Inflasi IPK: Benarkah HRD Kini Tak Lagi Percaya Nilai Akademik?
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Pendahuluan
Pernahkah Anda menemui seorang lulusan dengan IPK hampir sempurna—let’s say 3,82—tapi saat diminta menyusun email bisnis yang rapi dan sopan, ia butuh waktu satu jam dan tiga revisi? Atau mungkin seorang sarjana cumlaude yang saat simulasi presentasi gugup luar biasa saat berbicara di depan tim kecil?
Cerita-cerita semacam ini bukan sekadar anekdot. Mereka kini mulai menjadi kekhawatiran serius di meja-meja rekrutmen. Beberapa HRD bahkan mengaku—secara jujur dan agak berat hati—bahwa IPK tinggi bukan lagi jaminan apa pun.
“Banyak yang kami panggil karena IPK-nya luar biasa, tapi ketika kami ajak diskusi soal kasus nyata, responsnya kosong atau textbook banget,” ujar salah satu HRD perusahaan logistik nasional. Yang lain, dari sektor perbankan, menambahkan, “Kami lebih percaya simulasi, studi kasus, dan tes situasional sekarang. Bukan karena tidak percaya IPK, tapi karena kami sering dikecewakan oleh angka yang tak selaras dengan kemampuan.”
IPK Tinggi ≠ Siap Kerja
Ini tentu bukan tuduhan. Banyak mahasiswa memang bekerja keras untuk IPK tinggi, dan itu patut dihargai. Tapi dunia kerja menuntut sesuatu yang lebih kompleks. Ia menuntut kombinasi antara hard skills dan soft skills—kemampuan beradaptasi, komunikasi, inisiatif, bahkan etika kerja.
Dalam praktiknya, IPK memang hanya menggambarkan sebagian kecil dari kesiapan profesional seseorang. Dalam psikologi pembelajaran, hal ini dikenal sebagai achievement motivation—dorongan untuk mencapai hasil, biasanya dalam bentuk angka atau pengakuan. Tapi motivasi jenis ini, jika berdiri sendiri tanpa intrinsic learning motivation, sering kali hanya mendorong mahasiswa untuk mengejar nilai, bukan memahami proses.
Teori constructivist learning dari Jean Piaget dan Lev Vygotsky bahkan menggarisbawahi pentingnya pengalaman, konteks sosial, dan praktik langsung sebagai sarana utama membangun pengetahuan yang bermakna. Sementara IPK sering kali dibangun di atas ujian pilihan ganda dan tugas kelompok, dunia kerja menuntut keputusan, keberanian, dan kreativitas yang tak bisa ditakar lewat soal ujian.
Tes Praktis dan Simulasi
Maka tak heran jika tren rekrutmen mulai bergeser. Perusahaan kini banyak menambahkan case simulation, role play, bahkan group dynamic tests dalam tahap seleksi.
Sebuah startup teknologi lokal, misalnya, kini memberi kandidat fresh graduate tantangan 24 jam untuk memecahkan masalah riil yang biasa dihadapi tim. Hasilnya lebih berbicara. “IPK 3,3 tapi cekatan, bisa berkomunikasi dengan baik, dan responsif jauh lebih kami prioritaskan daripada IPK 3,9 tapi pasif,” kata mereka.
Ini menunjukkan bahwa soft skills—seperti kemampuan interpersonal, ketangguhan menghadapi tekanan, atau kecerdasan emosional—adalah nilai tambah yang tak bisa dipalsukan oleh angka. Mereka dibentuk lewat pengalaman, bukan hanya lewat kuliah.
IPK Tak Lagi Pembeda
Kita hidup di zaman di mana semua terlihat baik di atas kertas. Rata-rata IPK lulusan S1 sudah mendekati 3,5 bahkan lebih. Predikat cumlaude bukan lagi kejutan, tapi justru sering dianggap “wajar”.
Masalahnya, ketika semua terlihat luar biasa, siapa yang benar-benar berbeda? Inilah dilema yang dihadapi perekrut. Jika angka tak bisa lagi menjadi alat seleksi yang andal, maka mereka akan mencari tanda-tanda keunggulan lain—dari rekam jejak pengalaman, keberanian mengambil tanggung jawab, hingga cara seseorang berbicara dan bekerja dalam tim.
Di sini, IPK bukan lagi nilai jual utama, tapi hanya salah satu bagian kecil dari cerita besar seorang individu.
Apa yang Bisa Dilakukan Mahasiswa dan Kampus?
Pertama, bagi mahasiswa: mulailah membangun pengalaman nyata sejak dini. Ikut organisasi bukan sekadar mengejar jabatan, tapi untuk belajar komunikasi dan dinamika tim. Magang bukan sekadar pengisi SKS, tapi ruang untuk memahami budaya kerja. Bekerja dalam tim, menyusun proposal, presentasi, atau bahkan berani gagal—semua itu adalah bagian dari pembangunan soft skills yang hari ini diburu banyak perusahaan.
Kedua, bagi kampus: penting untuk mulai melihat pembelajaran dari kacamata dunia nyata. Tambahkan elemen proyek lintas disiplin, kolaborasi dengan industri, dan asesmen berbasis performa, bukan sekadar ujian. Kampus perlu membina lulusan yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tapi juga matang secara sosial dan emosional.
Kurikulum bisa tetap mempertahankan bobot akademik, tapi harus memberi ruang lebih luas untuk eksplorasi pribadi dan aktualisasi kompetensi. Transkrip akademik sebaiknya tak hanya mencantumkan angka IPK, tapi juga bisa menyertakan catatan capaian personal: proyek riset, partisipasi pengabdian masyarakat, hingga prestasi non-akademik. Karena dunia kerja melihat keseluruhan, bukan hanya skor akhir.
Lebih dari Sekadar Nilai
Mungkin kita perlu menyadari bahwa dunia kerja hari ini tidak menolak IPK. Ia hanya tidak ingin tertipu olehnya. Karena yang dibutuhkan bukan sekadar angka tinggi, tapi manusia yang siap berhadapan dengan kompleksitas, ketidakpastian, dan interaksi sosial yang menantang.
Selebihnya, soal angka memang penting. Tapi itu hanya awal cerita. Sisanya tergantung pada bagaimana kita bertumbuh di luar ruang kelas—melalui percakapan, pengalaman, dan keberanian menghadapi dunia nyata dengan kepala dingin dan hati yang matang.
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim dan Dosen UHW Perbanas Surabaya