Belanda, Tolong Jajah Kami Lagi?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Belanda, Tolong Jajah Kami Lagi?
Refleksi Delapan Dekade Kemerdekaan RI

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya

“Belanda, tolong jajah kami lagi”—jeritan satir yang menampar nurani, menggugat makna merdeka di tengah kekacauan yang kita anggap biasa.”

Tiba-tiba, sebuah video pendek muncul di linimasa media sosial. Seorang pria, wajahnya lelah tapi nadanya serius, menatap kamera dan berkata: “Belanda, tolong jajah kami lagi. Kami malu dijajah oleh pejabat-pejabat negeri sendiri.” Kalimat itu tajam. Bukan dalam arti literal, tentu saja. Tapi dalam makna yang lebih dalam—ia menampar rasa nasionalisme yang selama ini hanya dihafal, bukan dirasakan. Video itu cukup menarik, bukan karena lucu, tapi mungkin pada sebagian orang, kalimat itu mewakili isi hati mereka. Kita tidak sedang merindukan serdadu berseragam yang bengis atau tanam paksa. Kita sedang memendam kecewa yang dalam.

Delapan puluh tahun kita merdeka—17 Agustus 1945 hingga 17 Agustus 2025.
Kita punya bendera, punya konstitusi, dan pemilu. Lengkap sudah. Kita juga dikaruniai kekayaan alam yang melimpah: nikel, emas, batu bara, tembaga, bauksit, sawit, rempah-rempah, dan laut yang kaya ikan. Bahkan cadangan nikel Indonesia termasuk yang terbesar di dunia, bahan baku penting untuk industri baterai dan kendaraan listrik. Hutan kita luas, tanah kita subur, dan letak geografis kita strategis.

Tapi satu pertanyaan menggantung: apakah harapan anak bangsa benar-benar sudah tercapai?

Jeritan satir, “Belanda, tolong jajah kami lagi”, mengandung pertanyaan kritis ada apa dengan Belanda? Mari kita melakukan refleksi.

Memang, Belanda menjajah dengan kekerasan, eksploitasi, politik adu domba, dan penindasan sistemik. Tak sedikit luka sejarah yang ditinggalkan. Tapi saat ini, bukan itu yang sedang kita soroti. Yang ingin kita lihat secara lebih jernih dan proporsional adalah sisi lain dari sistem itu—struktur yang tertib, manajemen yang rapi, dan perencanaan jangka panjang—hal-hal yang justru sering hilang atau diabaikan dalam era kemerdekaan.

Ambil contoh jalur kereta api. Tahun 1939, panjang rel aktif di Hindia Belanda sekitar 6.811 kilometer. Dibangun dengan presisi tinggi, menghubungkan perkebunan dan pelabuhan. Sekarang, rel yang aktif hanya sekitar 6.000 kilometer, sebagian besar peninggalan masa lalu. Jalur-jalur seperti Ambarawa–Kedungjati dan Muaro–Pekanbaru ditelantarkan, dan rel di Madura bahkan sudah hilang sama sekali. Jalur baru? Ada, tapi penuh hambatan dan tak jarang berakhir mangkrak. Delapan puluh tahun kita merdeka, panjang rel aktif tidak bertambah, justru semakin pendek.

Sistem administrasi kolonial juga menunjukkan logika yang rapi. Tanah diukur secara sistematis, hasil bumi dicatat dengan detail, dan pajak ditata dalam struktur yang meski eksploitatif, tetap tertib dan rapi. Sejarawan Ong Hok Ham mencatat bahwa birokrasi kolonial Jawa abad ke‑19 mengintegrasikan struktur priyayi lokal dalam sistem Pemerintahan Belanda, menciptakan mekanisme administrasi legal‑rasional yang menuntut disiplin tinggi, dokumentasi tertulis, dan kontrol yang sistematis.

Salah satu bentuk ketertiban itu bisa dilihat dari penataan garis sempadan. Belanda menentukan sempadan jalan, sungai, dan kawasan lindung dengan ukuran yang presisi. Sampai hari ini, banyak batas legal kawasan hutan dan jalur transportasi masih merujuk pada peta lama dari zaman kolonial. Tapi kini, garis-garis itu mulai kabur. Lahan dialihfungsikan, hutan dirambah, dan pengawasan makin lemah.

Ketidakpedulian terhadap garis sempadan berdampak pada tampilan wajah kota dan kualitas ruang publik. Bangunan modern banyak yang menjorok ke trotoar, mengabaikan aturan dan merusak estetika lingkungan. Tapi yang paling sering melanggar justru rumah-rumah dan bangunan di kampung. Banyak yang dibangun menempel ke jalan, menutup drainase, bahkan menjorok keluar pagar. Bukan karena niat buruk, tapi karena minimnya edukasi dan pengawasan di tingkat lokal. Akibatnya, kota-kota kita terasa semrawut dan sumpek. Ini bukan cuma soal teknis, tapi soal menghargai ruang bersama.

Belanda juga meninggalkan jejak dalam konservasi lingkungan. Mereka membangun dan merawat kawasan hutan lindung serta pusat botani seperti Kebun Raya Bogor. Kebun ini didirikan pada 1817 oleh Prof. Caspar Georg Carl Reinwardt, seorang ahli botani Belanda yang visioner. Di bawah kepemimpinannya, Kebun Raya bukan hanya taman hias, tapi laboratorium hidup yang mengoleksi ribuan spesies flora tropis dari seluruh nusantara. Upaya ini dilanjutkan oleh direktur-direktur setelahnya, termasuk Prof. Dr. Rudolph Scheffer, yang memperluas fungsi ilmiah kebun dengan perpustakaan, klasifikasi modern, dan jaringan riset internasional.

Banyak kawasan yang kini menjadi taman nasional dulunya telah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak zaman Hindia Belanda. Idealnya, status ini memberi perlindungan lebih kuat. Tapi di lapangan, banyak dari kawasan itu justru tetap terancam. Bukan karena sistemnya lemah—melainkan karena pelaksanaannya belum sejalan dengan niat baik di atas kertas.

Bangunan-bangunan tua warisan kolonial seperti Gedung Sate di Bandung, Lawang Sewu di Semarang, atau kawasan Titik Nol Kilometer di Yogyakarta masih berdiri megah. Banyak di antaranya dirancang arsitek top seperti Henri Maclaine Pont, yang dikenal menggabungkan arsitektur tropis dengan prinsip modern Eropa. Sementara bangunan baru? Lima tahun berdiri sudah retak, bocor, atau tak laik fungsi. Proyek jalan dan infrastruktur dirayakan penuh seremoni, tapi belum lama aspalnya sudah mengelupas, drainase macet, tambal sulam jadi solusi permanen. Kita seolah membangun bukan untuk ketahanan, tapi untuk kepentingan jangka pendek elite.

Sedikit kita tengok manajemen pabrik gula di era kolonial. Belanda menerapkan praktik strategic stockpiling dan preventive maintenance planning, menyimpan onderdil mesin untuk kebutuhan beberapa tahun ke depan. Ini mencerminkan budaya perencanaan jangka panjang yang juga disebut dalam studi Ann Laura Stoler soal perkebunan Sumatra. Mereka berpikir ke depan karena tahu kapal dari Eropa butuh waktu lama. Ini bukan pujian kosong, tapi kenyataan: tertib dan disiplin karena sistemnya memang menuntut. Sekarang? Banyak BUMN tak sanggup rawat aset sendiri. Kita ganti direktur, ganti program, tapi cara pikir lama masih terus diwariskan. Itulah segelintir contoh-contoh yang bisa kita petik hikmahnya.

Kenapa fenomena ini terus berulang? Mengapa kita gagal belajar?

John Jost, lewat teori System Justification (Teori Pembenaran Sistem), menyebut bahwa manusia cenderung membela sistem yang ada meski menyakitkan. Daripada gelisah menghadapi kenyataan pahit, lebih mudah pasrah dan berkata, “ya sudahlah, memang begini dari dulu.” Bahkan kalau pemimpinnya zalim pun, asal masih dapat bansos dan listrik nyala, okelah dianggap cukup.

Lalu ada Teori Spiral of Silence dari Elisabeth Noelle-Neumann. Ketika suara berbeda dianggap berbahaya, orang memilih diam. Kritik dianggap tidak nasionalis. Satu-dua orang bicara, langsung dibungkam atau dibully. Maka diam jadi norma. Dalam kondisi begini, satire jadi satu-satunya cara bicara. Kalimat “Belanda, tolong jajah kami lagi” bukan nostalgia, tapi jeritan.

Padahal kita bukan tak punya contoh. Korea Selatan, Vietnam, Singapura—semuanya juga pernah dijajah. Tapi mereka bangkit, membangun sistem, dan melangkah ke depan. Kita? Masih sibuk menyalahkan masa lalu dan pura-pura lupa pada kekacauan hari ini.

Satire itu bukan hinaan untuk kemerdekaan. Ia adalah bentuk kejujuran yang dibungkus kepedihan, cermin retak yang memantulkan wajah bangsa—apa adanya. Kita sering mengira kemerdekaan itu selesai saat bendera dikibarkan, atau saat menyanyikan lagu halo-halo Bandung, atau saat menyaksikan anak-anak dan remaja ikut lomba balap karung, panjat pinang dalam peringatan kemerdekaan. Padahal itu baru langkah awal dari perjalanan panjang menuju kedewasaan sebagai bangsa. Kemerdekaan bukan hanya peristiwa, tapi proses. Dan dalam proses itu, kita bertanggung jawab mengisi ruang kosong antara idealisme dan kenyataan.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Orang cerdas adalah yang menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi No. 2459, hasan). Sabda ini tidak hanya berlaku secara pribadi, tetapi juga relevan dalam konteks kehidupan berbangsa. Menghisab diri sebagai bangsa berarti berani bertanya: apakah kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata itu telah kita isi dengan tanggung jawab moral dan sosial? Apakah kekuasaan hari ini benar-benar berpihak pada keadilan, atau justru jadi alat untuk mengukuhkan kekuasaan tanpa koreksi?

Mungkin yang kita butuhkan bukan penjajah baru, tapi kesadaran baru. Kesadaran untuk memperbaiki yang rusak tanpa harus menunggu krisis. Kesadaran untuk berkata cukup terhadap ketimpangan, terhadap kezaliman yang dilegalkan, terhadap kebijakan yang melukai. Karena pada akhirnya, merdeka bukan hanya tentang lepas dari penjajah luar, tapi tentang berani menolak kezaliman dari dalam—meski datang dari mereka yang kita pilih sendiri. Stay Relevant!



Scroll to Top