). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ICMI 2021–2026. Bandung: Muktamar VII.
  • Luft, J., & Ingham, H. (1955). The Johari Window: A graphic model for interpersonal relations. University of California Los Angeles.
  • Nonaka, I., & Takeuchi, H. (1995). The Knowledge-Creating Company: How Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation. Oxford University Press.
  • Rahardjo, M. D. (2018, October 29). Visi dan Misi ICMI. Situs resmi ICMI.
  • Robbins, S. P. (2024). Organizational Behavior (Global Edition). Pearson Education.
  • Schein, E. H. (2010). Organizational Culture and Leadership (4th ed.). Jossey-Bass.
  • Senge, P. M. (1990). The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization. Doubleday.


Scroll to Top