Lupa Nasional: Mengapa Skandal Cepat Hilang dari Ingatan Kita

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Lupa Nasional: Mengapa Skandal Cepat Hilang dari Ingatan Kita

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Tim Soft Skills SDMIndonesia.com

“Bangsa ini sering heboh lalu lupa. Skandal besar jadi drama singkat tanpa akhir. Ingatlah, agar kita tak jatuh di lubang yang sama berkali-kali.”

Di negeri ini, skandal datang silih berganti seperti tayangan sinetron dengan episode bersambung tanpa akhir. Hari ini kita ribut soal kasus korupsi, besok heboh tumpahan kimia, lusa sudah berganti ke gosip politik. Deras, riuh, penuh sumpah serapah, lalu senyap begitu saja. Seakan-akan yang kemarin tidak pernah terjadi. Inilah fenomena yang saya sebut dengan istilah satir: lupa nasional. Kita lebih suka heboh sesaat daripada mengingat panjang, lebih doyan melampiaskan emosi ketimbang mengawal kasus sampai tuntas ujungnya.

Kalau kita mau jujur, kita sudah berulang kali melihat pola ini. BLBI dulu sempat mengguncang negara dengan nilai triliunan rupiah. Orang marah, media tiap hari bicara, DPR bersidang, tapi kini siapa yang masih ingat detailnya? Bank Century menyedot perhatian publik, membuat rakyat ribut soal bailout, sampai-sampai jadi tema debat politik. Namun, begitu rezim berganti, pelan-pelan isu itu hilang. Jiwasraya pun pernah jadi headline nasional, nasabah menjerit, uang triliunan raib. Tapi hari ini, kasus itu hanya muncul sesekali di catatan hukum, tanpa lagi jadi percakapan publik. Kembali lagi, lupa nasional.

Contoh paling segar juga mengulang pola serupa. Tahun 2025, publik geger soal pengadaan Chromebook senilai Rp 9,9 triliun di Kemendikbudristek. Media sibuk mengurai nilainya yang fantastis, publik menuduh ada potensi ladang korupsi. Tapi kita tahu, sebulan atau setahun ke depan, isu ini bisa saja sudah padam, lenyap.

Pertamina pun terseret kasus penyalahgunaan BBM subsidi dengan nilai kerugian yang luar biasan besar. Ramai sebentar, penuh komentar, tapi apakah akan bertahan lama dalam ingatan? Bahkan kasus pagar laut di Tangerang, yang merugikan nelayan dan menyingkap dugaan manipulasi tata ruang, sudah menunjukkan gejala yang sama: hari ini viral, ramai di media dan medsos, esok hari sunyi.

Fenomena ini bisa kita pahami dengan kacamata teori. Pertama, Anthony Downs, pakar ekonomi politik, memperkenalkan konsep Issue Attention Cycle. Penjelasan singkat, publik punya pola siklus perhatian: isu muncul, orang heboh, lalu panik, setelah sadar masalahnya rumit mereka mulai bosan dan kehabisan energi, akhirnya lupa. Pola ini persis dengan yang kita lihat di Indonesia: skandal jadi bahan gosip panas seminggu dua minggu, kemudian berlalu dan dilupakan, ditinggalkan seperti makanan basi.

Kedua, ada istilah Culture of Impunity, sebuah konsep yang sering dipakai ilmuwan politik dan hukum internasional. Budaya impunitas terjadi ketika pelaku kesalahan tahu bahwa mereka tidak akan dihukum serius. Di Indonesia, banyak pejabat paham bahwa badai kritik hanya berlangsung sementara. Begitu publik lelah, begitu media pindah isu, mereka masih aman dan bisa bertahan. Maka tidak heran kalau orang lebih memilih diam dan melupakan, karena merasa percuma mengingat kasus yang ujungnya tidak pernah jelas.

Ketiga, sebagai pelengkap, kita bisa mengingat Spiral of Silence dari Elisabeth Noelle-Neumann, profesor komunikasi politik asal Jerman. Ia mengatakan, orang cenderung diam kalau merasa pendapatnya minoritas. Jadi, ketika opini publik sudah bergeser ke isu lain, mereka yang masih bicara soal skandal lama dianggap tidak sopan, tidak tahu diri atau tidak move on. Akibatnya, diskusi publik berhenti, kritik padam, dan ingatan kolektif diam-diam ikut mati.

Kalau teori saja masih terasa jauh, mari lihat perilaku kita sehari-hari. Kita gampang marah, tapi marahnya sebentar. Kita gampang memaafkan, bahkan sering terlalu cepat. Agama memang mengajarkan sikap pemaaf, tapi dalam politik, maaf sering dipakai sebagai pintu keluar, bukan pintu perbaikan. Pejabat atau pelaku cukup minta maaf, tampil rendah hati sebentar, lalu publik merasa puas. Setelah itu, seakan-akan tidak ada lagi yang perlu dipertanggungjawabkan. Bukankah ini bentuk lupa yang kita pelihara sendiri?

Dampaknya cukup jelas: pejabat merasa aman. Mereka tahu publik hanya marah sesaat, media lebih sibuk mengejar berita dan sensasi baru, dan hukum bisa ditarik ulur sampai energi dan perhatian publik habis. Maka kursi jabatan yang semestinya panas jadi empuk. Mereka hadir kembali, duduk santai menunggu badai lewat, sementara rakyat sibuk membicarakan gosip-gosip baru. Skandal pun hanya jadi drama singkat tanpa akhir, bukan pelajaran yang menumbuhkan kedewasaan politik.

Hikmah dari fenomena lupa nasional ini pahit tapi penting. Lupa berarti gagal belajar, gagal menjadi dewasa. Lupa berarti memberi ruang bagi kesalahan untuk muncul berulang. Lupa nasional jadi budaya. Demokrasi hanya jadi ritual gaduh, bukan jalan menuju perbaikan. Kalau kita terus melupakan, maka setiap skandal hanya jadi tontonan, ibarat sinetron tanpa episode terakhir.

Hikmah apa yang bisa kita petik? Apa yang bisa kita lakukan? Pertama, bangsa ini perlu merawat ingatan kolektif. Kita bisa membangun sistem, contoh seperti arsip digital publik yang terbuka. Idenya semacam “museum online” untuk semua skandal besar di negeri ini, lengkap dengan perkembangan hukumnya. Kedua, media perlu evaluasi diri. Jangan hanya heboh di awal, tapi juga konsisten mengawal kasus sampai ujung, sampai selesai. Ketiga, pendidikan politik harus terus digalakkan lebih serius. Skandal besar bisa dijadikan bahan belajar atau studi kasus di sekolah atau kampus, agar generasi muda tahu sejarah dan tidak mengulang kesalahan yang sama. Keempat, masyarakat sipil harus lebih aktif menghidupkan ingatan, menolak lupa nasional. Media sosial bisa dipakai untuk mengingatkan, misalnya lewat tagar tahunan yang menghidupkan kembali skandal-skandal lama, yang belum tuntas.

Akhirnya, semua berpulang pada ingatan kita bersama. Al-Qur’an mengingatkan dalam Surah Al-Hasyr ayat 18: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Ayat ini bukan hanya pesan spiritual, tapi juga sosial-politik. Kita diajak untuk melihat ke belakang, mengingat apa yang pernah terjadi, lalu menjadikannya untuk bahan perbaikan. Senantiasa melakukan tindakan koreksi, korektif dan preventif untuk hari depan.

Kalau kita terus memilih lupa, maka sejarah akan berulang dengan luka yang sama. Akar masalah tidak akan pernah tuntas. Tapi kalau kita berani mengingat, sekecil apa pun, itu adalah langkah menuju bangsa yang dewasa. Ingatan kolektif adalah cahaya yang menerangi jalan kita, agar tidak jatuh di lubang yang sama berkali-kali. Semoga bangsa ini diberi kekuatan bukan hanya untuk mengingat, tapi juga untuk memperbaiki. Karena bangsa yang sehat bukan bangsa yang cepat lupa, melainkan bangsa yang berani menatap masa lalu demi menjemput masa depan yang lebih bermartabat.

Stay Relevant!


Referensi

  • Downs, A. (1972). Up and down with ecology: The “issue-attention cycle”. Public Interest, 28(1), 38–50.
  • Noelle-Neumann, E. (1974). The spiral of silence: A theory of public opinion. Journal of Communication, 24(2), 43–51.


Scroll to Top