Menumbuhkan Kejujuran di Tanah yang Kering

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Menumbuhkan Kejujuran di Tanah yang Kering

Di banyak ruang kelas dan ruang bimbingan hari ini, pertanyaan-pertanyaan sederhana mulai sering muncul: “Bagaimana kalau datanya tidak sesuai teori?” atau “Apakah boleh saya menuliskan hasil apa adanya, meski tidak signifikan?” Pertanyaan-pertanyaan itu bukan tanda lemahnya kemampuan, tapi justru cermin dari keresahan intelektual mahasiswa. Di baliknya ada kegelisahan yang wajar—antara ingin jujur pada proses atau mengikuti kebiasaan yang tampak lebih praktis.

Mahasiswa saat ini hidup di tengah sistem yang padat tuntutan: lulus tepat waktu, publikasi wajib sebelum wisuda, akreditasi institusi, sertifikasi kompetensi, dan standar beban kerja dosen yang sering tak memberi banyak ruang untuk refleksi. Semua hal itu penting. Tapi di antara deretan target dan angka, kita perlu bertanya pelan: apakah nilai-nilai dasar yang dulu menjadi fondasi dunia akademik—seperti kejujuran, tanggung jawab, dan integritas—masih tetap mendapat tempat yang layak?

Dalam psikologi sosial, teori social proof menjelaskan bahwa individu cenderung mengikuti perilaku yang dianggap umum atau normal dalam lingkungannya. Di lingkungan akademik, mahasiswa belajar bukan hanya dari modul atau paparan kuliah, tapi juga dari atmosfer, pola interaksi, dan budaya kerja dosen dan institusi. Ketika yang dilihat adalah riset instan, penyederhanaan proses, atau data yang “diperbaiki agar sesuai teori”, maka itulah yang cenderung mereka anggap sebagai praktik yang wajar. Kejujuran menjadi sesuatu yang dipertanyakan, bukan karena mereka tidak tahu benar-salah, tapi karena konteks sosialnya tidak mendorong keberanian untuk tetap jujur.

Dalam perspektif perilaku keorganisasian, ini mencerminkan bagaimana nilai-nilai dalam institusi bisa terpengaruh oleh sistem insentif. Dalam banyak organisasi, termasuk kampus, perilaku para aktor akan menyesuaikan dengan apa yang dihargai sistem. Jika yang dihitung adalah jumlah publikasi, bukan kualitas proses risetnya, maka perilaku pun akan mengikuti. Inilah yang dalam konsep Organizational Citizenship Behavior (OCB) sering dibahas: bahwa partisipasi dan sikap individu dalam organisasi sangat dipengaruhi oleh norma dan ekspektasi dominan.

Namun, kondisi ini bukan alasan untuk menyerah. Justru di titik inilah kita menemukan peluang untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai yang pelan-pelan mulai dilupakan. Kejujuran bisa tumbuh—meski perlahan—asal diberi ruang. Dan ruang itu bisa dimulai dari tempat yang paling dekat: ruang kelas, ruang bimbingan, dan ruang dialog antara dosen dan mahasiswa.

Banyak yang mengira kejujuran adalah soal besar. Padahal ia berakar dari kebiasaan kecil: menulis kutipan dengan benar, mengakui keterbatasan data, bertanya saat tidak paham, menyusun argumen sendiri tanpa menjiplak. Praktik-praktik kecil itulah yang menanamkan keberanian berpikir mandiri dan membangun self-worth akademik. Mahasiswa yang terbiasa jujur dalam proses belajarnya akan tumbuh menjadi individu yang percaya diri, bukan hanya karena nilai, tapi karena ia tahu apa yang ia hasilkan adalah miliknya sendiri.

Soft skills seperti kejujuran, empati, disiplin, dan kemampuan berkomunikasi bukan sekadar pelengkap. Dalam dunia yang serba cepat dan kompetitif, justru keterampilan inilah yang membedakan lulusan yang tangguh dari yang sekadar kompeten. Kampus perlu menjadikan penguatan soft skills sebagai bagian dari proses akademik, bukan hanya sebagai pelatihan tambahan atau agenda seremonial.

Tentu ini bukan beban dosen semata. Sistem pendidikan tinggi nasional juga perlu menciptakan ruang yang memungkinkan proses ini berkembang. Pemerintah dan pengelola kampus perlu meninjau ulang sistem insentif riset dan penilaian kinerja. Alih-alih hanya mengejar angka dan volume, kita perlu memberi bobot lebih pada integritas proses dan dampak nyata dari pembelajaran. Komite etik riset harus hidup bukan sebagai alat administratif, tapi sebagai ruang refleksi dan pembinaan.

Bagi para dosen, mungkin tidak semua bisa diubah dalam waktu dekat. Tapi kita tetap bisa memilih untuk menjadi teladan—dengan cara membangun ruang aman bagi mahasiswa untuk jujur, bertanya, dan belajar tanpa takut salah. Dosen yang memberi apresiasi pada proses, bukan hanya hasil, sedang menyiram benih integritas di tanah yang kering. Dan air semacam itu jarang, tapi sangat dibutuhkan.

Untuk para mahasiswa, kejujuran bukan sikap naif. Ia adalah bentuk keberanian dan kekuatan jangka panjang. Dunia akademik bukan perlombaan siapa paling cepat, tapi siapa paling siap. Karya ilmiahmu mungkin tidak langsung viral, tapi bila ia lahir dari proses yang jujur dan tekun, maka nilainya akan melampaui angka sidang.

Mari kita yakini, bahwa kampus bukan hanya tempat mengumpulkan kredit dan transkrip. Ia adalah taman untuk menumbuhkan nilai-nilai. Kejujuran memang sulit tumbuh di tanah yang kering. Tapi bukan berarti ia tidak bisa.

Dan siapa tahu, justru dari benih kecil itu, kita sedang menyiapkan pohon yang kelak menaungi banyak orang.

Stay Relevant.

Oleh Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya


Kelas Online


Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top