ICMI dan Agile Organization

Belajar dari Habibie: Membangun Pola Pikir Agile di Tubuh ICMI

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Belajar dari Habibie:
Membangun Pola Pikir Agile di Tubuh ICMI

Artikel 2

Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, pemerhati mutu pendidikan

“ICMI tak kekurangan orang pintar, hanya perlu pola pikir agile—sat set das des, tapi tetap berpikir dalam.”

Prof. Arif Satria, Ketua Umum ICMI, pernah mengatakan, “Yang sangat penting dalam menghadapi perubahan adalah kemampuan dalam merespon, bukan kepintaran ataupun kekuatan.” Kalimat ini seperti tamparan halus bagi kita semua. Sebab kalau mau jujur, banyak organisasi, termasuk ICMI, sudah penuh orang pintar tapi kadang lambat merespons. Pintar iya, tapi lincah dan luwes belum tentu. Di dunia yang bergerak super cepat seperti sekarang, respons lebih berharga dari reaksi, dan refleksi lebih penting dari rutinitas.

B. J. Habibie paham betul soal itu. Saat ICMI lahir pada 7 Desember 1990 di Malang, beliau tidak sedang membuat organisasi baru demi pencitraan, jabatan atau gengsi. Ia membangun wadah ilmu untuk seluruh bangsa. Dalam sambutannya, Habibie menegaskan bahwa ICMI berdiri untuk memperbaiki nasib bangsa Indonesia, untuk pembangunan bangsa dan negara. Ia memandang ilmu sebagai ibadah, bukan pajangan gelar. Maka sejak awal, DNA ICMI memang ilmu yang bermanfaat dan pelayanan yang tulus. Bukan teori yang dipajang, tapi aksi nyata yang dapat dirasakan.

Kalau melihat dokumen resmi ICMI, tiga nilai dasarnya jelas: ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, keilmuan dan kecendekiawanan, serta keterbukaan dan kemandirian. Nah, dua kata terakhir—keterbukaan dan kemandirian—itu kuncinya. Stephen Denning dalam bukunya The Age of Agile (2018) menjelaskan bahwa organisasi modern harus bisa cepat, gaspol menghadapi perubahan. Tapi “gaspol” di sini bukan ngawur ngebut, melainkan lincah dan sadar arah. Bergerak cepat, tapi tetap dengan hati-hati. Atau dalam pepatah Jawa yang bisa kita plesetkan sedikit: “Ojo alon-alon kelakon,” tapi cepat dan target mutu tercapai.

Masalahnya, banyak lembaga di Indonesia masih berpikir “yang penting jalan dulu, urusan hasil belakangan.” Padahal dunia tidak menunggu. Jack Mezirow, dalam Transformative Dimensions of Adult Learning (1991), bilang bahwa orang dewasa berubah bukan karena diperintah, tapi karena menyadari bahwa cara berpikirnya sudah tidak cocok dengan dunia baru. Ini yang sering lupa. Kita sibuk bikin program, bikin seminar, tapi jarang merenung: apakah program kerja model 10 tahun yang lalu masih relevan? Masih sesuai dengan tuntutan zaman? Apakah rapat yang panjang itu membawa hasil, atau cuma menambah jumlah tanda tangan di daftar hadir?

Habibie sendiri menunjukkan bagaimana orang bisa tetap sat set das des tapi tetap berpikir dalam. Ia insinyur yang spiritual, ilmuwan yang sekaligus pembimbing. Ia menggabungkan ketelitian teknologi dengan kelembutan iman. Di tangan Habibie, inovasi bukan sekadar eksperimen ilmiah, tapi juga latihan kesabaran dan tanggung jawab moral. Maka kalau ICMI ingin bangkit, hidup kembali seperti dulu—penuh energi, penuh ide—kuncinya bukan menambah aturan, tapi menyalakan semangat belajar yang cepat merespons dan melayani.

Robert K. Greenleaf dalam Servant Leadership (1970) menjelaskan, pemimpin sejati bukan yang paling kuat, tapi yang paling siap melayani. Habibie memimpin dengan cara itu. Ia memberi ruang bagi generasi muda untuk tampil, bahkan ketika banyak yang meragukannya. Ia sadar, membesarkan bangsa tidak bisa sendirian. Di titik ini, ICMI perlu meniru bukan hanya pikirannya, tapi cara beliau memuliakan ilmu dengan melayani orang lain. Kalau semua pengurus ICMI bisa berpikir “bagaimana saya bisa membantu,” bukan “apa posisi saya,” maka organisasi ini bisa melesat terbang lebih jauh.

Tapi melayani saja tidak cukup, bila tanpa arah. Carol Weiss dalam Theory of Change for Social Programs (1995) menekankan bahwa perubahan sejati harus bisa ditelusuri logikanya. Harus ada hubungan antara kegiatan, hasil, dan dampak. Dalam bahasa sederhana: jangan cuma bikin acara, tapi pastikan ada dampak dan perubahan perilaku sesudahnya. Misalnya, setelah seminar, apakah peserta jadi bergerak, termotivasi, atau cuma menambah tumpukan sertifikat? Pola pikir agile selalu menanyakan why di setiap aktivitas. Bukan curiga, tapi ingin memastikan energi dan semangat kita dipakai di tempat yang tepat.

Dan agar semua ini hidup, ICMI perlu memperkuat kembali kultur yang sudah ada: kolaboratif. Habibie dulu mempersatukan cendekiawan lintas kampus, profesi, pusat-daerah, bahkan pandangan politik. Ia menciptakan ruang diskusi yang nyaman untuk berpikir, bukan bertanding. Inilah wujud dari masyarakat madani yang dicita-citakan ICMI—masyarakat yang tidak hanya cerdas, tapi juga adil dan beradab. Kita boleh berbeda pendapat, tapi tetap satu tujuan: memperbaiki bangsa lewat ilmu dan akhlak.

Kini, tantangan ICMI bukan lagi kekurangan ide, tapi menjaga semangatnya agar tetap gaspol di jalur yang benar. Jangan sampai energi besar hilang karena koordinasi lambat. Kita masih sangat lemah di knowledge management. Dunia digital menuntut ICMI untuk sat set das des dalam komunikasi dan dokumentasi. Kalau dulu Habibie membangun pesawat agar Indonesia bisa terbang tinggi, sekarang saatnya kita membangun kembali sistem pengetahuan agar ICMI bisa terbang jauh. Bukan dengan sayap mesin, tapi dengan sayap kolaborasi.

Dalam Islam, Allah mengingatkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 148: “Fastabiqul khairat” — berlomba-lombalah dalam kebaikan. Karena yang diminta bukan hanya cepat melangkah, tapi cepat memberi manfaat. Pola pikir agile sejati adalah semangat untuk terus memperbaiki diri, mempercepat kebaikan, dan mengubah niat baik menjadi hasil nyata. Habibie telah menunjukkan bahwa berpikir cepat tapi tetap santun, tanpa kehilangan adab.

Maka, kalau ICMI ingin kembali relevan, kita tidak perlu menunggu instruksi dari pusat atau panduan tebal dari panitia. Mulailah dari kesadaran kecil di setiap pengurus pusat dan daerah: untuk terus belajar, beradaptasi, dan melayani. Karena dalam perlombaan kebaikan ini, yang menang bukan yang paling keras bersuara, tapi yang paling konsisten bekerja. Dan kalau ICMI bisa melangkah dengan cara itu—ojo alon-alon kelakon, tapi cepat, tepat, dan penuh makna—maka Habibie tidak akan pernah benar-benar pergi. Ia hidup dalam setiap langkah kecil kita yang menuju perbaikan besar, sat set das des, menuju Indonesia yang cerdas dan beradab.

Stay Relevant!


Biar Nggak Lupa:

  1. Habibie ngajarin kita, cepet boleh, tapi harus tahu arah. Sat set das des tanpa makna cuma bikin capek, bukan perubahan.
  2. Pola pikir agile itu bukan ngebut asal jalan, tapi sadar langkah. Ojo alon-alon kelakon, tapi cepat dan target mutu tercapai.
  3. Prof. Arif Satria bilang, yang penting bukan kepintaran, tapi kemampuan merespon. Karena di dunia yang berubah cepat, Kelincahan berpikir kadang lebih berharga dari gelar.
  4. Pengurus ICMI masa kini bukan cuma pembicara di podium, tapi fasilitator pembelajaran. Yang bikin orang lain tumbuh, bukan tunduk.
  5. Kalau ICMI mau relevan, budaya “gaspol dalam kebaikan” harus jadi tradisi baru. Karena Allah nyuruh kita fastabiqul khairat — berlomba-lomba dalam kebaikan.

Referensi:

  • Antara News. (2021, December 5). Prof. Arif Satria terpilih sebagai Ketum ICMI periode 2021–2026.
  • Denning, S. (2018). The age of agile: How smart companies are transforming the way work gets done. AMACOM.
  • Greenleaf, R. K. (1970). The servant as leader. Robert K. Greenleaf Center for Servant Leadership.
  • Habibie, B. J. (2010). Habibie & Ainun. THC Mandiri.
  • Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. (2018). Visi dan misi ICMI.
  • Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. (n.d.). Sejarah ICMI.
  • Mezirow, J. (1991). Transformative dimensions of adult learning. Jossey-Bass.
  • Satria, A. (2022, June 10). Kemampuan merespon lebih penting dari kepintaran. [Instagram post].
  • Weiss, C. H. (1995). Nothing as practical as good theory: Exploring theory-based evaluation for comprehensive community initiatives for children and families. In J. P. Connell, A. C. Kubisch, L. B. Schorr, & C. H. Weiss (Eds.), New approaches to evaluating community initiatives: Concepts, methods, and contexts (pp. 65–92). Aspen Institute.


Scroll to Top