بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Kenapa Kita Sering Salah Paham?
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya
“Salah paham bukan karena kita tak pandai bicara, tapi karena kita lupa mendengar yang tak diucapkan. Mungkin, kita butuh lebih banyak melihat dengan hati.”
Ada hari-hari ketika kita duduk di meja makan bersama keluarga, tapi tidak saling mengerti. Kalimat yang terlontar dengan nada datar berubah jadi luka. Pesan singkat yang dikirim buru-buru memantik kemarahan. Kita menyimpulkan sebelum bertanya. Menilai sebelum mengenal. Lalu konflik berkembang membesar justru dari hal-hal kecil yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Miscommunication atau Salah paham, rupanya, bukan soal kurang pintar. Tapi sering kali karena kita abai. Tidak menoleh cukup lama untuk melihat wajah sesungguhnya dari seseorang. Kita terlalu terbiasa hidup dalam kesibukan, sibuk dengan perangkat persepsi masing-masing—hingga lupa bahwa orang lain punya dunia batin yang tak selalu tampak dari luar.
Disiplin Psikologi menyebut ini sebagai Theory of Mind. Kemampuan untuk menyadari bahwa di kepala orang lain ada pikiran, nilai-nilai, keyakinan, ketakutan, harapan, dan keraguan yang tidak sama dengan kita. Tapi kemampuan ini bukanlah sesuatu yang otomatis hadir dan bertahan. Ia perlu dilatih, dijaga dan dikembangkan. Perlu empati, niat dan komitmen.
Dalam hidup sehari-hari, kita sering jatuh pada apa yang disebut Fundamental Attribution Error (FAE). Kita mudah berkata, “Dia egois.” Tapi lupa bahwa kita pun bisa terlihat egois jika dinilai dari luar, dari sudut pandang orang lain. Kita menilai orang lain dari “karakter”, tapi menilai diri sendiri dari “keadaan”. Maka hubungan jadi retak bukan karena niat buruk, melainkan karena kita terlalu cepat menyimpulkan tanpa sempat mendengar.
Begitulah fenomena di dunia ini. Konflik antara dosen dan mahasiswa, antara saudara kandung yang merawat orang tua lansia, antara warga negara dengan pemerintah, atau antara dua sahabat yang mendadak saling diam, saling berprasangka. Mereka semua pernah salah membaca maksud. Pernah merasa tak dimengerti. Padahal yang dibutuhkan mungkin hanya satu: waktunya untuk belajar bertanya, belajar mendengar, dan belajar memahami.
Dalam salah satu videonya, Anies Baswedan mengangkat The Little Prince sebagai buku anak yang paling terkenal di dunia—dengan pesan cinta dan persahabatan yang relevan lintas usia. Banyak kisah-kisah menarik dari buku tersebut, bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga sangat inspiratif untuk orang dewasa. Di balik kisah-kisah imajinatif dunia anak, tersimpan banyak pesan softskills yang sering kita lupakan, diantaranya: bahwa yang benar-benar penting, sering kali tak tampak oleh mata.
Ia hanya bisa dirasakan… jika kita mau menengok dengan hati.
Peter Drucker, pakar manajemen modern, menguatkan pesan itu dengan kutipannya yang tajam: “The most important thing in communication is to hear what isn’t being said.” Kita terlalu sering fokus pada kalimat dan tanda baca. Tapi lupa membaca signal-signal non verbal. Rasa kecewa yang tak terucap, getaran intonasi, gestur, harapan yang tertunda, atau ketakutan yang bungkam. Padahal justru di sanalah pesan yang paling penting tersembunyi.
Marshall Rosenberg memberi inspirasi dengan konsep Nonviolent Communication (NVC)—cara bicara yang tidak menghakimi, tidak menyerang, tidak menekan. Sebuah cara yang mengutamakan kejujuran dan empati. Kita belajar menyampaikan rasa, bukan hanya pendapat. Belajar mendengar tanpa buru-buru menyela. Belajar hadir bukan untuk menang, tapi untuk memahami.
Lalu kita pun sadar: salah paham bukanlah musuh. Ia hanya tanda bahwa kita masih bisa belajar. Bahwa kita belum selesai menjadi manusia yang utuh.
Akhirnya, kita kembali pada sumber yang paling jernih: Sabda Nabi Muhammad ﷺ, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR Muslim). Maka jika Allah saja menilai manusia dari hatinya, siapa kita yang merasa sudah cukup mengerti hanya dari tampilan luar?
Mungkin, di zaman yang serba cepat dan bising ini, pelajaran terpenting bukanlah cara menjelaskan diri. Tapi bagaimana kita menyisakan ruang untuk mendengar orang lain dengan utuh. Dan mulai hari ini, barangkali itu bisa dimulai… dengan niat sederhana: melihat dan memahami dengan hati.
Dan barangkali, kita juga perlu menengok ke satu ruang yang paling bising di dunia online hari ini: media sosial atau sering kita singkat “medsos”. Tempat di mana orang bicara cepat, cari panggung, menyimpulkan cepat, marah cepat. Di sana, satu potongan video yang diplintir bisa memancing ribuan komentar, padahal konteksnya belum tentu kita tahu. Kita terpancing membela atau menyerang, tanpa sempat bertanya: “Apa yang sebenarnya terjadi? Riil atau hoax?” Di sana, kebenaran sering tenggelam oleh kecepatan menyebar.
Dalam politik, ruang publik, atau bahkan percakapan keluarga, masalah yang sama bisa terjadi. Seorang ayah yang terlihat dingin mungkin sedang takut tak sanggup menafkahi anaknya. Seorang rekan kerja yang tiba-tiba kasar mungkin sedang menyimpan kekhawatiran yang tak sanggup ia ucapkan. Kita bisa menuduh, tapi apakah itu dewasa? Atau kita ambil opsi: Duduk bersama dan saling mendengar.
Menjadi manusia berarti membuka kemungkinan salah paham. Itu normal. Tapi menjadi manusia dewasa, utuh sepenuhnya, berarti punya niat mengurai simpul-simpul itu. Serius, bersungguh-sungguh, dan sabar.
Kita tidak harus langsung tahu semua isi hati orang lain. Tapi kita bisa memulai dengan satu pertanyaan lembut, satu ruang dengar yang hangat, satu kalimat yang tidak tergesa-gesa menilai. Terkadang itu sudah cukup membuat orang lain merasa nyaman, dihargai dan dipahami.
Dan dalam kehidupan yang semakin cepat ini, semoga kita tidak kehilangan kemampuan untuk sejenak melambat, cooling down. Berhenti sebentar sebelum menilai. Untuk mengingat bahwa di balik setiap respon yang tidak kita mengerti, ada cerita dan fakta yang belum selesai ditulis.
Karena yang paling menyembuhkan bukanlah logika yang tajam, tapi empati yang hadir tanpa syarat. Yang paling menguatkan bukanlah debat yang menang, tapi senyum dan pengertian yang datang di waktu yang tepat.
Guru saya mengajarkan 4 sikap penting (bahasa Jawa): Nyenengno wong, nguwongno wong, nggatekno wong, ora nggelakno. Ketrampilan hidup untuk bisa membahagiakan orang lain, memanusiakan orang lain, care / peduli pada orang lain dan tidak mengecewakan orang lain.
Kita hidup tidak hanya untuk berbicara, tapi untuk mendengar. Dan tidak semua hal perlu dijawab. Sebagian cukup dimengerti. Mungkin itu makna simbolis, mengapa manusia diberi dua telinga dan satu mulut. Perlu lebih banyak mendengar.
Semoga, di dunia yang ramai tapi miskin pemahaman, kita tumbuh jadi jiwa yang tak lekas menilai, tahu kapan bertanya, dan kapan cukup hadir.
Sebab yang terdalam sering tak perlu dijelaskan—hanya dimengerti dengan hati yang jernih.
Stay Relevant!