Gagal Kuliah Dimulai dari Salah Jurusan

Gagal Kuliah Dimulai dari Salah Jurusan

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya

Salah jurusan bukan soal salah langkah, tapi soal belum kenal diri. Kuliah bukan sekadar masuk kampus, tapi tentang memilih arah yang jujur.

Kadang kita kira gagal kuliah itu karena tidak pintar. Atau karena lingkungan kampusnya tidak mendukung. Atau karena dosennya terlalu galak. Padahal seringkali, masalahnya dimulai lebih awal. Jauh sebelum registrasi ulang, sebelum jas almamater dikirim, bahkan sebelum pengumuman SNBT keluar. Masalahnya dimulai ketika seseorang memilih jurusan yang salah—karena ikut-ikutan teman, karena panik, atau karena “asal masuk dulu.”

Salah jurusan bukan isu baru. Tapi setiap tahun, ribuan mahasiswa di Indonesia mengalaminya, dan hanya sebagian yang sadar lebih awal. Sisanya bertahan dalam jurusan yang tidak mereka mengerti, tidak mereka nikmati, dan lama-lama tidak mereka pedulikan. Lalu muncul gejala: stres, malas masuk kelas, nilai turun, relasi dengan dosen memburuk, motivasi menguap. Dan akhirnya: mengulang, pindah jurusan, atau drop out diam-diam.

Lalu kita bertanya, siapa yang salah? Sistem? Sekolah? Orang tua? Atau siswa itu sendiri?

Sebelum mencari siapa yang patut disalahkan, mari kita pahami dulu dari sisi psikologi perkembangan. Erik Erikson menyebut bahwa usia remaja berada dalam fase krisis identitas—mereka sedang mencari tahu siapa diri mereka sebenarnya (Erikson, 1968). James Marcia melengkapi itu dengan empat status identitas: achievement, moratorium, foreclosure, dan diffusion (Marcia, 1980). Banyak siswa SMA di Indonesia masuk kategori “foreclosure” atau “moratorium”—mereka belum sempat eksplorasi pilihan, tapi sudah harus menentukan masa depan.

Di tengah kebingungan itu, siswa sering mengambil jalan pintas: ikut teman, nurut orang tua, atau memilih jurusan yang “kayaknya gampang masuk.” Hasilnya? Mereka masuk kuliah bukan karena tahu arah, tapi karena takut tidak punya teman.

Ironisnya, di banyak sekolah, fungsi bimbingan konseling (BK) belum menjadi tempat eksplorasi karier yang serius. Masih banyak guru BK yang terjebak pada fungsi administratif: mendata, menyampaikan info, bukan mendampingi proses pengenalan diri. Padahal menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan adalah “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berilmu, cakap, kreatif, mandiri…” Bagaimana mungkin semangat “mandiri” bisa tumbuh kalau siswa tidak diberi ruang untuk menentukan sendiri?

Bimbingan karier yang ideal seharusnya membantu siswa mengenali interest (minat), aptitude (bakat), dan values (nilai pribadi). Tes seperti psikologi seperti MBTI bukan sekadar hiburan TikTok, tapi alat bantu awal untuk refleksi diri. Seorang siswa yang menyadari bahwa ia menyukai dunia sosial, lebih cocok mengambil jurusan psikologi atau pendidikan, bukan teknik sipil—meskipun passing grade-nya lebih tinggi. Di sinilah peran penting metakognisi, yaitu kemampuan untuk berpikir tentang proses berpikir sendiri. Tanpa itu, siswa hanya meniru pilihan orang lain, bukan memilih jalannya sendiri.

Gagal kuliah karena salah jurusan bukan akhir dunia. Tapi itu bisa jadi luka belajar yang panjang. Luka yang tak selalu berdarah, tapi meninggalkan ketidakpercayaan pada diri sendiri. Maka sebelum terlambat, penting bagi kita—guru, orang tua, dan siswa sendiri—untuk meluangkan waktu bertanya: “Sebenarnya aku mau jadi apa?” Bukan “jurusan mana yang lulusannya cepat kerja?”, tapi “di bidang apa aku ingin berkontribusi?”

Karena pendidikan bukan lomba cepat. Ini proses membentuk manusia. Dan jurusan bukan sekadar label di transkrip nilai, tapi awal dari narasi hidup seseorang. Kita terlalu sering mengajarkan anak-anak kita untuk mencari pekerjaan, tapi lupa mengajarkan mereka mencari makna.

Lalu bagaimana kalau sudah terlanjur salah jurusan? Jawabannya: refleksi. Banyak mahasiswa yang akhirnya menemukan minat sejatinya di luar kelas—lewat organisasi, magang, atau proyek pribadi. Jangan takut berpindah jika memang itu jalan yang lebih jujur. Jangan malu belajar ulang jika memang itu yang kamu butuhkan. Dunia tidak butuh manusia sempurna, tapi manusia yang terus belajar. Dan itu dimulai dari keberanian untuk bilang, “mungkin aku salah jurusan, no problem, InsyaAllah aku akan senang di tempat yang baru.”

Kalau kamu sekarang sedang duduk di bangku SMA, dan bingung memilih jurusan, izinkan dirimu berpikir lebih dalam. Jangan buru-buru karena semua orang sudah mendaftar. Jangan merasa gagal kalau belum punya jawaban. Kadang, yang kamu butuhkan bukan jurusan paling tinggi peminatnya, tapi jurusan yang paling dekat dengan hatimu.

Gagal kuliah itu bukan karena kamu tidak mampu. Tapi karena kamu belum sempat mengenal diri. Dan mengenal diri, meski pelan, adalah awal dari segala keberhasilan.

Karena yang kita cari bukan gelar, tapi keutuhan diri.

Stay Relevant!


Referensi:

  • Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. W. W. Norton.
  • Marcia, J. E. (1980). “Identity in adolescence.” In Handbook of adolescent psychology.
  • UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top