Makan Gratis Bergizi

Benarkah Makan Gratis Bikin Anak Lebih Pintar?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Benarkah Makan Gratis Bikin Anak Lebih Pintar?

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Tim Soft Skills SDMIndonesia.com

“Makan gratis bukan jaminan anak pintar. Mutu gizi, keamanan pangan, dan tata kelola yang baiklah yang menentukan masa depan mereka.”

Pertanyaan itu sederhana, tapi menggoda untuk dijawab dengan tergesa. Tentu saja, siapa yang tidak ingin anak-anak makan gratis sekaligus menjadi pintar? Di ruang kelas, perut yang kenyang jelas lebih baik daripada yang keroncongan. Guru mana pun tahu, murid lapar susah diajak belajar, sulit konsentrasi. Tetapi, apakah makan gratis otomatis membuat anak cerdas?

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) ini memang menjalani skala besar dan menyeluruh. Untuk tahun 2026, pemerintah mengalokasikan Rp 335 triliun, yang ditujukan untuk menjangkau 82,9 juta penerima manfaat, mencakup siswa, ibu hamil, serta balita. Sebagian besar anggaran—sekitar Rp 223,6 triliun—dibebankan melalui sektor pendidikan, sisanya dialokasikan ke kesehatan dan fungsi ekonomi. Tujuan mulianya jelas: menurunkan angka stunting, meningkatkan kualitas SDM, sekaligus memutar roda ekonomi rakyat. Namun, seperti biasa, niat baik sering berhadapan dengan kenyataan di lapangan. Sejumlah kasus keracunan massal di berbagai daerah sempat mencoreng program ini. Media internasional seperti The Guardian (21 Januari 2025) dan Al Jazeera (23 Januari 2025) bahkan menyoroti insiden ini sebagai bukti lemahnya pengawasan mutu. Gratis? Ya. Bergizi? Belum tentu. Aman? Masih perlu dipertanyakan.

Di tengah keributan itu, muncul satu pertanyaan yang lebih mendasar: apakah memberi makan gratis benar-benar membuat anak lebih pintar? Mari kita lihat dari kaca mata teori. Theodore Schultz dan Gary Becker, peraih Nobel Ekonomi, memperkenalkan Human Capital Theory. Menurut mereka, kesehatan dan pendidikan adalah bentuk investasi jangka panjang yang menentukan produktivitas. Anak yang mendapat gizi cukup tumbuh lebih sehat, lebih cerdas, dan kelak lebih produktif. Dengan kata lain, memberi makan anak bukan sekadar amal sosial, melainkan strategi pembangunan ekonomi.

Lalu mari kita dengar suara psikologi perkembangan. Jean Piaget dan Lev Vygotsky, dua tokoh penting dalam Cognitive Development Theory, sama-sama menekankan bahwa perkembangan mental anak sangat dipengaruhi kondisi biologis dan lingkungan. Otak butuh energi dan nutrisi agar bisa menyerap pelajaran. Anak yang kekurangan gizi cenderung mengalami hambatan kognitif: konsentrasi rendah, daya ingat lemah, prestasi merosot. Dari sini, jelas bahwa makanan bergizi punya hubungan erat dengan kecerdasan. Tetapi, ingat: yang dibutuhkan adalah gizi, bukan sekadar makanan.

Bukti empiris dari berbagai negara juga memperkuat hal ini. School Feeding Program Evidence yang dievaluasi oleh World Bank (laporan 2024) serta FAO dan UNICEF (2023) menunjukkan hasil yang konsisten: program makan di sekolah meningkatkan kehadiran siswa, menurunkan angka putus sekolah, dan memperbaiki capaian akademik. India adalah contoh paling populer. Program makan siang di sana terbukti membuat anak-anak lebih rajin masuk sekolah, terutama dari keluarga miskin. Tetapi kunci keberhasilan mereka bukan hanya karena makanan dibagikan gratis, melainkan karena mutu terjaga: menu bergizi, distribusi teratur, dan audit publik yang ketat.

Bagaimana dengan Indonesia? Lembaga riset INDEF dalam laporan tahun 2024 mencatat bahwa pilot project MBG memberi efek pengganda yang besar: UMKM mitra rata-rata menambah tiga tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan bersih hingga 33 persen. Artinya, program ini tidak hanya mengenyangkan anak, tetapi juga menggerakkan ekonomi lokal. Namun, Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM INDEF, Izzudin Al Farras, juga mengingatkan: lebih dari 4.000 korban keracunan hingga Agustus 2025 menunjukkan bahwa tanpa pengawasan mutu, semua manfaat itu bisa menguap begitu saja.

Epidemiolog Universitas Airlangga, Laura Navika Yamani, pada Mei 2025 menegaskan bahwa keamanan pangan adalah kunci. Kontaminasi bisa terjadi di setiap tahap rantai pasok: dari bahan mentah, proses memasak, hingga distribusi. Tanpa sistem pengawasan yang ketat, program makan bergizi gratis berisiko berubah menjadi bencana kesehatan massal. Ia bahkan mendorong dibentuknya tim audit pangan independen, agar mutu bisa dijaga di lapangan.

Di sisi lain, ada suara kritikus yang tak kalah nyaring. Mereka menilai anggaran raksasa MBG lebih baik dipakai untuk membuka lapangan kerja. Logikanya sederhana: kalau orang tua punya pekerjaan layak, mereka bisa memberi makan bergizi untuk anaknya tanpa bergantung pada negara. Kritik ini patut didengar, meski tentu tidak harus meniadakan program MBG. Justru seharusnya ada keseimbangan: jangka pendek negara hadir memberi makan, jangka panjang negara hadir menciptakan lapangan kerja.

Di sinilah kita belajar bahwa makan gratis tidak otomatis membuat anak pintar. Gizi yang baik memang syarat penting bagi otak yang sehat. Tetapi kecerdasan lahir dari kombinasi banyak faktor: keluarga yang mendukung, guru yang memotivasi, lingkungan belajar yang kondusif. Makanan bergizi adalah pondasi, bukan satu-satunya bangunan.

Lalu apa hikmah yang bisa kita petik? Pertama, makan gratis harus dipahami bukan sekadar proyek politik, melainkan amanah besar. Kedua, gizi anak adalah investasi jangka panjang yang tak boleh diukur hanya dengan angka anggaran. Ketiga, mutu adalah kunci. Gratis itu hak, tapi mutu adalah martabat.

Maka, apa yang bisa dilakukan? Inovasi harus berani dicoba. Program makan bisa sekaligus jadi kelas gizi, di mana anak-anak diajak mengenal manfaat lauk, sayur, dan protein. Menu bisa disesuaikan dengan pangan lokal: ikan laut di pesisir, jagung di NTT, sagu di Papua. Distribusi bisa diawasi lewat aplikasi digital sederhana yang melibatkan guru dan orang tua sebagai auditor rakyat. Bahkan, perguruan tinggi bisa dilibatkan untuk meneliti dampak program ini pada prestasi akademik. Dan jangan lupa, isu lingkungan juga penting: wadah ramah lingkungan bisa menggantikan plastik sekali pakai agar piring bergizi tak berubah jadi gunungan sampah.

Al-Qur’an mengingatkan dengan sangat sederhana tapi mendalam: “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya” (QS. ‘Abasa: 24). Ayat ini tidak hanya memerintahkan kita untuk makan, tetapi menekankan pentingnya memperhatikan kualitas makanan. Artinya, yang diutamakan bukan sekadar kenyang, melainkan gizi yang baik, aman, dan bermanfaat bagi tubuh.

Program makan gratis pun harus dibaca dalam cahaya ayat ini. Anak-anak kita berhak atas makanan yang layak, bukan sekadar isi perut. Karena dari makanan yang baik, lahirlah tubuh yang sehat, pikiran yang jernih, dan generasi yang cerdas. Dan dari generasi yang cerdas itulah sebuah bangsa akan menemukan masa depannya.

Sebab setiap suap makanan bergizi yang masuk ke mulut anak-anak itu bukan hanya pengisi perut, melainkan doa sunyi untuk lahirnya generasi Indonesia yang lebih kuat, lebih pintar, dan lebih bermartabat.

Stay Relevant!


Daftar Pustaka

  • Al Jazeera. (2025, January 23). Indonesia’s free school meals program under scrutiny after mass poisoning cases. Al Jazeera.
  • Becker, G. S. (1993). Human capital: A theoretical and empirical analysis, with special reference to education (3rd ed.). University of Chicago Press.
  • Cakrawarta. (2025, May 23). Keracunan massal bayangi program makan gratis, Laura Navika Yamani: Jangan biarkan anak jadi korban eksperimen. Cakrawarta.
  • Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), & United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF). (2023). State of school feeding worldwide 2023. FAO & UNICEF.
  • Guardian, The. (2025, January 21). Indonesia’s free school meal scheme sparks health concerns after poisoning incident. The Guardian.
  • Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). (2024). Efek pengganda program makan bergizi gratis. INDEF.
  • Schultz, T. W. (1961). Investment in human capital. The American Economic Review, 51(1), 1–17.
  • Piaget, J. (1952). The origins of intelligence in children. International Universities Press.
  • Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.
  • World Bank. (2024). School feeding programs: Evidence and lessons for developing countries. World Bank Group.

Scroll to Top