Lulus SMA, Tapi Masih Krisis Identitas
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jawa Timur, Dosen UHW Perbanas Surabaya
Lulus SMA bukan akhir, tapi awal pencarian jati diri. Ketika bingung arah, mungkin itu tanda kamu sedang benar-benar mulai hidup.
Ijazah SMA sudah di tangan. Seragam putih abu-abu tinggal kenangan. Di feed Instagram, ucapan selamat berseliweran, diselingi story tentang daftar kampus, kerja paruh waktu, atau sekadar healing terakhir sebelum masuk dunia nyata. Tapi di balik semua euforia itu, ada banyak anak muda yang masih duduk diam di pojok kamarnya sendiri, bertanya: “Setelah ini, aku harus ke mana?”
Itu bukan kemalasan. Bukan pula kurang ambisi. Tapi itu yang dalam psikologi disebut sebagai identity crisis—krisis identitas, kegalauan anak muda. Erik Erikson sudah bicara soal ini sejak 1968: masa remaja adalah fase pencarian jati diri. Who Am I? Siapa saya? Apa nilai hidup saya? Apa peran saya di dunia ini? Sayangnya, sekolah kita terlalu sibuk mengejar ujian akhir, sampai lupa memberi ruang bagi pertanyaan-pertanyaan diatas.
Yang terjadi? Banyak anak memilih jurusan karena ikut teman-teman (peer group). Kerja karena “yang penting ada gaji dulu.” Atau justru diam karena takut salah langkah. Mereka lulus secara administratif, tapi belum tentu lulus untuk menjadi dewesa (proses mengenali diri sendiri). Dan kalau kamu merasa seperti itu—bingung, ragu, atau bahkan kosong—tenang. Kamu tidak sendiri.
Menurut James Marcia, remaja bisa berada di salah satu dari empat status identitas: achievement (sudah eksplorasi dan membuat pilihan), moratorium (sedang eksplorasi, tapi belum memutuskan), foreclosure (mengikuti pilihan orang lain tanpa eksplorasi), dan diffusion (tidak punya arah, dan tidak terlalu peduli). Nah, banyak lulusan SMA sebenarnya berada di status moratorium atau foreclosure. Belum sempat kenal diri, tapi sudah disuruh memilih jurusan atau kerja. Capek deh.
Ditambah tekanan sosial yang makin brutal. Di TikTok, ada yang pamer lolos kampus bergengsi di luar negeri. Di Twitter, orang bahas startup sambil ngopi. Di rumah, orang tua bilang: “Yang penting kuliah, masa kamu nggak sekolah, mau jadi apa kamu?” Semua itu bisa membuat seseorang pusing tujuh keliling, merasa tertinggal—padahal sebenarnya mereka hanya belum dapat ruang untuk mengenal diri lebih dalam..
Tapi jati diri itu bukan soal kecepatan. Ia soal kejujuran. Dan jujur itu bukan cuma berani bilang “iya”, tapi juga berani bilang “aku belum tahu.” Bahkan dalam dunia pendidikan, pertanyaan “siapa kamu?” seringkali lebih penting dari “berapa nilai UN-mu?”
Lalu harus bagaimana?
Mulailah dari mengenali minat. Apa yang bikin kamu lupa dan ketagihan waktu saat melakukannya? Apa yang kamu mau lakukan bahkan walau tidak dibayar? Lalu kenali nilai-nilai (values) yang kamu pegang. Apakah kamu lebih suka bekerja sendiri atau dalam tim? Apakah kamu lebih nyaman berpikir, membuat, atau membantu orang lain?
Kamu bisa coba alat bantu seperti tes psikologi seperti MBTI, atau StrengthsFinder. Atau kamu bisa berkonsultasi dengan orang yang kamu anggap bijak. Tapi yang lebih penting adalah refleksi—berpikir dengan jujur tentang apa yang kamu mau, bukan apa yang orang lain anggap keren. Paham kan?
Dan kalau kamu sudah terlanjur masuk jurusan atau pekerjaan yang “nggak kamu banget”, jangan panik. Banyak orang menemukan arah justru setelah sempat salah jalan. Yang penting, jangan pura-pura nyaman. Jangan biarkan dirimu hidup dalam jalur yang kamu tahu tidak kamu cintai. Kuliah lambat no problem, yang penting tumbuh dan menyala di jalur yang kami paling cocok.
Krisis identitas itu bukan kegagalan, sekali lagi tidak. Justru itu tanda bahwa kamu sedang bertumbuh. Orang yang tidak pernah bingung bukan berarti sudah tahu jawabannya—bisa jadi karena ia belum pernah sungguh-sungguh bertanya. Dan kamu, yang kini diam-diam merenung, bertanya dalam hati “aku ini siapa?”, “aku mau ke mana?”, sesungguhnya sedang menempuh jalan yang lebih jujur.
Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri…” (QS. Al-Hasyr: 19)
Ketika kita lupa arah hidup, mungkin karena kita sedang jauh dari yang menciptakan arah itu sendiri. Maka mendekat pada Allah, adalah cara terbaik dan paling dalam untuk menemukan diri.
Jadi, kalau hari ini kamu belum yakin kuliah, belum siap kerja, atau masih ragu mengambil langkah—itu bukan akhir. Itu titik mula. Karena lulus bukan berarti selesai. Justru baru dimulai.
Hidup ini bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling sadar ke mana ia ingin melangkah. Dan jika langkahmu dimulai dengan menyebut nama-Nya, maka meski jalannya sunyi, hatimu akan selalu tahu ke mana harus pulang.
Stay Relevant!