Belajar Inovasi dari Warung Kecil

Belajar Inovasi dari Warung Kecil

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

“Belajar inovasi dari warung kecil yang tersembunyi, tapi tak pernah sepi. Di sana, kreativitas tumbuh dari empati, bukan teknologi semata”

Dekat rumah saya, ada penjual rujak cingur—makanan khas Surabaya yang selalu dekat di hati. Tempatnya bukan di pinggir jalan besar, bukan pula di deretan kios-kios strategis. Warungnya justru tersembunyi di ujung perumahan kecil, pojokan yang bahkan ojek online sering kesasar saat pertama kali mencari.

Tapi anehnya, pelanggan beliau tak pernah sepi. Selalu ada saja. Bahkan kadang antre. Anak muda, ibu-ibu, sampai pekerja kantoran rela datang jauh-jauh hanya untuk dibungkus dibawa pulang. Senangnya menikmati satu piring rujak dengan sambal petis yang rasanya “jujur”—tak dimodifikasi buat lidah modern. Lebih menarik lagi: pemesanan bisa lewat WhatsApp. Belakangan, beliau juga masuk ke aplikasi ojek online. Rujak cingur dalam pojok sunyi itu kini bisa sampai ke meja makan siapapun—bahkan yang tinggal di luar kecamatan. Tinggal pesan minta cabe berapa. Kalau saya sih biasa cabe 5, penggemar pedas.

Penjualnya, Bu Narti (nama disamarkan), tidak pernah ikut pelatihan digital online marketing. Dia juga tak tahu apa itu SEO, landing page atau copywriting. Tapi entah kenapa, warung kecilnya tahu caranya bertahan di tengah gempuran zaman. Pelanggan loyal, sistem pesanan fleksibel, pelayanan cepat, rasa konsisten, kebersihan oke. Ini bukan sekadar warung. Ini manajemen inovasi dalam bentuk paling tulus dan sederhana.

Dan di sinilah letak hikmahnya: inovasi tidak harus datang dari gedung tinggi atau ruang startup ber-AC dingin. Kadang, ia bersembunyi di pojok gang sempit, dibungkus daun pisang, dan dikirim dengan niat baik dari dapur yang sempit tapi hangat. Inovasi, ternyata, bisa tumbuh dari dapur kecil seorang ibu rumah tangga yang tahu satu hal: dunia berubah, dan dia harus ikut berubah juga—tanpa kehilangan rasa dan empati.

Baca juga: Kelas Online sdmindonesia.com

Kita sering menyamakan inovasi dengan teknologi canggih, disruptor global, atau konferensi penuh jargon asing. Padahal, inovasi juga bisa muncul dari tekanan sehari-hari: cuaca yang tak menentu, pelanggan yang makin sibuk, atau modal yang serba tipis. Justru di situ kreativitas mekar. Bukan dari kemewahan, tapi dari keterdesakan atau keterpaksaan.

Dalam buku HBR Guide to Unlocking Creativity, disebutkan bahwa kreativitas sejati sering muncul bukan karena visi besar, melainkan karena adanya “constraint” atau keterdesakkan yang mendorong orang berpikir ulang. Dan siapa yang lebih terdesak dari lokasi warung yang tidak strategis, ibu rumah tangga dengan modal kecil, yang mungkin suaminya baru kena PHK?

Contoh kreatifitas tentu ada banyak. Bukan kreatifitas yang negatif, tapi yang bersumber dari empati dan rasa cinta. Seorang penjual soto di Malang yang membungkus kuah dan isinya secara terpisah agar pelanggan bisa panaskan sendiri di rumah. Atau warung kopi yang menyediakan colokan dan WiFi gratis untuk menarik mahasiswa nugas. Inovasi-inovasi kecil, ya, tapi tentu akan punya efek besar. Mereka bukan cuma mempertahankan pelanggan, tapi menciptakan user experience yang sederhana tapi personal—sesuatu yang tak bisa ditiru oleh algoritma.

Dan ini bukan pujian kosong. Ketika dunia kerja makin tidak pasti, ketika robot mulai mengetik artikel, melukis, bahkan menganalisis data, satu hal yang tak bisa digantikan adalah kepekaan manusia: untuk membaca situasi, memahami orang lain, dan menciptakan nilai dari ketidaksempurnaan.

Lihat saja laporan BPS per Juli 2025: Tingkat Pengangguran Terbuka kita masih di angka 4,76 persen—itu artinya lebih dari 7 juta orang belum bekerja. Di sisi lain, perusahaan justru mengeluh kekurangan tenaga kerja yang “adaptif” dan “berinisiatif”. Bukan cuma pintar. Tapi yang bisa cari ide-ide terobosan. Bisa “nyambung”. Bisa… ya, seperti Bu Narti tadi: membaca peluang di sudut pojok rumahnya.

Itulah mengapa Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam pidatonya di Paris, Juni 2025, menegaskan pentingnya pendidikan digital dan inovasi sebagai pilar masa depan Indonesia. Bukan karena itu tren global. Tapi karena kita sudah berada di tengah pusaran. Maka yang kita butuhkan bukan kecepatan mesin, tapi kepekaan manusia. Karena yang bertahan bukan yang paling canggih, tapi yang paling mengerti kebutuhan sesama. Dalam bahasa marketing, yang paling memahami “need & want” konsumen.

Pertanyaannya sekarang: apakah kita siap? Apakah kita akan terus memandang inovasi sebagai milik kaum elit, atau mulai melihatnya sebagai sikap hidup sehari-hari?

Saya percaya, kita bisa belajar dari warung. Dari kesederhanaan yang jujur. Dari keberanian untuk menyesuaikan diri. Dari semangat untuk terus memberi—walau pelanggannya kadang cuma dua orang dalam sehari.

Dan di tengah semua perubahan, ada satu falsafah dari guru saya yang rasanya makin relevan:
nyenengno wong, nguwongno wong, nggatekno wong, ora nggelakno.
Artinya, senangkan orang, perlakukan mereka sebagai manusia, perhatikan mereka, dan jangan membuat mereka kecewa.

Itulah inti dari inovasi yang berkelanjutan. Bukan sekadar teknologi, tapi empati. Bukan soal tren, tapi soal nilai. Bukan hanya soal untung, tapi soal relationship atau keterhubungan.

Dan mungkin itulah yang kita butuhkan hari ini: bukan revolusi besar, tapi langkah kecil yang konsisten. Seperti Bu Narti yang tak pernah menyerah pada keterbatasan. Seperti warung yang tetap buka meski pelanggan belum tentu datang. Mereka tidak menunggu dunia berubah. Mereka menciptakan perubahan dari sudut ruang kecil yang mereka punya.

Karena pada akhirnya, inovasi bukan tentang jadi yang paling hebat. Tapi tentang tetap bertahan ketika orang lain menyerah. Tentang berani mencoba, meski peluangnya kecil. Dan tentang memberi nilai lebih, bahkan ketika tidak ada yang melihat.

Jika kamu bisa memulai itu hari ini—di kantormu, usahamu, atau caramu melayani orang lain—maka kamu sudah berada di jalur yang tepat. Jalur yang mungkin tak cepat viral, tapi dijamin akan bertahan lebih lama.

Dan siapa tahu, suatu hari nanti, orang akan berkata: inovasi paling tulus… dimulai dari café kopi kecil di pojok rumahmu. Stay Relevant!

Scroll to Top